UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Perempuan Timor-Leste Berjuang untuk Orang Miskin

September 11, 2018

Perempuan Timor-Leste  Berjuang untuk Orang Miskin

Maria de Lourdes Martins Cruz, juga dikenal sebagai Mana Lou, adalah salad satu penerima Ramon Magsaysay Award tahun ini. (Foto: Maria Tan)

Pada mulanya, para uskup sangat mendukung proyeknya. Mereka mengira dia akan memulai sebuah kongregasi religius.

Tapi Maria de Lourdes Martins Cruz, juga dikenal sebagai Mana Lou, memiliki sesuatu yang lain dalam pikirannya.

Mana Lou yang saat itu baru pulang studi dari Indonesia ingin memulai “lembaga sekuler” untuk “memahami Injil dengan cara tradisi orang Timor-Leste.”

Para uskup terperanjat. Mereka tidak menginginkan “ide revolusioner” seperti itu di tengah situasi Timor-Leste yang penuh dengan konflik.

Tidak ada yang dapat menghentikan Mana Lou. Dia dianggap sebagai “louco” atau gila oleh para pengkritiknya karena memimpikan apa yang mungkin merupakan proyek yang mustahil.

“Hidup itu tidak mudah,” katanya kepada ucanews.com di Manila di mana dia menerima Magsaysay Award tahun ini untuk pelayanannya kepada masyarakat di negaranya.

“Saya menemui banyak kesulitan, dan para uskup baru memberi saya waktu yang sulit,” katanya.

“Tapi itulah kenyataannya, dan saya harus melanjutkan pekerjaan saya,” kata pendiri Instituto Seculare Maun Alin Iha Kristo (ISMAIK).

Dia mengatakan dia ingin “melengkapi” apa yang Gereja tidak bisa lakukan.

“Banyak yang harus kami lakukan, seperti katekismus, mengajar dan membantu orang, evangelisasi,” katanya tentang apa yang dia gambarkan sebagai “bagian dari misi saya.”

“Banyak pastor dan biarawati memahami situasi dari perspektif agama, tetapi mereka tidak memahami jalan umat awam,” kata Mana Lou.

 

Menemukan panggilannya

Maria de Lourdes Martins Cruz lahir  tahun 1962, salah satu dari tujuh anak dari petani kopi yang kaya di Liquica, Timor-Leste.

Dia belajar di sebuah institut Yesuit di Yogyakarta di mana dia terpengaruh “teologi pembebasan” Gustavo Gutierrez dan pedagogi Paulo Freire.

Dia bergabung dengan Kongregasi Suster-Suster Putri Canossian, tetapi mengundurkan diri sebelum mengucapkan kaul kekalnya ketika dia menemukan bahwa panggilan pribadinya terletak di luar batas-batas dinding biara.

Tahun 1989, ia mendirikan Instituto Seculare Maun Alin Iha Kristo atau Lembaga Sekuler Saudara Sekuler di dalam Kristus, sebuah lembaga awam laki-laki dan perempuan yang didedikasikan untuk mengangkat orang-orang miskin yang paling miskin.

Organisasinya memulai proyek dalam bidang perawatan kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, dan inisiatif swadaya lainnya.

Selama perjuangan kemerdekaan Timor-Leste dari Indonesia, Mana Lou membangun tempat perlindungan di perkebunan kopi ayahnya di Dare, di perbukitan dekat  ibukota negara itu, Dili.

Dalam perkembangan waktu, perlindungan akan mencakup sekolah untuk anak perempuan, panti asuhan, rumah bagi orang sakit, dan tempat di mana orang-orang dari berbagai agama dan politik dapat menemukan keamanan dan kedamaian.

Tahun-tahun berikutnya, proyek ini diperluas untuk lebih dari sepuluh rumah di seluruh negeri yang disebut “sekolah kehidupan”.

Mana Lou juga mendirikan Klinik Bairo Pite, sebuah klinik gratis yang besar untuk orang miskin yang melayani rata-rata 300 pasien setiap hari.

“Humanitarianisme murni” Mana Lou dalam mengangkat orang Timor-Leste yang miskin “dikutip ketika dia menerima Magsaysay Award, penghargaan Asia yang setara dengan Hadiah Nobel pada 31 Agustus.

Penghargaan ini juga mengakui “perjuangannya yang berani untuk keadilan sosial dan perdamaian, dan dia memelihara perkembangan warga negara yang otonom, mandiri, dan peduli.”

 

Cara Mana Lou  mengikuti Yesus

Itu bukan perjalanan yang mudah untuk Mana Lou. Bahkan hari ini, dia mengatakan orang-orang, termasuk para imam, biarawati dan uskup, tidak mengerti apa yang dia lakukan.

“Pemimpin Gereja membuat saya kesulitan,” katanya. “Mereka tidak mengerti spiritualitas dan karisma saya.”

Dia menggambarkan panggilannya sebagai terkait dengan kebebasan negaranya, Timor-Leste.

“Saya memilih untuk membentuk lembaga sekuler, bukan  religius, karena saya tidak ingin hanya tinggal di biara dan berdoa,” katanya kepada ucanews.com.

Mana Lou berkata dia ingin mengikuti jejak Yesus, “tetapi saya juga ingin pergi ke luar dan bersama orang-orang dan bekerja dengan orang-orang.”

Dia mengatakan Injil mengajarkan bahwa Yesus hidup sederhana. “Mengapa kita begitu rumit,” katanya, seraya menambahkan bahwa Gereja “telah menjadi terlalu rumit.”

“Daripada fokus pada hierarki, mengapa kita tidak menjalani kehidupan  sederhana,” kata Mana Lou. “Jika kita memahami Kristus, maka hidup akan menjadi sederhana, seperti Kristus.”

Dia mengatakan semua orang harus merayakan Ekaristi dan melihat contoh Yesus yang menawarkan dirinya “bagi kita untuk menjadi satu dan bersatu.”

Mana Lou mengatakan orang harus mengikuti Yesus “dengan cara yang lebih praktis.”

“Orang-orang harus mengambil kendali. Jika jalan perlu diperbaiki, kami memperbaikinya. Jika seseorang membutuhkan bantuan dalam pekerjaan pertanian, kami membantu,” katanya.

“Kami adalah negara baru,” kata Mana Lou. “Negara ini membutuhkan orang yang memiliki hati yang cukup besar untuk cintai dan tubuh yang siap  melakukan kerja keras.”

Dia mengatakan ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan mencapai kebebasan sejati. Pada usia 56 tahun, dia mengatakan sudah waktunya bagi kaum muda  mulai bekerja untuk “masyarakat yang lebih baik dan bebas.”

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi