UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Penghargaan Bagi Pembunuh Muslim Mindanao Menuai Kemarahan

September 27, 2018

Penghargaan Bagi Pembunuh Muslim Mindanao Menuai Kemarahan

Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyematkan tanda jasa kepada seorang tentara yang terluka di provinsi Sulu pada 24 Sept. Duterte mengunjungi para tentara yang terluka dalam insiden yang diduga dengan anggota Abu Sayyaf pada 14 Sept. 14. (Foto: Divisi Komunikasi Presiden)

Kelompok hak asasi manusia mengecam Presiden Filipina Rodrigo Duterte karena memberikan penghargaan kepada 17 tentara anggota pasukan khusus  yang terlibat dalam pembunuhan tujuh pemuda Muslim.

Presiden memberikan medali kepada para prajurit yang terluka di sebuah rumah sakit militer di kota Jolo, provinsi Sulu, dalam kunjungannya pada 24 September,  yang digambarkan sebagai “rahasia militer.”

Para tentara terluka setelah bentrokan yang menurut laporan antara tentara dan pejuang dari kelompok teror Abu Sayyaf di kota Patikul pada 14 September.

Militer mempertahankan bahwa ada pertempuran bersenjata berhadapan dengan sekitar 100 orang teroris bersenjata.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa tujuh pemuda yang tewas itu bukan bagian dari kelompok teror dan mereka terperangkap dalam pertempuran.

Keluarga mereka menyangkal mereka adalah anggota Abu Sayyaf, yang telah berjanji setia kepada ISIS.

Para Keluarga korban menyatakan bahwa mereka yang meninggal adalah pemetik buah yang bekerja di sebuah perkebunan didekat tempat pertempuran.

Uskup Antonio Ablon dari Gereja Independen Filipina menggambarkan insiden itu sebagai “pembantaian”, dan menambahkan bahwa orang-orang itu “dieksekusi” oleh para tentara.

Letnan Kolonel Gerry Besana, juru bicara Komando Militer Mindanao Barat, bersikeras bahwa tujuh orang itu adalah teroris yang tewas dalam “operasi militer yang legal.”

Jerome Succor Aba, ketua kelompok Voice of the Bangsamoro, mengatakan kunjungan Duterte ke tentara yang terluka adalah “upaya putus asa untuk mencuci darah dari tangan para prajurit.”

Aba mengatakan, undang-undang darurat militer di Filipina selatan telah “memberikan keberanian kepada pasukan negara untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat Bangsamoro.”

Komisi Hak Asasi Manusia di Daerah Otonom di Mindanao yang mayoritas Muslim telah menyatakan “kekawatiran besar” atas keselamatan orang-orang di provinsi Sulu setelah pembunuhan itu.

Ketua Komisi, Abdulnasser Badrudin, mengatakan “insiden itu menunjukkan penggunaan otoritas militer yang berlebihan dan kegagalan untuk melakukan uji tuntas.”

Dia mengingatkan pemerintah bahwa hak untuk hidup terus diganggu bahkan selama operasi militer dan darurat militer.

Lembaga studi Islam dan Demokrasi Filipina, sebuah think tank Muslim di Manila, menyerukan penyelidikan atas insiden tersebut.

Amina Rasul, ketua lembaga itu, mengatakan pemerintah harus “bertindak proaktif” dan mengatasi ekstremisme kekerasan, “mengingat potensi masalah yang muncul dengan ada penerapan darurat militer.”

Organisasi itu mendesak Duterte untuk meninjau darurat militer di Mindanao dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan tidak hanya di Sulu tetapi di bagian lain di wilayah itu.

Pada 25 September, kelompok hak asasi manusia Karapatan melaporkan bahwa seorang perempuan  aktivis hak asasi perempuan tewas di provinsi Maguindanao pada 23 September.

Mariam Uy Acob, 43 tahun, paralegal dari Aliansi Hak Asasi Manusia Kawagib Moro, ditembak mati oleh orang-orang yang dicurigai sebagai agen militer,  menurut kelompok HAM Karapatan dalam sebuah pernyataan.

Kelompok hak asasi manusia menggambarkan Acob sebagai “kritikus militer yang gigih di komunitas Moro” yang “secara konsisten mengecam pemboman udara dan perkemahan di masyarakat.”

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi