UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Meningkatkan Pendidikan Menjadi Perjuangan yang Berat di Papua

Oktober 8, 2018

Meningkatkan Pendidikan Menjadi Perjuangan yang Berat di Papua

Anak-anak Papua sedang belajar di SD Kleublouw di Sentani Timur, Jayapura. (Foto: Benny Mawel)

Abraham Hubi, menganggap dirinya anak yang paling beruntung karena dia bisa bersekolah di SMP St. Antonius Padua. Sekolah yang digagas oleh Pastor Nico Syukur Dister OFM dan Pastor John Kore OFM ini berada di Sentani, tidak jauh dari ibukota provinsi Papua, Jayapura.

Anak kelas sembilan yang berasal dari desa terpencil di perbukitan mengatakan bahwa ini adalah sebuah keajaiban, mengingat dia tidak dapat membaca atau menulis setelah lulus dari sekolah dasar.

Itulah mengapa dia tidak keberatan untuk harus mengikuti “matrikulasi” sebelum masuk ke sekolah menengah pertama yang dikelola gereja Katolik, yang menawarkan satu-satunya kesempatan yang realistis baginya untuk masa depan yang lebih baik.

“Setelah meninggalkan sekolah dasar saya hanya bisa mengeja kata dan huruf. Tapi sekarang saya bisa membaca dan menulis,” katanya.

Buta huruf merupakan masalah utama di Papua, dengan banyak anak-anak tidak dapat membaca atau menulis meskipun telah menyelesaikan sekolah dasar.

Ada banyak alasan untuk ini, tetapi yang paling serius adalah kekurangan guru dan fasilitas sekolah.

Kekurangan ini seperti ini semestinya tidak perlu karena Papua – selain kekayaan alamnya – telah menerima triliunan rupiah selama bertahun-tahun dari pemerintah pusat untuk membantu mendukung status otonomi khusus.

Pemerintah daerah di Papua mengatakan mereka telah berusaha meningkatkan pendidikan melalui program-program seperti membangun sekolah di daerah terpencil. Namun, para pengamat pendidikan mengatakan sekolah yang dibangun tidak didukung oleh jumlah guru yang cukup.

Banyak anak-anak Papua tinggal di desa-desa terpencil, namun, sekolah-sekolah yang baik berada di kota-kota, kata Gabriel Payong, 28 tahun, kepala sekolah Kolese St. Antonius Padua.

Dia mengatakan solusi terbaik untuk siswa Papua saat ini, terutama di tingkat dasar dan menengah, adalah sekolah berasrama.

Gabriel Payong, Kepala Sekolah Kolese St Antonius Padua

Sekolah Santo Antonius menawarkan sekolah berasrama yang memungkinkan siswa untuk lebih fokus pada studi mereka.

“Sekolah semacam ini berguna untuk anak-anak dari desa, yang miskin secara ekonomi tetapi memiliki kemauan untuk belajar,” kata Payong.

Dia juga mengatakan sekolah asrama membantu anak-anak Papua menjadi orang yang bertanggung jawab, melalui peraturan yang mereka jalani.

“Di sini siswa dapat belajar, terlibat dalam kegiatan harian, dan kita dapat memantau kemajuan mereka,” katanya.

 

Memanfaatkan dana otonomi

 

Setelah pelantikannya di istana negara di Jakarta pada 5 September – bersama dengan gubernur yang baru terpilih lainnya – Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan bahwa selama lima tahun ke depan ia dan wakilnya, Klemen Tinal, akan fokus pada peningkatan pendidikan di provinsi Papua.

Dia mengatakan akan membangun infrastruktur pendidikan yang lebih baik di distrik dan kotamadya, serta menawarkan lebih banyak beasiswa kepada penduduk asli Papua untuk melanjutkan studi lanjut.

“Ada banyak anak Papua yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak,” kata Enembe.

Dia mengatakan pendidikan yang rendah adalah penyebab kemiskinan di Papua, sehingga menjadikannya provinsi termiskin di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik, dari 26 juta orang Indonesia yang secara resmi terdaftar sebagai orang miskin banyak yang tinggal di Papua.

“Dalam lima tahun ke depan, kami berharap melihat lebih banyak orang dididik,” kata Enembe.

Menurut Profesor Baltazar Kabuaya dari Universitas Cendrawaih, di Jayapura, upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan pendidikan dan layanan lainnya kemungkinan akan berhasil jika ada kepemimpinan yang kuat dan kemauan untuk mengelola sumber daya alam dan dana daerah otonomi khusus dengan lebih baik.

Karena Papua diberi status otonomi khusus pada tahun 2001 sebagian untuk membantu membangun provinsi secara ekonomi, pemerintah pusat telah menyediakan lebih dari 58 triliun dalam pendanaan tambahan, dan berencana untuk menyediakan lebih banyak lagi di tahun-tahun sebelum status khusus berakhir pada 2025.

Provinsi ini adalah rumah bagi 3,6 juta orang, di antaranya 61,3 persen beragama Protestan, 21 persen Katolik, dan 17,4 persen Muslim.

Kabuaya mengatakan dana otonomi adalah jumlah yang besar ketika mempertimbangkan jumlah penduduk provinsi sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyediakan pendidikan yang lebih baik bagi orang Papua.

“Kalau tidak, Papua akan kembali ke titik awal, setelah status otonomi khusus habis,” katanya.

 

Lebih banyak beasiswa

 

Tahun ini pemerintah provinsi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan menawarkan beasiswa kepada lebih dari 1.000 penduduk asli Papua untuk melanjutkan pendidikan tinggi di berbagai universitas.

Semua diharapkan untuk lulus dalam mengajar dan ditempatkan di pendidikan menengah dan tinggi.

Ferige Uaga, 28 tahun, seorang mahasiswa kedokteran di Jayapura, mengatakan dia menghargai niat baik Gubernur Enembe mengenai beasiswa, tetapi mengatakan mereka tidak pergi cukup jauh.

Beasiswa seharusnya tidak hanya diberikan kepada mereka yang mengejar karir di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang lain.

“Menawarkan beasiswa harus obyektif, dan juga bebas dari nepotisme,” katanya

Benyamin Lagowan, 28 tahun, mahasiswa kedokteran lainnya, mengatakan dibutuhkan banyak tenaga di sektor kesehatan sehingga lebih banyak beasiswa di bidang ini juga harus menjadi prioritas.

“Banyak klinik tidak memiliki dokter, jadi masuk akal untuk pemerintah harus mendukung mereka yang ingin menjadi dokter,” katanya, seraya menambahkan bahwa sekolah tentu akan membutuhkan petugas kesehatan untuk memastikan para siswa sehat.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi