Serikat Jesus (SJ) di Myanmar membuka sebuah institut pelatihan kepemimpinan untuk orang muda dengan dukungan penuh dari Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon.
Institut Kepemimpinan Myanmar (IKM) bertujuan membantu mengembangkan masyarakat yang lebih adil bagi orang miskin melalui para pemimpin profesional yang diilhami oleh sebuah komitmen untuk menciptakan perdamaian dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dengan motto “Belajar untuk Memimpin, Memimpin untuk Melayani,” IKM akan mempersiapkan para pemimpin di bidang pendidikan, wirausaha dan masyarakat sipil.
Romo Mark Raper SJ asal Australia, superior SJ di Myanmar, mengatakan IKM akan menjadi sesuatu yang istimewa bagi Orang Muda Katolik (OMK) yang mengikuti program untuk mengembangkan potensi mereka.
“Kami ingin memberi pendidikan yang solid dengan nilai besar dan harapan kami adalah OMK akan memberi kontribusi kepada masyarakat dengan bekal ketrampilan kepemimpinan mereka dan turutserta dalam pembangunan bangsa,” katanya kepada ucanews.com.
Ia menambahkan bahwa IKM terbuka bagi semua orang tanpa memandang latar belakang etnis atau agama.
Sebuah buletin SJ mengutip Pastor Joseph Anthony Jacob, direktur pertama IKM, yang mengatakan bahwa para pemimpin pada dasarnya adalah para peziarah dan bukan orang yang telah mencapai kesempurnaan.
“Kepemimpinan itu bukan apa-apa melainkan sebuah saluran pencarian dan ini merupakan cara baru menjadi penginjil dan nabi bagi orang miskin dan terpinggirkan dalam setiap masyarakat,” katanya.
Kurikulum IKM dikembangkan setelah melalui konsultasi dengan para pakar – di bidang pendidikan, wirausaha dan masyarakat sipil – dan dengan Universitas Manila yang dikelola SJ di Filipina.
Para pelajar akan menerima gelar diploma bidang pendidikan dari Universitas Ateneo de Manila, juga berada di Filipina.
Kardinal Bo telah lama ingin membuka sebuah institut kepemimpinan.
“IKM adalah satu cara untuk mulai membangun sebuah Myanmar yang baru, mengembangkan nilai-nilai demokrasi, melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia,” kata Kardinal Bo kepada Dewan HAM PBB pada Oktober 2016.
Kardinal Bo adalah tokoh Gereja yang vokal. Ia berulangkali mengimbau pengembalian lebih dari 80 sekolah Katolik yang dinasionalisasikan oleh eks-junta militer pada 1965.
Kardinal Bo mengatakan sekolah-sekolah itu “diambilalih dengan todongan senjata” dan telah melakukan kampanye terkait isu itu bersama para tokoh Kristen lainnya.
Pada 1950-an, Myanmar dianggap oleh banyak orang sebagai bangsa berpendidikan terbaik di Asia Tenggara karena kualitas pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Kristen.
Di bawah kepemimpinan militer, sistem pendidikan di negara itu hancur dan kekurangan dana.
Meskipun ada peningkatan dekade lalu, belanja negara masih di bawah 3,6 persen dari Produk Domestik Bruto yang rata-rata digunakan oleh anggota ASEAN lainnya.
Pendidikan adalah sektor utama yang menjadi komitmen Gereja Katolik di Myanmar sebagai bagian dari program pembangunan bangsa.
Program itu juga mencakup pengembangan manusia integral (fisik, spiritual, intelektual, politik, finansial dan sosial), dialog antaragama, pemberdayaan perempuan dan keadilan lingkungan.
Program yang dijanjikan Gereja itu mengemuka ketika Myanmar tengah merangkak naik setelah selama beberapa dekade dipimpin oleh pemerintahan militer dan kemudian Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan pemilihan pada 2015 dan mulai berkuasa pada April 2016.