UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pemerintah India Dikecam Atas Hilangnya Seorang Mahasiswa Muslim

Oktober 18, 2018

Pemerintah India Dikecam Atas Hilangnya Seorang Mahasiswa Muslim

Fatima Nafees, ibu dari Najeeb Ahmed yang hilang dari Universitas Jawaharlal Nehru pada 2016, menangis ketika ia menyampaikan orasi pada aksi protes di New Delhi pada Senin (15/10). Aksi ini digelar dua tahun setelah Ahmed menghilang. (Foto: Bijay Kumar Minj/ucanews.com)

Nasib seorang mahasiswa pasca-sarjana beragama Islam di India yang hilang dua tahun lalu telah memicu aksi protes menentang pemerintah di New Delhi.

Najeeb Ahmed, 27, tidak pernah menampakkan diri sejak 14-15 Oktober 2016 ketika ia terlibat dalam perkelahian dengan sejumlah anggota kelompok bernama Akhil Bharatiya Vidyarthi Parishad (ABVP) di Universitas Jawaharlal Nehru.

ABVP adalah sayap mahasiswa dari Bharatiya Janata Party (BJP) yang pro-Hindu dari Perdana Menteri Narendra Modi.

BJP mulai berkuasa sejak 2014.

Mahasiswa sayap kiri di universitas tersebut secara terbuka mengeritik dukungan ABVP untuk dominasi kelompok mayoritas Hindu atas bangsa itu, sesuatu hal yang sering mengarah pada pertikaian.

Pada Senin (15/10), sekitar 700 aktivis politik dan hak asasi manusia (HAM), tokoh agama dan perwakilan berbagai kelompok masyarakat sipil bergabung dengan sejumlah mahasiswa Universitas Jawaharlal Hehru dalam aksi long-march sejauh dua kilometer menuju sebuah lapangan yang terletak dekat gedung parlemen di India.

John Dayal, seorang aktivis HAM dan seorang Katolik yang mengikuti aksi protes itu, mengatakan banyak orang India merasa terancam oleh “pasukan fasis.”

Menurut Dayal, menargetkan kelompok-kelompok tertentu seperti warga suku, umat Islam dan warga Suku Dalit yang miskin – dulu dikenal sebagai kelompok tak tersentuh – merupakan hal yang sangat mengganggu.

“Kita harus memikirkan solusi bersama,” kata Dayal – yang juga sekjen Dewan Kristen Seluruh India.

Peserta aksi protes tersebut menuduh lembaga-lembaga pemerintah pusat yang bekerja di bawah BJP berusaha melindungi para penjahat di dalam ABVP yang mereka yakini bertanggungjawab atas hilangnya Najeeb Ahmed.

Ibu Ahmed, Fatima Nafees, mengatakan orang-orang Hindu garis keras yang menentang sekularisme berada dibalik kejahatan itu.

Ia mengatakan pada aksi protes itu bahwa Badan Penyelidikan Nasional (BPN) “tidak pernah membuktikan” hilangnya Ahmed dari asrama universitas.

“BPN bekerja atas perintah pemerintah, tetapi saya tidak akan menyerah,” katanya, seraya menambahkan ia akan terus mencari anaknya sendiri.

Sebuah peninjauan kembali telah diajukan atas putusan hakim pada awal Oktober, suatu hal yang memungkinkan BPN menutup kasus itu tanpa menyelesaikannya.

Dan penunjukan “Tim Investigasi Khusus” tengah diupayakan.

Radhika Vemula, ibu dari Rohith – seorang mahasiswa dari Suku Dalit, juga ikut aksi protes tersebut.

Rohith bunuh diri pada 2016 setelah mengalami intimidasi dari sejumlah pejabat di sebuah universitas di bagian selatan. Ia adalah pemimpin sebuah kelompok mahasiswa dari Suku Dalit.

“Warga Suku Dalit, warga suku dan umat Islam menjadi target,” kata Vemula.

“Peraturan BJP lebih buruk daripada peraturan pemerintahan Inggris,” lanjutnya.

Ia menambahkan masyarakat hendaknya memilih kandidat yang “cinta damai” dan bukan BJP.

Ketua Perhimpunan Mahasiswa Universitas Jawaharlal Nehru, N. Sai Balaji, mengatakan pada aksi protes itu bahwa pemerintahan Modi tengah berusaha menekan demokrasi dan keadilan.

“Tetapi jika Anda tidak memberi keadilan kepada kami, kami akan melengserkan Anda pada 2019,” katanya, seraya merujuk pada pemilihan umum yang akan digelar pada Mei tahun depan.

Para peserta aksi protes itu berteriak, “Kami adalah Najeeb” dan “Keadilan untuk Najeeb.”

India mengalami polarisasi agama yang semakin meningkat sejak BJP terpilih secara nasional dan mengendalikan banyak pemerintahan negara bagian.

Dan BJP – yang memproyeksikan diri sebagai pemenang untuk kepentingan Hindu – telah mendukung kelompok-kelompok Hindu ultra-nasionalis, demikian menurut para aktivis yang mendukung kelompok minoritas.

Para tokoh Kristen dan Muslim mengeluhkan meningkatnya kekerasan terhadap komunitas mereka.

Sedikitnya 10 pria Hindu dibunuh dan banyak lainnya mengalami cedera akibat aksi main hakim sendiri dengan dalil “perlindungan sapi.”

Pada 2017, Persecution Relief mencatat 600 insiden kekerasan terhadap umat Kristen termasuk perusakan gereja, ancaman dan intimidasi, boikot sosial, kampanye kebencian, penculikan, pembunuhan dan upaya pembunuhan.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi