Organisasi-organisasi Kristen di Indonesia mengkritik keras Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru yang mengharuskan izin pemerintah untuk menyelenggarakan Sekolah Minggu, katekese atau kelas-kelas Kitab Suci.
RUU “Pesantren dan Pendidikan Keagamaan” menetapkan bahwa untuk mengadakan kegiatan ini, setiap penyelenggara harus memiliki minimal 15 peserta dan mendapat persetujuan dari Kementerian Agama.
RUU itu diharapkan bisa mengatur pengajaran agama di sekolah dan rencananya akan disahkan tahun depan.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekuturan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sudah menyampaikan tanggapan mereka terhadap rancangan undang-undang tersebut.
KWI, melalui Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) telah mencermati RUU yang menjadi usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Rapat Paripurna tanggal 16 Oktober 2018. (Baca Tanggapan KWI Terhadap RUU Pesantren ).
Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM dari Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia menyebut ketentuan itu sebagai “ancaman” bagi komunitas Kristen.
“Ketentuan ini membatasi orang Kristen dalam menjalankan bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan,” katanya kepada ucanews.com.
“Tanggung jawab utama negara adalah untuk melindungi, memastikan bahwa setiap agama dapat menyebarkan kegiatan keagamaan dan tidak mengatur dan membatasi mereka,” katanya.
Imam, yang juga ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik Indonesia, mengatakan bahwa jika RUU disahkan menjadi undang-undang dapat berpotensi digunakan oleh kelompok garis keras untuk melakukan tindakan intoleran terhadap orang-orang Kristen.
“Undang-undang ini akan digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran untuk membenarkan kegiatan pelarangan yang mereka klaim tidak sesuai dengan ketentuan hukum,” katanya.
Gomar Gultom, Sekretaris Jenderal Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI), mengatakan Sekolah Minggu dan katekese adalah kegiatan pendidikan informal sehingga tidak boleh diatur dan diperlakukan sebagai pendidikan formal.
“Keduanya merupakan bagian dari pelayanan Gereja untuk anak-anak dan remaja, dan merupakan bagian dari ibadah kami,” katanya.
Juventus Prima Yoris Kagoo, ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, mengatakan bahwa dia mendukung pemerintah untuk lebih memperhatikan pendidikan agama, tetapi ia merasa dalam RUU ini agak keterlaluan.
“Pemerintah harus membatasi diri untuk (hanya mengatur) sekolah formal. Untuk kegiatan informal seperti Sekolah Minggu, biarkan Gereja menerapkan standar mereka sendiri,” katanya kepada ucanews.com.
Petisi online melalui Change.org terhadap RUU yang diluncurkan pekan lalu “Negara Tidak Perlu Mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi” telah menarik lebih dari 170.000 tanda tangan, menuntut pemerintah tidak perlu mengatur Sekolah Minggu dan kelas katekese.
Menanggapi kritik tersebut, Ace Hasan Syadzily, anggota dewan yang turut menyusun RUU itu, mengatakan bahwa RUU ini terbuka untuk menerima masukan, terutama organisasi-organisasi keagamaan.
“Kami ingin menjadwalkan pertemuan dengan perwakilan dari masing-masing agama, termasuk Gereja Katolik dan Gereja Protestan,” katanya pada 27 Oktober.