UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Aktivis, Pengacara, Tokoh Agama Bela Ketua PSI dari Tuduhan Penodaan Agama

Nopember 21, 2018

Aktivis, Pengacara, Tokoh Agama Bela  Ketua PSI dari Tuduhan Penodaan Agama

Grace Natalie, ketua umum dan pendiri Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berbicara kepada para wartawan usai bertemu dengan para komisioner Komnas Perempuan pada 19 November di Menteng, Jakarta Pusat. (Foto: website PSI)

Sejumlah aktivis, tokoh agama dan pengacara membela Grace Natalie, ketua umum  Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang dituduh melakukan penodaan agama menyusul pidatonya yang menolak penerapan Perda Syariah  dan Perda Injil di Indonesia.

Grace, 36,  pendiri PSI, dilaporkan ke Bakereskrim pada 16 November oleh Eggi Sudjana, pengacara dari  Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).

Ia dituduh melakukan penodaan agama karena mengkritik perda-perda yang melarang “perbuatan amoral” seperti perjudian, alkohol, dan prostitusi dalam pidatonya menandai 4 tahun PSI, yang diadakan  di Tangerang, Banteng, belum lama ini.

” PSI akan mencegah ketidakadilan, diskriminasi, dan semua tindakan intoleran di Indonesia. PSI tidak akan mendukung Perda Injil dan Perda Syariah,” katanya.

Berbicara kepada para wartawan  pada 19 November dalam menanggapi tuduhan itu, mantan jurnalis  TVOne itu mengatakan, “Penerapan perda-perda berbasis agama membuat wanita menjadi korban dan saya menjadi korban karena menolak regulasi tersebut.”

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perepuan (Komnas Perempuan) mengatakan ada  421 perda  diskriminatif yang diterapkan di 13 provinsi di Indonesia.

Provinsi Aceh telah menerapkan Perda Syariah dan banyak orang khususnya perempuan, yang menjadi target peraturan tersebut, dengan dicambuk di depan publik.

Menurut Sudjana,  pidato Grace menentang ayat-ayat dalam Alquran. “Pernyataannya menimbulkan permusuhan dan kebencian terhadap agama,” kata Sudjana.

SETARA Institute mengatakan  pidato Natalie tidak memiliki unsur penodaan agama dan tuduhan itu didorong oleh motif politik.

“Ketum PSI tersebut justru sedang mengingatkan masalah serius konstruksi hukum Indonesia sebagai negara hukum Pancasila. Begitu banyak regulasi daerah yang bersifat diskriminatif dalam aneka bentuk, dari surat edaran hingga peraturan daerah, dengan mengekspresikan keberpihakan hanya pada kelompok tertentu berdasar agama, jender, etnisitas, dan sebagainya,” kata direktur eksekutif SETARA  Institute Hendardi kepada ucanews.com.

Menurutnya, “Kepentingan politik berada di balik pelaporan penodaan agama dipastikan sangat dominan dibandingkan dengan intensi penegakan hokum demi keadilan. Proses peradilannya pun banyak diwarnai dengan tekanan politis melalui mobilisasi massa.”

Petrus Selestinus, seorang pengacara Katolik, mengatakan Sudjana tidak memahami secara jernih substansi dari Perda Syariah dan Perda Injil.

“Sikap Grace Natalie yang menolak Perda Syariah dan Perda Injil sangat beralasan karena Perda Syariah dan/atau Injil secara tidak langsung berpotensi “menegasikan” posisi hukum nasional dan menempatkan Syariah dan Injil untuk kepentingan politik praktis dalam kehidupan masyarakat dan keagamaan yang dianut oleh setiap Individu secara beraneka ragam di suatu daerah,” katanya.

Ia mengatakan justru sebaliknya pihak yang membuat Perda Syariah dan/atau Injil itulah yang patut diduga melakukan penistaan agama, karena menjadikan aturan dan/atau nilai agama sebagai alat di dalam kepentingan politik praktis melalui perda yang sifatnya bisa dirubah, dibatalkan ataupun dihapus, padahal nilai dan aturan agama tidak boleh diubah atau diganti atas alasan apapun.

Pendeta Gomar Gultom, Sekretaris Umum Perkeskutuan Gereja-gereja di Indonesia mendukung Grace menolak Perda berbasi.

“Saya kira apa yang disampaikan oleh Grace Natalia sangat wajar berdasarkan logika hukum. Segala produk hukum haruslah imparsial dan tidak bisa hanya berdasarkan dan untuk kalangan tertentu saja,” katanya.

Menurutnya, agama-agama tentu punya peran dalam menyumbangkan nilai-nilai dan moral dalam penyusunan regulasi. Tapi, sumbangan nilai-nilai tersebut haruslah melalui proses objektifikasi, sehingga dapat diterima oleh semua warga. Itu berarti, simbol-simbol keagamaan itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa umum.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi