UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Tidak Ada Urgensi Pendidikan Keagamaan (Katolik) Diatur Melalui UU

Nopember 22, 2018

Tidak Ada Urgensi Pendidikan Keagamaan (Katolik) Diatur Melalui UU

Lucius Karus

Oleh: Lucius Karus

Posisi pembahasan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan per 16 Oktober lalu telah disetujui oleh Paripurna DPR menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Tahap selaniutnya, RUU tersebut dikirim ke Presiden untuk mendapatkan Surpres yang akan berisi persetujuan Presiden untuk membahas bersama antara Pemerintah dan DPR. Dalam Surpres tersebut Presiden akan menunjuk kementerian yang akan membahas dengan DPR pasal demi pasal RUU tersebut.

Proses pembahasan RUU usul inisiatif DPR selanjutnya akan dimulai setelah DPR menerima SURPRES dari Presiden yang berisi persetujuan Pemerintah untuk memulai pembahasan dengan Menteri yang ditugaskan Presiden untuk membahas bersama Alat Kelengkapan DPR. Untuk RUU yang menjadi Usul Inisiatif DPR, maka DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dari Pemerintah yang akan dijadikan acuan pembahasan pasal-pasal dalam RUU.

Kembali ke RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, pertanyaan utama yang harus diajukan seurgen apa RUU ini dibahas oleh DPR? Seprioritas apa Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini memerlukan UU khusus?

Saya sebagai salah seorang Katolik sejak lahir merasa tak ada urgensi apapun pendidikan keagamaan (Katolik) diatur negara melalui UU khusus. Pengaturan oleh negara melalui UU khusus hanya akan membuka ruang intervensi negara dalam kehidupan internal Gereja. Dan ini tentu melawan prinsip dasar kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD.

Kebutuhan riil Gereja Katolik saat ini bagaimana mendesak negara agar konsisten menjamin kebebasan beragama (Katolik). Kita tahu dalam urusan beribadah yang seharusnya dijamin kebebasannya, negara masih alpa atau gagal hadir sebagai Pelindung ketika hambatan untuk mendirikan rumah ibadah begitu sulit diperoleh.

Dengan dasar itu, sesungguhnya terlalu berlebihan jika negara mau merambahi kehidupan beragama (Katolik) sampai pada keinginan untuk mengatur kegiatan-kegiatan internal gerejawi/agama. Bagaimana kita bisa percaya dengan niat baik negara di hadapan fakta yang telah lama ada bahwa jaminan beribadah untuk agama tertentu belum sepenuhnya dilayani negara? Lalu kini mereka mau ngatur hal yang bahkan tak begitu urgen untuk diatur melalui UU, hal-hal yang seharusnya menjadi kebijakan internal.

Oleh karena itu saya kira sikap yang paling tepat dari agama (Katolik) terhadap RUU Pendidikan Keagamaan adalah menolak judul “Pendidikan Keagamaan” dalam judul RUU yang kini sedang mau dibahas Pemerintah dan DPR. Biarkan saja negara jika mereka mau membuat RUU untuk Pesantren kalau agama Islam memang menginginkannya.

Agama Katolik saya kira tak perlu latah ikut-ikutan mau agar aktivitas seperti sekolah minggu juga mau diatur negara melalui UU Khusus. Kita hanya butuh jaminan negara atas kebebasan beragama/beribadah, sesuatu yang sampai saat ini lebih menjadi komoditas politik ketimbang sebuah aksi serius untuk melindungi umat beragama (Katolik).

Oleh karena itu kita (agama Katolik) saya kira tak perlu ikut repot-repot meladeni pemberian masukan soal materi RUU tersebut. Katakan saja sikap kita untuk menolak adanya UU khusus yang mengatur pendidikan internal Gereja. Hapus judul “Pendidikan Agama” dalam RUU itu.

Jika kita malah terjebak dalam pusaran kepentingan pengusul dan pembahas RUU itu ancaman pemasungan terhadap kebebasan beragama makin serius ke depannya. Jika kita mengijinkan agar aktivitas intern diatur, itu berarti kita membuka pintu bagi negara untuk leluasa memasukki ranah internal agama kita. Dan tentu saja negara melalui pemerintahannya bukanlah entitas tunggal yang sikapnya bisa kita pegang teguh. Sikap terhadap agama dari negara akan berubah sesuai dengan visi dan misi pemimpin yang menjadi penguasa pada waktunya.

Siapkah kita menghadapi kenyataan ketika negara dalam genggaman rejim yang intoleran menggunakan UU itu nanti untuk membungkam kegiatan internal kita?

Jadi jangan terpancing dengan permainan elit untuk sesuatu yang menjadi ranah privat agama kita.

Dalam banyak RUU yang disusun DPR kadang memang ketakpahaman pembuat UU berdampak pada kehadiran UU yang tidak berkualitas sehingga publik masih harus mengujinya ke Mahkamah Konstitusi.

Bisa juga alasan kepentingan politik tertentu yang akhirnya membuat DPR mengatur sesuatu yang seharusnya tak perlu diatur.

Saya menduga kepentingan politik ini yang mendorong DPR menyusun RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Mereka ingin terlihat peduli pada agama sehingga merasa perlu mengatur banyak aktivitas keagamaan melalui RUU ini. Padahal kepedulian ini sesungguhnya hanya semacam trik untuk mendapatkan simpati terutama di tahun politik seperti saat ini.

Bahaya betul kalau urusan keagamaan ini dibangun diatas interest politik semacam ini. Atas dorongan kepentingan seperti itu, alih-alih memperkuat pendidikan keagamaan, kehadiran UU ini justru bisa berdampak pada pengekangan aktifitas keagamaan karena negara mau mengatur semuanya.

DPR harus bisa memahami makna kebebasan beragama sehingga tidak melahirkan UU yang justru kontraprodukrif.

DPR kali ini punya catatan negatif dalam hal mendukung demokrasi substantif. Melalui UU MD3 misalnya mereka ingin agar DPR menjadi lembaga anti kritik, superbody. Sesuatu yang sudah pasti melawan prinsip dasar kebebasan warga negara yang menjadi salah satu unsur demokrasi.

Jangan sampai RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan juga akan menjadi tonggak sejarah soal DPR yang makin anti demokrasi.

Lucius Karus adalah seorang aktivis yang sehari-hari bekerja untuk Forum Masyarakat Peduli Parlement Indonesia (FORMAPPI). Tulisan ini adalah pandangan pribadi beliau.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi