Sejumlah imam, veteran perang dan pekerja berpenghasilan rendah yang mengklaim lahan pertaniannya dirampas secara ilegal bulan ini di Vietnam mengecam berbagai rencana bantuan finansial pemerintah baru-baru ini.
Surat kabar milik negara, Tuoi Tre, melaporkan pada 13 Januari bahwa Distrik Tan Binh di Ho Chi Minh City akan membantu orang-orang yang kehilangan lahan pertanian seluas 4,8 hektar dengan membayar mereka sejumlah uang sebesar 7.055.000 dong atau sekitar 4,3 juta rupiah per meter persegi.
Distrik itu juga menawarkan 12-18 juta dong kepada setiap orang yang tanaman pertaniannya rusak akibat penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah, demikian laporan surat kabar tersebut.
Para korban juga akan menerima pelatihan ketrampilan dan bisa meminjam uang di bank, hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan.
Namun, sejumlah pengkritik termasuk Uskup Parramatta di Australia Mgr Vincent Nguyen Long yang lahir di Vietnam mengecam penggusuran itu. Sementara pengkritik lainnya menolak usulan paket bantuan karena sangat tidak mencukupi.
Pada 4 dan 8 Januari, para pejabat distrik itu merobohkan 112 rumah yang dibangun di atas lahan yang merupakan milik 134 keluarga di Paroki Loc Hung. Salah satu rumah yang dirobohkan digunakan oleh Gereja untuk menampung para veteran perang yang menderita cacat. Menurut laporan, warga tidak diberi peringatan sebelumnya.
Pastor Anthony Le Ngoc Thanh, ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian dari Kongregasi Sang Penebus Maha-Kudus, mengatakan bantuan finansial yang ditawarkan tidak wajar dibanding harga pasar mengingat lokasi lahan pertanian itu terletak dekat wilayah perkotaan.
Sebuah apartemen berukuran 60 meter persegi di wilayah sekitar dihargai hingga 3,5 miliar dong atau delapan kali lipat dari harga yang ditawarkan pemerintah untuk lahan pertanian itu, katanya.
“Ada kolusi di berbagai kelompok kepentingan,” lanjutnya.
Ia mengatakan para pejabat pemerintah memanfaatkan kekuasaannya dengan memaksa para korban untuk menerima harga yang lebih rendah dari harga pasar tanpa negosiasi.
Sejumlah pejabat mengatakan mereka hanya merobohkan rumah-rumah yang tidak memiliki ijin mendirikan bangunan dan bukan menyita lahan.
Sementara itu, pada 12 Januari, otoritas mengumumkan sebuah rencana yang lebih terperinci untuk sekolah dan fasilitas publik lainnya. Hal ini membuat banyak orang khawatir bahwa rencana itu akan menggusur rumah mereka.
Pastor Thanh menuduh para pejabat secara ilegal merebut properti sah milik warga yang telah tinggal dan bercocoktanam di lahan mereka sejak 1954 setelah meninggalkan wilayah bagian utara pada awal pemerintahan komunis.
Ia mendorong para korban agar menggugat para pejabat sebagai upaya untuk mencari kompensasi atas harta benda mereka yang rusak selama proses penggusuran itu.
Seorang pengacara yang minta tidak disebutkan namanya mengatakan penggusuran itu sebenarnya bertujuan untuk menggusur warga dari lahan mereka secara paksa dan bukan merobohkan rumah-rumah secara ilegal.
Ia menuduh otoritas berbohong kepada publik dan meminta para korban untuk meminta bantuan hukum guna melindungi hak dan properti mereka.
Pengacara itu meminta publik untuk menyatakan pandangan mereka terkait isu tersebut dan menggelar aksi protes jika diperlukan untuk meminta jawaban.
Nguyen Thi Thai, pemilik sebuah restoran sederhana, mengatakan keluarganya yang beranggota 16 orang tinggal di atas lahan itu selama 65 tahun sebelum pemerintah merobohkan rumah dan harta benda mereka.
“Mereka menghancurkan mata pencaharian kami dan mereka tidak peduli. Ini sangat memalukan,” kata wanita berusia 64 tahun itu sambil menangis.
Mereka kini harus membayar 7 juta dong per bulan untuk menyewa sebuah rumah. Tetapi keluarga itu tidak memiliki penghasilan, lanjutnya.