UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Uskup Myanmar Desak Perundingan Damai Atas Krisis Rakhine 

Januari 15, 2019

Uskup Myanmar Desak Perundingan Damai Atas Krisis Rakhine 

Sebuah keluarga Myanmar mengungsi ke lokasi aman menyusul pertempuran antara pasukan pemerintah dan Tentara Arakan. Lebih dari 700 orang mengungsi di kota Kyauktaw di Negara Bagian Rakhine pada 23 Desember. (Foto: AFP)

Uskup Alexander Pyone Cho menyerukan semua pihak untuk kembali bernegosiasi karena pertempuran meningkat di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Uskup Keuskupan Pyay tersebut mengatakan ketegangan tetap tinggi antara militer dan Tentara Arakan.

“Memecahkan masalah dengan senjata tidak akan mengarah pada solusi, jadi kedua belah pihak perlu pergi ke meja perundingan (dan bekerja) menuju stabilitas dan perdamaian,” kata Uskup Pyone Cho kepada ucanews.com.

Lebih dari 4.500 orang telah meninggalkan rumah-rumah mereka dan mengungsi ke biara-biara dan sekolah-sekolah di empat kota di Rakhine.

“Warga sipil menjadi korban pertempuran itu dan lebih banyak orang mungkin melarikan diri jika pertempuran meningkat,” kata uskup.

Uskup berusia 69 tahun itu mengatakan pertempuran baru di Rakhine akan berdampak pada proses perdamaian karena pemerintah Aung San Suu Kyi berusaha untuk bernegosiasi dengan semua kelompok etnis bersenjata untuk perdamaian sejati.

“Ini merupakan sebuah tantangan bagi pemerintah tapi saya yakin Aung San Suu Kyi tidak akan menyerah prioritasnya untuk mendapatkan perdamaian karena dia sangat berkomitmen untuk itu,” kata Uskup Pyone Cho.

Militer Myanmar mendeklarasikan gencatan senjata empat bulan di Myanmar bagian utara dan timur pada 21 Desember, tetapi Rakhine tidak diikutsertakan dan operasi melawan Tentara Arakan terus berlanjut.

Pada 8 Januari, para pemimpin sipil Myanmar, termasuk penasihat negara Suu Kyi, bertemu dengan sebuah delegasi yang dipimpin oleh Panglima Militer Min Aung Hlaing untuk membahas situasi tersebut.

Tentara Arakan dibentuk di Rakhine tahun 2009 untuk melindungi orang-orang etnis Rakhine dan diperkirakan memiliki beberapa ribu tentara yang dilengkapi dengan senjata.

Uskup Alexander Pyone Cho dari Keuskupan Pyay (kiri depan) sebelum memulai Misa di Yangon pada 10 Januari. (Foto: Keuskupan Agung Yangon)

 

Keuskupannya Mgr Pyone Cho mencakup Rakhine yang bermasalah, yang telah mengalami krisis Rohingya ketika ribuan orang melarikan diri ke Banglades menyusul tindakan keras militer Myanmar pada Agustus 2017.

Dia mengatakan sulit untuk mengatakan kapan para pengungsi Rohingya di Banglades akan kembali ke Myanmar karena banyak orang percaya situasi tidak aman.

“Pihak Myanmar siap menerima semua pengungsi tetapi  para pengungsi Rohingya masih khawatir akan keamanan mereka,” kata Uskup Pyone Cho kepada ucanews.com.

Ketidakstabilan di Rakhine mungkin menjadi satu lagi alasan bagi para pengungsi untuk tetap tinggal di Banglades, katanya.

Uskup itu mengakui bahwa tekanan internasional terhadap Myanmar akan terus ada di tahun 2019, tetapi ia memperingatkan bahwa mencari kesalahan hanya akan memperburuk situasi.

“Komunitas internasional juga perlu mencari tahu hal-hal positif dan membantu pemerintah Aung San Suu Kyi untuk menemukan solusi sejati,” kata Uskup Pyone Cho.

Lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke Banglades setelah tindakan keras militer yang dimulai pada Agustus 2017 menyusul serangan terhadap personil keamanan oleh militan Rohingya.

Laporan Misi Pencari Fakta PBB menemukan bahwa militer Myanmar melakukan empat dari lima tindakan yang merupakan genosida terhadap Rohingya. Laporan itu juga mengatakan Min Aung Hlaing dan lima jenderal senior lainnya harus dituntut karena genosida dan kejahatan perang terhadap kemanusiaan.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi