UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kasus Penodaan Agama di Indonesia Meningkat Tajam

April 3, 2019

Kasus Penodaan Agama di Indonesia Meningkat Tajam

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos berbicara kepada wartawan seusai peluncuran laporan tahunan pada 31 Maret di Jakarta. (Foto: Katharina R. Lestari/ucanews.com)

Kasus penodaan agama di Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun lalu, demikian laporan tahunan Setara Institute.

Laporan berjudul “Melawan Intoleransi di Tahun Politik” yang dirilis pada 31 Maret di Jakarta itu mencatat 25 kasus penodaan agama pada 2018. Sementara pada 2017 tercatat hanya sembilan kasus penodaan agama.

Selain itu, laporan itu juga menyebutkan bahwa kasus penodaan agama menjadi salah satu aspek kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang menonjol tahun lalu. 

Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, kasus penodaan agama mendapat penekanan karena riset yang dilakukan oleh lembaganya mengungkap bahwa ada 97 kasus penodaan agama sejak 1965 hingga 2017.

“Jadi sejak 1965 hingga 2017 itu berapa tahun? Hanya ada 97 kasus. Tapi ini luar biasa, sepanjang tahun 2018 ada 23 kasus baru dan 2 kasus lama. Jadi itu satu hal. Dari sisi akselerasi, kasus penodaan agama tinggi pada tahun lalu,” katanya kepadaucanews.com saat peluncuran laporan tahunan itu.

Ia menyebut kasus penodaan agama yang dialami oleh Meliana, seorang wanita Buddha berusia 44 tahun yang dijatuhi hukuman penjara 1,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Medan pada Agustus lalu, sebagai salah satu kasus yang tercatat pada 2018.

Ibu keturunan Cina beranak empat itu didakwa melakukan penodaan agama setelah ia mengeluh kepada anak penjaga masjid yang terletak di sekitar rumahnya  di Kota Tanjung Balai bahwa suara adzan dari masjid itu terlalu keras.   

Umat Islam setempat menanggapi komentar tersebut sebagai sebuah keinginan dari wanita itu untuk menghentikan suara adzan. Massa lalu menyerang rumahnya dan membakar belasan wihara dan kelenteng. 

Halili mengatakan penyalahgunaan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang mengakui hanya enam agama – Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu dan Protestan – dan yang melarang agama dan kepercayaan lain serta melarang interpretasi terhadap agama-agama yang diakui termasuk Islam turut menyebabkan peningkatan jumlah kasus penodaan agama.

Selain itu, katanya, UU No. 19/2006 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur penyebaran ujaran kebencian terhadap kelompok etnis, agama dan ras juga memainkan peran signifikan dalam peningkatan jumlah kasus penodaan agama.

“Kedua UU ini sering digunakan untuk merepresi golongan,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan sebagian besar dari 25 kasus penodaan agama yang tercatat tahun lalu merupakan dampak dari pertaruhan politik identitas.

“Kalau polarisasi terus terjadi dan politik identitas terus digunakan oleh pihak-pihak yang sedang bersaing di ruang publik, kita akan melihat munculnya apa yang disebut generasi pelapor, saling melapor satu sama lain untuk menundukkan lawan politiknya,” katanya.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi