Sejumlah kelompok HAM dan jurnalis telah membentuk sebuah komite yang bertujuan untuk melindungi para jurnalis dan menyampaikan kasus-kasus kekerasan dan penganiayaan yang meningkat terhadap para pekerja media tersebut.
Komite Perlindungan Jurnalis itu dibentuk oleh sembilan kelompok termasuk Amnesty International Indonesia, LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, dan Federasi Pekerja Media Indonesia.
Menurut AJI, sebanyak 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis tahun 2018, kasus ini meningkat dari tahun 2017 dengan 60 kasus.
“Banyak kekerasan baru-baru ini dimotivasi oleh meningkatnya kekerasan tersebut,” Abdul Manan, ketua AJI dan salah satu pendiri komite itu, kepada The Jakarta Post pada 8 April.
Gading Yonggar Ditya dari LBH Pers mengatakan kelompok-kelompok tersebut memutuskan untuk berkolaborasi membentuk komite itu karena akan lebih efektif dalam menangani kekerasan terhadap jurnalis.
“Tujuan kami adalah untuk mengatasi dan melawan kekerasan terhadap para jurnalis kita,” kata Ditya kepada ucanews.com.
“Sebelumnya, setiap organisasi berjuang sendiri-sendiri, namun kini kami dapat berkolaborasi dengan semua elemen,” katanya.
Kekerasan dan penganiayaan terhadap para jurnalis termasuk pemukulan, ancaman, pemenjaraan dan penyebaran data pribadi jurnalis secara digital.
Ia menjelaskan sejumlah kekerasan lain terhadap para jurmalis termasuk diserang atau mengambil kamera mereka dan menghapus foto-foto ketika mereka meliput acara politik termasuk acara zikir dan doa Munajat 212 di Monas, Jakarta, 21 Februari.
“Pers adalah pilar demokrasi, dan itu sangat penting bahwa mereka menjaga independensi mereka, bebas dari penganiayaan dan ancaman,” kata Ditya, seraya menambahkan bahwa para jurnalis bisa melaporkan kasus kekerasan yang telah mereka alami ke komite tersebut.
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menyambut baik komite itu akan membantu mengurangi kekerasan terhadap jurnalis.
“Kita berharap dengan adanya komite ini perlindungan akan lebih baik bagi pekerja media ke depan dan tidak ada lagi kekerasan terhadap mereka,” katanya.
Eman Dapa Loka, ketua Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI), mengatakan di sebuah negara demokrasi, kehadiran wartawan atau pers adalah sebuah keniscayaan.
“Tidak ada pilihan lain, negara atau masyarakat harus bersahabat dengan pers,” katanya.
Namun, katanya, pers harus selalu mengoreksi diri agar mampu menjadi penjaga martabat bangsa atau masyarakat.
“Moral dan kapasitas pers atau pekerja pers harus terjaga, kalau tidak akan ditinggalkan,” katanya, seraya menambahkan pers sendiri harus menjaga marwah sebagai ladang pengabdian yang mulia.
Alex Marten, seorang jurnalis, mengatakan pembentukan komite itu adalah sebuah inisiatif positif karena banyak wartawan yang tidak dilindungi secara legal.
“Kehadiran komite ini dapat membuat kami sebagai jurnalis merasa lebih nyaman dalam menjalankan pekerjaan kami,” katanya.