UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

KTT Para Uskup tentang Pelecehan Seksual: Perspektif Asia

April 12, 2019

KTT Para Uskup tentang Pelecehan Seksual: Perspektif Asia

Virginia Saldanha (tengah), asal India, mantan sekretaris eksekutif Komisi Kerawam Federasi Konferensi Para Uskup Asia, ikut dalam sebuah aksi unjuk rasa korban pelecehan seksual dan anggota Ending Clergy Abuse (ECA) di Piazza del Popolo di Roma pada 23 Februari. ECA, sebuah organisasi global yang terdiri dari para penyintas dan aktivis terkemuka, berada di Italia untuk menghadiri pertemuan puncak kepauasan tentang krisis pelecehan seks di dalam Gereja. (Foto oleh Vincenzo Pinto / AFP)

Oleh: Virginia Saldanha

Pertemuan tingkat tinggi (KTT) di Roma adalah awal yang positif tetapi para korban harus terus bersatu dan meminta dukungan media untuk memperbaiki Gereja.

Suara-suara para penyintas dan pembela yang menentang pelecehan seksual oleh kaum klerus bergema di sekitar ruangan redaksi dan rumah-rumah di seluruh dunia ketika para uskup bertemu di Roma pada18-26 Februari lalu, menjadikannya sebagai tanah yang suci bagi para korban.

190 uskup pada pertemuan itu mendengar kesaksian beberapa orang penyintas, yang disiarkan ke seluruh ruang rapat. Panitia penyelenggara mengadakan pertemuan tatap muka dengan 12 orang penyintas di Roma sehari sebelum pertemuan itu.

Kardinal Vincent Nichols dari Inggris dan Kardinal Reinhard Marx, prefek Kongregasi Ajaran Iman, menerima undangan kelompok penyintas Ending Clergy Abuse (ECA) untuk berinteraksi dengan para korban dan advokat dari seluruh dunia.

Atas undangan kelompok itu, saya bergabung dengan ECA di Roma pada 17-25 Februari, mewakili India dan Asia di mana suara para korban pelecehan diberangus, diredam, dan terjadi secara sporadis.

Pada jumpa pers pada hari pertama pertemuan, tidak mengejutkan, dilaporkan bahwa para uskup Asia dan Afrika menyatakan bahwa pelecehan seks bukan masalah mereka! Ini terjadi meskipun banyak bukti yang bertentangan.

Pada awalnya, Paus Fransiskus menyerahkan daftar 21 poin kepada para peserta untuk dipertimbangkan dan diimplementasikan.

Pertemuan difokuskan pada pelecehan anak di bawah umur. Orang dewasa yang rentan dimasukkan secara implisit tetapi definisinya ambigu.

Di Asia, pelecehan terhadap biarawati dan perempuan yang rentan, yang secara rutin bertemu para imam di saat-saat sulit, merupakan masalah besar, terutama bagi para biarawati di kongregasi-kongregasi yang bernaung di bawah keuskupan.

Semua pembicara dalam pertemuan itu berbicara dengan sepenuh hati tentang luka-luka para korban. Sementara para uskup Barat menangani masalah pelecehan secara terang-terangan, kedua wali gereja dari Asia mengadaptasi masalah tersebut dengan tenang.

Kardinal Luis Antonio Tagle dari Manila berbicara secara emosional ketika ia membandingkan penderitaan para korban dengan penderitaan yang dialami Yesus yang disalibkan. Dia mendorong para uskup untuk merasakan “luka-luka para korban.”

Kardinal Oswald Gracias dari Bombay menyatakan bahwa, “pengalaman pelecehan tampaknya secara dramatis hadir di beberapa bagian dunia.”

Dia berbicara tentang tanggung jawab dan akuntabilitas kolegial, menganjurkan koreksi persaudaraan dan kebutuhan untuk memupuk “hubungan persaudaraan, di mana dalam kasus seperti itu kita tidak perlu khawatir tentang merusak diri kita sendiri.”

Kardinal Blase Joseph Cupich dari Chicago memusatkan perhatian pada sinodalitas, atau proses saling mendengarkan, tentang orang yang dibaptis, “dalam penegasan dan reformasi yang menembus seluruh Gereja.”

Dia merujuk pada surat apostolik berjudul, Come una madre amorevole, yang menguraikan prosedur yang membahas, di antara masalah-masalah lain, para uskup yang salah menangani kasus-kasus pelecehan. Dia menyarankan membaca ulang surat itu.

Dia juga menyarankan empat orientasi yang berakar pada sinodalitas: mendengarkan secara sungguh; langkah untuk memasukkan umat awam dalam setiap upaya untuk mengidentifikasi dan membangun struktur pertanggungjawaban untuk pencegahan pelecehan; kolegialitas berkelanjutan untuk saling bertukar  pengetahuan bersama; dan pendampingan penuh kasih untuk semua.

Uskup Agung Charles Scicluna, sekretaris tambahan Kongregasi untuk Ajaran Iman, merinci proses kanonik untuk menangani tuduhan pelecehan terhadap seorang klerus.

Prosesnya sangat bias mendukung klerus, sementara hak-hak korban ada di tangan uskup yang bisa mengabaikan mereka sepenuhnya!

Pada kesempatan pertama, tiga wanita diundang untuk menghadiri pertemuan para uskup di Vatikan. Pidato mereka berani, terus terang dan keras.

“Mengundang seorang wanita untuk berbicara tentang luka-luka Gereja … adalah langkah yang harus kita ambil dengan sangat tegas,” kata Paus Fransiskus.

Dia menyinggung pentingnya mendengarkan wanita, sebuah budaya yang telah dikembangkan oleh Federasi Konferensi Waligereja Asia tetapi dalam dekade terakhir ini mengalami kemunduran.

“Kita memamerkan diri sebagai penjaga standar moral, nilai-nilai, dan perilaku baik di masyarakat. Kita kadang-kadang munafik? Ya! Mengapa kita diam begitu lama?” tegur Suster Veronica Openibo dari Nigeria.

“Para uskup perlu memilih apakah akan berpihak pada pelaku kekerasan atau korban – menutupi kejahatan sama seriusnya dengan kejahatan itu sendiri. Anda berhak untuk takut kepada kami, karena kami wartawan, yang mencari kebaikan bersama, akan menjadi musuh terburuk Anda,” demikian peringatan Valentina Alazraki, seorang jurnalis asal Meksiko yang bertugas di Vatikan.

Linda Ghisoni, seorang wakil di kantor Vatikan untuk kaum awam, keluarga dan kehidupan, mengatakan, “Para uskup harus berlutut dalam penyesalan di hadapan para korban mereka.”

Dia mengatakan ini akan menjadi sikap yang tepat bagi para pemimpin gereja untuk menunjukkan kesediaan mereka mengambil tanggung jawab atas tindakan berbahaya di masa lalu.

Sedihnya, para uskup tidak berlutut di depan para korban, dan mereka juga tidak dengan jelas menunjukkan sisi siapa mereka pada akhir pertemuan. Permintaan para penyintas yang disampaikan oleh ECA untuk toleransi nol (zero tolerance)diabaikan.

KTT itu memiliki masalah dengan menggunakan istilah zero tolerance, takut akan menyerukan hukuman bagi pelaku. Itu disebut sebagai “pendekatan terbatas, yang tidak berurusan dengan semua aspek masalah.”

Banyak penekanan diberikan pada gagasan “tidak bersalah sampai terbukti bersalah,” dan perlunya proses kanonik yang terpisah dari prosedur sipil, kecuali dilarang oleh hukum negara.

Namun, ada perbedaan pendapat yang signifikan ketika membahas berbagai jenis hukuman.

Dalam liturgi penutup, Paus Fransiskus menghubungkan fenomena pelecehan dengan kekuatan kejahatan. Dia menyerukan perendahan diri, penyesalan diri, doa, dan penebusan dosa sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi roh jahat.

Dia menegaskan kembali komitmen Gereja untuk memerangi kejahatan ini, baik di dalam maupun di luar Gereja, dan menekankan bahwa, “jika di dalam Gereja muncul bahkan hanya satu kasus pelecehan – kasus itu akan dihadapi dengan keseriusan sepenuhnya.”

Dalam analisis terakhir, diserahkan kepada konferensi masing-masing uskup untuk menerapkan mekanisme, struktur, dan prosedur menangani tuduhan pelecehan seksual oleh para imam.

Mereka harus mengikuti “buku pegangan” baru yang akan diterbitkan dalam satu atau dua bulan setelah pertemuan itu.

Sementara ada penekanan pada keterlibatan para ahli dan kaum awam dalam implementasi dan prosedur penanganan pelecehan, mekanisme pemantauan tidak dijabarkan.

Ini memberi tekanan pada para advokat dan penyintas di setiap negara untuk melanjutkan aktivisme mereka demi emastikan sesuatu yang konkret muncul untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengganggu Gereja.

Media akan tetap menjadi mitra yang dapat diandalkan dalam ziarah panjang ini menuju keutuhan di Gereja.

Virginia Saldanha adalah mantan sekretaris eksekutif Komisi Kerawam Federasi Konferensi Para Uskup Asia, seorang penulis lepas dan aktivis isu-isu perempuan yang tinggal di Mumbai.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi