UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Upaya Mengatasi ‘Bully’ di Lingkungan Sekolah di Indonesia

Mei 1, 2019

Upaya Mengatasi ‘Bully’ di Lingkungan Sekolah di Indonesia

Dalam foto yang diambil pada 15 April ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise (mengenakan syal berwarna merah muda) berbicara kepada tiga pelajar sekolah menengah atas yang dituduh melakukan perundungan terhadap seorang pelajar di Pontianak, ibukota Propinsi Kalimantan Barat. (Foto disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Pendidikan karakter khususnya di lingkungan sekolah menjadi topik hangat di Indonesia bulan lalu setelah sebuah kasusbullying atau perundungan terhadap seorang pelajar berumur 14 tahun menjadi viral di media sosial.

Remaja putri dari Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, itu mengalami kekerasan fisik cukup parah dari sejumlah pelajar yang usianya jauh lebih tua sehingga ia harus dirawat di sebuah rumah sakit selama sekitar dua pekan.

Diduga korban memosting komentar di media sosial terkait perselisihan percintaan yang melibatkan salah satu pelaku perundungan.

Kabar perundungan itu mulai beredar di media sosial ketika keluarga korban melaporkan kasus tersebut kepada polisi.

Amarah publik pun muncul. Lebih dari empat juta orang menandatangani sebuah petisi daring yang menuntut para pelaku agar dijebloskan ke penjara.

Kasus itu menjadi topik hangat karena perundungan yang terjadi berupa kekerasan fisik yang cukup parah. Sementara Indonesia sendiri menghadapi masalah besar karena perundungan sering terjadi di lingkungan sekolah, demikian menurut berbagai kelompok perlindungan anak termasuk PBB.

Menurut UNICEF, lebih dari satu dari lima anak berumur 13-15 tahun – sekitar 18 juta anak – mengalami perundungan seperti cercaan terkait ras dan komentar yang merendahkan terkait penampilan fisik. Sementara itu, satu dari tiga anak mengalami serangan fisik di lingkungan sekolah. 

Cyberbullying jelas nyata peningkatannya. Bullying bisa terjadi di dunia nyata dan dunia maya. Tapi kebanyakan justru terjadi di dunia maya. Di dunia maya ini salah satunya sebenarnya adalah anak lebih banyak mengalaminya,” kata Retno Listyarti, komisioner Bidang Pendidikan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Satu studi yang dilakukan oleh Triantoro Safaria, seorang mahasiswa PhD di Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta, menemukan bahwa 89 persen dari pelajar di 102 sekolah menengah atas di kota itu mengalami cyberbullying setidaknya sekali.

“Dampak bullying cukup berat, terutama cyberbullying. Pertama, terbukanya rahasia dan tidak adanya privasi. Hal ini bisa berdampak pada perkembangan psikis anak. Kedua, niat untuk balas dendam. Ini bahaya, baik bagi korban dan pelaku, mereka bisa terjebak dalam siklus korban dan pelaku,” kata Retno.

“Ketiga, ada perasaan terisolasi. Komunikasi sosial adalah komunikasi usia anak-anak sehingga ketika harus menutup akun, mereka akan merasa terisolasi. Keempat, bunuh diri,” lanjutnya.

Pada 2015, menteri sosial saat itu Khofifah Indar Parawansa mengatakan 40 persen anak melakukan bunuh diri sebagai akibat dari perundungan.

Pembentukan karakter

Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) meyakini bahwa perundungan merupakan produk dari lemahnya pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan saat ini.

“Dalam arti bahwa sekolah-sekolah saat ini lebih menekankan isi materi, kontennya, kurang sekali mengajak anak untuk melihat sesuatu yang berguna dalam proses pendidikan mereka,” kata Romo Vinsensius Darmin Mbula OFM, ketua MNPK.

“Yang saya maksudkan adalah bahwa pendidikan di sekolah itu lebih mengejar isi materi ketimbang belajar tentang – misalnya – berkomunikasi dengan baik, menghargai diri sendiri,” lanjutnya.

Cara yang tepat untuk menanamkan pembentukan karakter di lingkungan sekolah adalah dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan dalam semua mata pelajaran. Hal ini perlu didukung oleh pembentukan karakter di rumah.

“Di sekolah, seluruh guru dan staf harus menciptakan sebuah iklim atau suasana bahwa sekolah itu tempat yang nyaman dan menyenangkan. Itu harus betuk-betul tumbuh dari para pendidik dan staf di sekolah. Anak-anak itu teman para guru dan staf untuk belajar maka mereka perlu menemani, membantu dan mendengarkan anak-anak,” kata imam itu.

Namun nampaknya sekolah-sekolah Katolik merupakan pengecualian karena etos pendidikan Katolik menekankan bagaimana menghargai diri sendiri dan orang lain.

Baru-baru ini 73 sekolah Strada menerbitkan sebuah buku berjudul “Protokol Perlindungan Anak” yang berisi panduan bagi para guru untuk melindungi pelajar dan menghentikan perundungan.

“Intinya protokol ini mengatakan bahwa guru yang menjadi bagian dari proses pendidikan itu sendiri harus menempatkan siswa sebagai subyek, bukan obyek, yang harus dilindungi,” kata Frans Wahyu Prihono, kepala SMP Strada St. Anna di Duren Sawit, Jakarta Timur.

Brigitta Valentina Jessica, pelajar kelas 11 di SMA Fons Vitae 1 di Matraman, Jakarta Timur, mengatakan upaya perlindungan terhadap pelajar berjalan dengan baik di sekolah tersebut.

“Kekerasan fisik di SMA saya tidak pernah terjadi. Guru dari awal sudah mengajarkan bahwa perundungan tidak boleh dilakukan. Sekolah juga tegas, setiap siswa yang berbuat salah sekecil apa pun, orangtuanya dipanggil,” katanya.

Tanggung jawab keluarga

Membangun karakter anak seharusnya bukan merupakan tanggung jawab sekolah saja melainkan juga keluarga karena orangtua memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa anak mereka bisa berinteraksi dengan baik dengan sesama, demikian menurut Romo Darmin.

Jika orangtua mendidik anak mereka dengan cara kekerasan, anak cenderung melakukan hal yang sama kepada orang lain. 

“Anak-anak yang bermasalah sebenarnya berasal dari latar belakang yang justru jauh dari keluarganya, mereka mengalami bagaimana di dalam keluarga itu,” lanjutnya.

Pandangan imam itu didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatakan bahwa keluarga hendaknya melakukan pembentukan karakter.

Harian Kompas baru-baru ini mengutip Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Arie Budiman yang mengatakan bahwa kasus perundungan yang dialami oleh seorang pelajar di Pontianak tersebut seharusnya bisa dicegah jika pendidikan karakter berjalan efektif.

Bagi Bonifasius Riwu, seorang bapak dari dua anak, mengaku selalu mengingatkan kedua anaknya tentang menghargai diri sendiri dan orang lain. 

“Saya tidak akan bosan menyampaikan hal ini,” katanya.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi