Para pemimpin Gereja di Filipina memperingatkan tentang berbagai langkah yang diambil untuk mengesahkan sebuah undang-undang yang akan menghidupkan kembali pemberlakuan hukuman mati.
Komisi Pelayanan Pastoral Penjara Konferensi Waligereja Filipina mengeluarkan sebuah pernyataan pekan ini yang berisi peringatan terhadap para legislator baru tentang tanggung jawab mereka “untuk membela kehidupan manusia.”
Berbagai langkah yang diambil untuk menghidupkan kembali hukuman mati gagal dalam Kongres terakhir, tetapi para pemimpin Gereja mengatakan sejumlah pernyataan yang disampaikan para legislator baru tentang pemberlakukan kembali hukuman mati “meresahkan.”
“Mereka punya kewajiban yang nyata dan jelas untuk menentang undang-undang apa pun yang menyerang kehidupan manusia,” kata Rudolfo Diamante, sekretaris eksekutif komisi.
“Kami berpendapat bahwa ada banyak alasan yang lebih kuat terkait tidak adanya perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat kita yang tidak dihargai dan diketahui oleh para pemimpin,” katanya.
Para pemimpin Gereja, lanjutnya, menegaskan bahwa hukuman mati merupakan “suatu penghinaan terhadap martabat manusia baik bagi orang-orang yang dihukum mati dan orang-orang yang menerapkannya.”
Ia meminta para legislator untuk menghidupi “Injil Kehidupan sepenuhnya dan sepenuh hati.”
Namun para pemimpin politik merasa optimis bahwa hukuman mati akan kembali diberlakukan dalam Kongres mendatang.
“Dalam Senat yang baru, ada kemungkinan 13 (suara yang mendukung hukuman mati) untuk perdagangan narkoba tingkat tinggi,” kata ketua Senat Vicente Sotto III dalam sebuah pernyataan.
Para sekutu Presiden Rodrigo Duterte dalam Kongres secara konsisten menekan pemberlakuan kembali hukuman mati.
Namun senator oposisi Leila de Lima mengatakan solusi dalam mengatasi kejahatan hendaknya dilakukan melalui legislasi dan reformasi yudisial.
“Jaman sekarang ketika kekuatan besar terfokus pada satu orang yang dikatakan – dilarang Tuhan – bisa secara mahir merancang bencana, kita hendaknya waspada bahkan tegas dalam menyampaikan sikap kita untuk menentang pemberlakukan hukuman mati,” katanya.
Pernyataannya dibacakan ketika para pemimpin Gereja merayakan peringatan ke-13 abolisi hukuman mati di Filipina pekan lalu.
“Di sebuah negara di mana orang miskin melebihi jumlah orang kaya, realitas sosial-ekonomi lebih condong pada implementasi undang-undang tentang hukuman mati,” lanjutnya.
Ia menjelaskan bahwa meskipun tujuh eksekusi dilakukan sejak 1998 hingga 1999, angka kejahatan meningkat 15,3 persen.
Bahkan, katanya, Mahkamah Agung mengakui bahwa pengadilan telah melakukan kesalahan yudisial sebesar 71,77 persen ketika hukuman mati masih diberlakukan.
Hukuman mati dihapus menurut Konstitusi 1986, tetapi undang-undang ini memberi kekuatan kepada Kongres untuk memberlakukannya kembali untuk kejahatan mengerikan.
Hukuman mati kembali diberlakukan di bawah pemerintahan mantan Presiden Fidel Ramos, tetapi kemudian dihapus kembali di bawah pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo.
Filipina juga merupakan negara penandatangan Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menghapus hukuman mati.