UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Gereja harus bicara menentang pelecehan anak dalam olahraga

Juli 1, 2022

Gereja harus bicara menentang pelecehan anak dalam olahraga

Juara dunia Jiu-jitsu Meggie Ochoa bertanding dengan seorang lawan mudanya di sebuah sasana di Manila. Ochoa mengajarkan bela diri kepada para korban pelecehan seksual dalam upaya memberi mereka alat untuk pulih dari trauma dan melindungi diri mereka sendiri di masa depan. (Foto: AFP)

Oleh: Pastor Shay Cullen

Paus Fransiskus adalah seorang penggemar berat sepak bola dan menggunakan olahraga untuk melindungi anak-anak. Dia mengikuti klub sepak bola San Lorenzo. Dia menjadi tuan rumah pertandingan sepak bola amal antaragama internasional di Roma tahun 2014 untuk mendukung anak-anak yang membutuhkan bantuan dan perlindungan. Di sana ia bertemu dengan seorang pemain terkenal seperti Lionel Messi. Mendiang Diego Maradona, juga dari Argentina, memberi Paus Fransiskus sebuah kaus sepak bola yang bertuliskan “Francis.”

Para atlet dikagumi dan dikuti oleh jutaan penggemar di seluruh dunia. Mereka memiliki pengaruh karena tekad mereka untuk berhasil, untuk mengatasi kesulitan dan mencapai tujuan yang hampir mungkin mustahil. Begitu juga bagi banyak atlet hebat Filipina karena hampir semuanya berasal dari keluarga yang sangat miskin dan memiliki kemampuan olahraga yang unik. Namun, mereka memiliki sedikit sponsor untuk memungkinkan mereka berlatih dan mengembangkan keterampilan mereka untuk mencapai kemampuan maksimal mereka.

Paus Fransiskus suatu ketika mengatakan: “Olahraga bukan hanya sebuah bentuk hiburan tetapi juga – dan di atas semua itu saya akan mengatakan – alat untuk mengomunikasikan nilai-nilai yang mempromosikan kebaikan yang ada pada manusia dan membantu membangun masyarakat yang lebih damai dan bersaudara.”

Komisi Olahraga Filipina (PSC) perlu mengambil hati dan mendukung para atlet. Itu adalah badan pemerintah yang seharusnya menyediakan fasilitas pelatihan mutakhir, kesempatan dan pembiayaan bagi para atlet Filipina untuk mengembangkan kemampuan mereka untuk bersaing di kancah internasional dan membawa pulang medali-medali ke negara mereka.

Namun, penelitian oleh Institute of Nationalist Studies menunjukkan bahwa PSC sangat mengecewakan para atlet Filipina. Terlepas dari masalah dan kurangnya dana dan dukungan untuk para atlet, banyak altlet Filipina telah berhasil. Hidilyn Diaz, seorang angkat besi menjadi orang Filipina pertama yang meraih medali emas Olimpiade tahun 2021 di Tokyo.

Namun, PSC berada dalam bayang-bayang gelap atas tuduhan korupsi. Tidak ada pusat pelatihan nasional yang memungkinkan para atlet untuk berlatih dan berkembang. Masing-masing harus mencari cara sendiri untuk bersaing dalam kompetisi internasional dan mengandalkan kemampuan mereka sendiri dan kebaikan teman-teman, dengan sedikit atau tanpa dorongan dan dukungan dari pemerintah. Atlet-atlet ini mengumpulkan dana sendiri, seperti Michael Martinez, seorang pemain skaterboard yang sangat terampil dan peraih banyak trofi. Dia berharap untuk bergabung dengan Olimpiade Musim Dingin tahun ini dan harus membuat halaman akun GoFundMe dan G-cash untuk donasi.

Menurut sebuah laporan Institute for Nationalist Studies pada Agustus 2021, Irlandia Magno, yang pernah ikut kualifikasi tinju Olimpiade, diabaikan dan kekurangan dana sehingga dia tidak dapat mengirim beberapa ribu peso kepada keluarganya yang miskin dan kelaparan. Lembaga tersebut melaporkan bahwa Edwin Vilanueva dan Adiran Asul, anggota tim renang paralimpiade, tidak diberi bantuan dana oleh pemerintah sejak 2019 dan harus puas dengan kondisi kehidupan yang buruk, makanan berpasir, dan akomodasi yang tidak nyaman selama pelatihan mereka. Tidak ada cinta, perhatian, dukungan atau tidak ada vitamin atau protein bertenaga tinggi untuk mereka.

Alex Eala, seorang pemain tenis berkualifikasi tinggi, membantah bahwa PSC telah memberinya 3 juta peso untuk pelatihan dan dukungan. Dia mengumumkan bahwa dia tidak pernah menerima satu peso pun untuk perjalanan ke turnamen. Kemana perginya uang 3 juta peso itu? Itu menunjukkan mengapa hanya sedikit orang Filipina, jika ada, yang berhasil mencapai level top tenis internasional.

Diaz, altlet angkat besi,  mengalami kesulitan besar mendapatkan dana untuk biaya Olimpiade-nya. Ketika dia mendekati publik untuk meminta dukungan, itu dianggap kritik terhadap presiden dan dia difitnah secara online oleh para pendukungnya. Tekad dan keberaniannya membuatnya terus maju ke Tokyo dimana dia menang dan membawa kehormatan ke Filipina, dengan memenangkan medali emas. Negara-negara lain mengalokasikan ratusan juta dolar untuk melatih para atlet mereka. Korupsi adalah akar penyebab masalah dalam olahraga Filipina. Para pejabat berada di pemerintahan untuk melayani sebagian besar diri mereka sendiri.

Biro Investigasi Nasional menemukan bahwa seorang pejabat PSC telah mencuri 14 juta peso selama lima tahun yang seharusnya diberikan kepada para atlet. Hal yang menakjubkan adalah begitu banyak atlet Filipina, terlepas dari semua tipu muslihat oleh para pejabat pemerintah, mencapai begitu banyak prestasi dengan memenangkan medali  dan menginspirasi kaum muda dan bangsa.

Atlet hebat Filipina lainnya adalah Meggie Ochoa, seorang juara jiu-jitsu. Dia memenangkan medali emas di Kejuaraan Dunia Federasi Internasional Jiu-Jitsu di Swedia tahun 2021, orang Filipina pertama yang melakukannya. Dia menjadi juara dunia tiga kali dan memenangkan medali perunggu di Asian Games 2018. Karena kekurangan dana, dia harus mengumpulkan dana sendiri untuk pergi ke turnamen. Lebih dari itu, dia mengilhami judul ini “Juara Jiu-jitsu Meggie Ochoa memerangi momok pelecehan seksual Filipina.” Dia adalah pembela dan juru kampanye yang berkomitmen untuk hak-hak anak yang dilecehkan.

Pelecehan seksual terhadap para atlet bukan rahasia lagi. Anak-anak dan remaja adalah yang paling rentan dari semuanya. Di Filipina, rata-rata atlet yanag berada dalam sebuah pelatihan atau sebuah tim adalah miskin, rentan dan di bawah kekuasaan dan kendali pelatih, manajer, pelatih atau dokter olahraga. Kekuatan pelatih atau mentor itu membuka pintu bagi pelecehan seksual. Ochoa melihat tingkat pelecehan seksual anak di dalam dan di luar olahraga dan mendorongnya menjadi pejuang hak-hak anak.

Para pemimpin Gereja harus mengambil sikap dan berbicara menentang pelecehan anak. Pelecehan itu terjadi dimana-mana. Pelecehan anak begitu meluas sehingga UNICEF (Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa) menjuluki Filipina sebagai episentrum dunia pelecehan seksual anak online dan perdagangan seksual tahun 2017. Sejak saat itu, kekerasan tersebut telah berkembang tanpa henti.

“Ini adalah kampanye penyadaran untuk membuat orang membicarakan masalah ini,” kata Ochoa, yang mengadakan presentasi tentang masalah ini setelah pertarungan demonstrasinya.

Penelitian menunjukkan bahwa pelatih atau mentor adalah pelaku utama pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dalam olahraga. Penelitian itu juga menemukan dalam cabang renang, sebagian besar korban perempuan dan tenis sebagian besar korban laki-laki. Tekanan kelompok sebaya juga mengarah pada pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Atlet-atlet senior memiliki pengaruh yang kuat pada para atlet junior dan dapat membawa mereka ke dalam hubungan ketergantungan dimana pelecehan terjadi.

Para dokter olahraga juga memiliki pengaruh dan dapat menyalahgunakan para atlet muda untuk mendapatkan kepuasan seksual. Larry Nassar, mantan dokter senam Amerika Serikat (AS), adalah yang paling terkenal dan ketika banyak pesenam yang mengalami pelecehan seksual mengajukan keluhan kepada Asosiasi Senam AS dan Komite Olimpiade dan Paralimpiade AS, keduanya dibentuk oleh Kongres untuk melindungi para atlet, terungkap keduanya gagal melakukan pekerjaan mereka.

Mereka juga melaporkan kejahatan tersebut ke FBI (Federal Bureau of Investigation) tetapi agen tersebut gagal menyelidiki Nassar. Dia terus melecehkan para atlet selama lebih dari dua tahun. Di AS, satu dari 12 atlet muda mengalami pelecehan seksual. Kemungkinan serupa atau bahkan lebih buruk di Filipina dan negara-negara lain.

Para klerus telah dihukum terkait pelecehan seksual terhadap anak-anak. Pemberantasan kejahatan semacam itu adalah prioritas utama Paus Fransiskus, yang telah berbuat banyak untuk berdiri dalam solidaritas dengan para korban dan menantang para uskup untuk berbuat lebih banyak memberantas pelecehan seksual para klerus terhadap anak-anak.

Menutupi pelecehan anak dalam olahraga, masyarakat dan Gereja adalah kejahatan dari pelecehan itu sendiri. Para korban diabaikan, dibungkam, dilecehkan dan tidak melihat keadilan. Pihak berwenang akan melindungi institusi, “anak kesayangan” dan para pejabat tinggi dan mengabaikan para korban.

BBC (British Broadcasting Corporation) mengungkapkan bahwa PBB memiliki masalah besar pelecehan dan pelecehan seksual. Para pengadu dan pelapor telah dipecat. Banyak dari pelaku memiliki kekebalan dari penuntutan sebagai diplomat PBB. Sebagian besar institusi menanamkan rasa takut dan mengeluarkan ancaman untuk mencegah para korban melaporkan pelecehan dan ketika mereka melakukannya, sikap apatis dan ketidakpedulian di kalangan para pejabat memungkinkan hal itu berlanjut.

Kehidupan  anak atau remaja dalam olahraga bukanlah permainan yang adil. Para korban pelecehan tidak sering menang ketika mereka menentang ketidakadilan. Seperti Meggie Ochoa, kita semua harus menjadi pembela hak-hak anak dan mendukung tangisan minta tolong anak-anak yang dilecehkan.

*Pastor Shay Cullen adalah misionaris Columban Irlandia yang telah bekerja di Filipina sejak 1969. Pada 1974, ia mendirikan Preda Foundation, sebuah organisasi amal yang didedikasikan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak dan mengkampanyekan kebebasan dari perbudakan seks dan perdagangan manusia.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi UCA News.

BACA JUGA: Church must speak out against child abuse in sport

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi