Oleh: Ben Joseph
Saat Amerika Serikat (AS) menaikkan taruhan melawan China dengan mengirim Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS, Nancy Pelosi, ke Taiwan pada 2 Agustus, di mana Takhta Suci, satu-satunya negara di Eropa yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara Republik Rakyat China, mengambil posisi?
Kedatangan Pelosi, seorang kritikus lama China, di Taiwan telah memberikan cukup alasan bagi Beijing untuk membalas dengan mengerahkan kapal perang di garis perbatasan, sebuah langkah yang tidak biasa yang dipandang sebagai provokatif. Taiwan juga telah bersiaga dengan pesawat tempur untuk menghadapi agresi China.
AS, yang sudah terlibat dalam kebuntuan dengan Rusia terkait Ukraina, tidak terintimidasi oleh ancaman perang badar China terkait kunjungan Pelosi. Untuk memberikan keamanan bagi pejabat berpangkat tertinggi untuk mengunjungi Taiwan dalam seperempat abad itu, AS mengerahkan empat kapal perang, termasuk sebuah kapal induk, di perairan timur pulau yang terpisah dari China itu.
Dengan membuat masalah Taiwan memanas bersamaan dengan gejolak di Eropa Timur, AS bersiap-siap memperluas teater perangnya ke Asia Timur, dan seperti Rusia, China tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
Vatikan memiliki lebih banyak anggota di China daripada di Taiwan karena ada lebih dari 12 juta umat Katolik di China dibandingkan dengan 200.000 umatnya di Taiwan. Umat Katolik di China sudah menghadapi kurangnya kebebasan beragama dan ancaman tekanan membayangi mereka jika Vatikan bersilang pendapat dengan Partai Komunis China yang sedang berkuasa.
Jika China mau, pihaknya dapat memutuskan hubungan Vatikan dari umat Katolik di China sepenuhnya dengan menghidupkan kembali Gereja Patriotik, yang menjadi tidak aktif setelah perjanjian rahasia dengan Vatikan.
Vatikan membuat kesepakatan rahasia itu dengan China pada tahun 2018 setelah empat tahun diskusi, yang dilaporkan memungkinkan Vatikan mengambil keputusan akhir dalam penunjukan para uskup di China. Kesepakatan itu, yang semula berlaku selama dua tahun, diperbarui tahun 2020 selama dua tahun dan akan berakhir pada Oktober tahun ini, kecuali jika diperbarui lagi.
Upaya Vatikan memperbarui perjanjian ini memang ditentang AS. Menteri Luar Negeri AS saat itu, Mike Pompeo, dimarahi oleh Vatikan karena AS diminta tidak perlu mengangkat masalah ini.
Satu-satunya pencapaian nyata dari kesepakatan itu dalam empat tahun terakhir adalah penunjukan enam uskup baru dan pengakuan tujuh uskup yang sebelumnya diangkat oleh pemerintah China tanpa persetujuan Vatikan.
Namun, Vatikan belum membuat langkah kritis diplomatik apa pun terhadap China sejak 2018, seolah-olah untuk melindungi kesepakatan itu.
Langkah lebih lanjut, Vatikan juga mencopot perwakilan tidak resminya di Taiwan dan Hong Kong awal tahun ini dan sejauh ini belum menunjuk pengganti mereka. Ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan diplomatik jika Vatikan siap melepaskan hubungan dengan Taiwan untuk membangun hubungannya dengan China.
Para pengkritik perjanjian itu, bahkan di dalam Vatikan sendiri dan Gereja-gereja Eropa, mengatakan kesepakatan itu tidak memberikan hasil yang diinginkan Vatikan. Tetapi, kritikan mereka tidak mendapat tanggapan yang memadai karena Paus Fransiskus sendiri tertarik untuk membina hubungan dengan China, yang merupakan negara terkaya di dunia dalam hal daya beli.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters bulan lalu, Paus Fransiskus sendiri mengatakan bahwa perjanjian itu dapat diperbarui pada Oktober mendatang.
Paus menyebut lambatnya upaya memperbarui perjanjian itu sebagai “cara China”, karena orang China menghargai waktu sehingga tidak ada yang bisa terburu-buru. Dia juga memuji Kardinal Pietro Parolin, Menteri Luar Negeri Vatikan dan tokoh utama di balik perjanjian tersebut, karena ia membawa kesepakatan itu ke tingkat berikutnya.
Sikap lunak kepausan untuk China ini membuat Vatikan diam ketika pemerintah yang dikendalikan Beijing di Hong Kong menindas protes pro-demokrasi dan menangkap serta memenjarakan beberapa dari mereka, termasuk tokoh Katolik terkemuka seperti Jimmy Lai pada tahun 2020.
Gereja di Hong Kong mengetahui rencana untuk memberlakukan undang-undang (UU) China yang kejam untuk melakukan penindasan terhadap kebebasan beragama di kota itu. Vatikan bertindak secara diam-diam pada tahun 2019 dan mengirimkan arsip-arsip ke Roma terkait dengan kegiatannya di China daratan dan Hong Kong, menurut berbagai laporan.
Msgr. Javier Herrera-Corona, perwakilan tidak resmi Vatikan di Hong Kong, meminta 50 misionaris Katolik di kota itu untuk mematuhi aturan baru itu sebelum dia pindah.
Sikap diam Vatikan atas kampanye genosida terhadap penduduk Uyghur di Daerah Otonomi Uyghur, Xinjiang, telah menjadi pembicaraan di kota itu sejak pemerintah AS secara resmi mengakuinya sebagai genosida.
Vatikan telah menolak laporan bahwa pemindahan perwakilannya dari Taiwan dan Hong Kong adalah bagian dari persiapan diam-diam untuk membuka kembali kedutaan Vatikan di Beijing. Pejabat seperti Msgr Javier Herrera-Corona menegaskan kembali bahwa perhatian utama dari kesepakatan Sino-Vatikan adalah soal pastoral, dan bukan diplomatik.
Vatikan kembali mengambil sikap diam atas kunjungan Pelosi ke Taiwan dan tidak ada yang mengharapkannya untuk memecah keheningannya.
Tetapi, apakah Vatikan akan bergerak jika imbroglio (keruwetan) saat ini berkembang menjadi unjuk kekuatan?
Mengingat dinamika lintasan diplomatik Takhta Suci yang berorientasi ke China, tampaknya Vatikan telah melepaskan tugas dan panggilannya sebagai kepala Gereja Katolik untuk membimbing bangsa dan komunitasnya, ketika mereka didorong semata-mata oleh kekuatan pasar dan politik, mengabaikan kesejahteraan manusia yang lebih besar.
*Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi UCA News.