Ketika Patras Masih, putra mereka kembali setelah menghabiskan lebih dari empat setengah tahun di penjara Pakistan sebagai tersangka penistaan agama, hal itu tidak membuat keluarga Kristennya hidup dalam persembunyian karena takut mati.
Patras, 22, yang ditangkap pada Februari 2018 karena diduga berbagi foto seorang pria dengan sepatunya di sebuah tempat suci Muslim di Arab Saudi, diberikan jaminan oleh hakim Mahkamah Agung (MA) pada 24 Agustus dengan dana sekitar 6 juta rupiah.
Patras kembali ke rumah pada 2 September ke lokasi yang dirahasiakan di mana keluarganya sekarang tinggal di ‘rumah aman’ yang disediakan oleh the Voice Society, sebuah organisasi hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di Lahore.
Indrias Masih, ayahnya yang berusia 47 tahun, tidak pernah berpikir bahwa dia harus meninggalkan rumah dan bersembunyi bersama keluarganya.
Tetapi, pada 19 Februari 2018, puluhan massa yang marah menyerbu Shahdara, lingkungan Kristen di pinggiran Lahore, menuduh Patras dan sepupunya, Sajid, melakukan penistaan agama.
Mereka menyerukan agar dua sepupu itu dibawa ke depan mereka sehingga mereka dapat digantung, menurut laporan media.
Keluarga itu harus melarikan diri dari Shahdara bersama sekitar 1.000 orang Kristen di daerah itu di tengah kekerasan oleh massa yang marah.
Indrias keluar rumah dengan masker agar aman. Putra sulungnya, seorang tukang listrik, bekerja “swasta” namun dia tidak bisa keluar dan bekerja atau menjalankan bisnis. Anak bungsunya lulus ujian kelas 10 minggu lalu dengan belajar di rumah.
“Ini adalah berita besar bagi kami setelah bertahun-tahun menunggu. Patras dulu menangis karena penjara bukan tempat yang baik,” kata Indrias kepada UCA News.
Pemuda itu mengeluh di dalam chaki (sel terisolasi) dengan enam orang Kristen lainnya yang dituduh melakukan penistaan. Dia masih dihantui oleh kenangan harus tidur di dekat toilet karena kekurangan ruang, kata ayahnya.
Namun yang benar-benar mengkhawatirkan Indrias adalah apa yang terjadi sekarang setelah putranya dibebaskan. Dia mengeluhkan kurangnya dukungan dari para pemimpin Gereja.
“Para uskup kami menghindari kami untuk memberi perlindungan. Mereka mengatakan mendidik orang adalah prioritas utama mereka. Saya berharap suara saya mencapai para petinggi Gereja dan pemerintah (Pakistan). Kami miskin dan tidak punya apa-apa atau bahkan menyelamatkan anak-anak kami,” katanya.
Mayoritas korban penistaan agama adalah umut Kristen dan keluarga mereka miskin di Pakistan. “Yang kami inginkan hanyalah hidup damai,” kata Indrias.
Patras, yang bekerja sebagai pekerja kebersihan, termasuk di antara tiga orang Kristen, yang dituduh dalam kasus penistaan agama, diberikan jaminan oleh pengadilan tinggi Pakistan bulan lalu.
Pendeta Raja Waris juga dijebloskan ke balik jeruji tahun 2020 karena mengunggah sesuatu yang bias agama di Facebook yang diklaim beberapa Muslim melukai sentimen agama mereka. Dia diberikan jaminan oleh hakim MA yang sama dengan Patras.
Orang Kristen ketiga yang diberikan jaminan adalah Salamat Mansha Masih, pekerja kebersihan lain yang menghabiskan lebih dari 18 bulan di penjara karena diduga mewartakan Injil kepada kaum muda Muslim dan menghina Islam.
Delapan terdakwa penodaan agama telah dibebaskan atau diberikan jaminan tahun ini, menurut Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Pakistan (NCJP).
Namun, para aktivis HAM mengatakan mereka tidak punya tempat untuk pergi dan sedikit harapan untuk masa depan.
The Voice Society mendukung tiga keluarga Kristen selain Patras yang tinggal di persembunyian di dua kota lain di Provinsi Punjab.
“Pendanaan merupakan tantangan besar dalam memulangkan mereka yang dituduh dalam kasus penodaan agama atau keluarga mereka. Setiap organisasi memiliki mekanisme untuk menyediakan rumah bagi keluarga seperti itu,” kata Wakil Direktur NCJP Kashif Aslam kepada UCA News.
Aneeqa Maria, penasihat hukum Patras dan kepala eksekutif the Voice Society, mengatakan meskipun dengan jaminan, Patras harus diadili.
“Kami akan mengarahkan sesuai keadaan,” kata pengacara Katolik itu kepada UCA News.
Dia merasa pasti ada perubahan politik di balik pemberian jaminan berturut-turut ini.
“Kasus Patras tidak memiliki bukti, namun kami harus berjuang selama bertahun-tahun, terutama dalam menentang partai Islam radikal Tehreek-e-Labbaik Pakistan. Sangat sulit mendapatkan jaminan bagi korban penodaan agama di pemerintahan mantan Perdana Menteri Imran Khan,” kata Maria.
Aslam mengaitkan perubahan pendekatan dengan keputusan MA tahun 2014 yang memerintahkan pemerintah federal membentuk dewan nasional untuk hak-hak minoritas dan meminta pemerintah provinsi membentuk satuan tugas untuk mempromosikan toleransi beragama, melindungi tempat ibadah, dan menindak pidato kebencian.
Pemberian jaminan baru-baru ini dalam kasus-kasus ini merupakan hasil dari tekanan internasional, terutama dari Uni Eropa. Pemerintah Pakistan sedang melobi untuk dikeluarkan dari apa yang disebut “daftar abu-abu” dari Satuan Tugas Aksi Keuangan (FATF), sebuah pengawas pendanaan terorisme, menurut Khalid Shahzad, seorang pekerja HAM Katolik.
Meskipun, Shahzad mengakui pembebasan atau jaminan tidak berarti banyak bagi para korban penistaan.
“Tantangan akan tetap ada bagi minoritas rentan yang tidak dapat kembali ke rumah mereka bahkan setelah dibebaskan dalam kasus penodaan agama. Mereka akan menghabiskan sisa hidup mereka dalam trauma, mengkhawatirkan keselamatan mereka dan tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah,” jelasnya.
Shahzad mengatakan pemerintah Pakistan dan para pemimpin Gereja harus bekerja pada rencana rehabilitasi untuk memberdayakan dan mengintegrasikan para korban penodaan agama ke dalam masyarakat.
Penistaan agama adalah isu sensitif dan kuat dalam masyarakat Pakistan. Pusat Keadilan Sosial (CSJ) yang berbasis di Lahore telah mencatat setidaknya 1949 orang telah dituduh berdasarkan undang-undang penodaan agama antara tahun 1987 hingga 2021. Sejumlah besar kasus penodaan agama ini masih menunggu keadilan.
Para aktivis menggarisbawahi perlunya pelacakan cepat persidangan karena peradilan yang lebih tinggi dan lebih rendah yang sudah berurusan dengan tumpukan besar jutaan kasus.
Cecil Chaudhry, wakil ketua tim Christian Solidarity Worldwide (CSW) Asia Selatan berharap pemberian jaminan merupakan bagian dari strategi jangka panjang.
“Jelas itu membangun citra nasional. FATF dan the Universal Periodic Review of Pakistan
menjadwalkan pada Januari 2023 mungkin menjadi faktor lain,” katanya.
Secara historis, MA selalu bersikap lunak terhadap korban penodaan agama dibandingkan dengan pengadilan sidang dan umumnya memiliki cara yang tidak memihak untuk melihat hal-hal yang pantas.
“Komentar baru-baru ini dari hakim MA Pakistan positif. Kami berharap mereka menginspirasi pengadilan yang lebih rendah juga,” tambah Chaudhry.
Setidaknya 84 orang telah dibunuh secara ekstra-yudisial antara 1987 hingga 2021 setelah tuduhan penistaan agama dan kemurtadan, menurut CSJ.
Data yang diperoleh dari CSJ menunjukkan bahwa 42 di antara korban hukuman mati adalah Muslim, 23 Kristen, 14 Ahmadiyah, dua Hindu, dan satu Buddha, sedangkan identitas dua belum bisa dipastikan.
Sumber: Future uncertain for Pakistans blasphemy victims