UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pidato di Singapura, Kardinal Parolin soroti pentingnya kohesi sosial

September 8, 2022

Pidato di Singapura, Kardinal Parolin soroti pentingnya kohesi sosial

Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin merayakan Misa di Basilika Santo Johannes di Berlin pada 29 Juni 2021. (Foto: AFP)

Kardinal Pietro Parolin, Sekretaris Negara Vatikan menekankan pentingnya merangkul keragaman dan rasa tanggung jawab yang kuat untuk membangun komunitas-komunitas berdasarkan persaudaraan dan keadilan demi keselarasan hubungan  (kohesi) sosial yang lebih baik.

Kardinal Parolin menyampaikan pernyataan tersebut dalam pidato khusus pada  pembukaan the International Conference of Cohesive Societies (ICCS) di Singapura.

“Dari martabat, persatuan, dan kesetaraan semua orang, pertama-tama, prinsip kebaikan bersama yang harus dikaitkan dengan setiap aspek kehidupan sosial jika ingin mencapai maknanya yang paling dalam,” kata prelatus itu saat berbicara secara virtual dari Vatikan.

“Menurut pemahaman dasar  dan diterima secara luas,” kata Kardinal Parolin, “kebaikan bersama menunjukkan jumlah total kondisi sosial yang memungkinkan orang, baik sebagai kelompok atau individu, untuk mencapai pemenuhan mereka dengan lebih lengkap dan lebih mudah.”

Acara yang berlangsung 6-8 September dengan tema “Confident Identities, Connected Communities”, diselenggarakan bersama oleh The S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) dan Universitas Teknologi Nanyang, dan disponsori oleh Kementerian Kebudayaan, Komunitas, dan Pemuda Singapura.

Sekitar 800 peserta dari sekitar  40 negara termasuk tokoh agama, akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan menghadiri konferensi itu di Raffles Convention Center, Singapura.

Dalam pidatonya, Kardinal Parolin mendesak semua elemen untuk bergabung dengan “karavan solidaritas, sebuah ziarah suci” untuk mencapai kebaikan bersama bagi semua.

Dia menyebut enam poin tindakan untuk membangun masyarakat yang kohesif:

• Setiap orang adalah promotor solidaritas;

• Membangun solidaritas dengan kepemimpinan muda;

• Solidaritas adalah komitmen untuk menciptakan kota-kota yang “kaya akan kemanusiaan, ramah, mengajak  kita semua untuk peduli kepada mereka yang membutuhkan; dan jika kita mampu terlibat secara konstruktif dan kooperatif untuk kepentingan semua orang.”

• Solidaritas adalah memikul tanggung jawab atas masalah orang lain;

• Solidaritas didefinisikan oleh kedekatan dan kemurahan hati, dan itu melibatkan kepedulian satu sama lain;

• Solidaritas adalah cara untuk menciptakan sejarah.

“Solidaritas  mengatasi konsekuensi merusak dari keegoisan untuk memberi jalan bagi keberanian mendengarkan gerakan. Dalam pengertian ini, solidaritas  merupakan sarana untuk menciptakan sejarah,” katanya.

Kardinal Parolin mengatakan masyarakat kontemporer dicirikan oleh “bentuk-bentuk baru ketidakamanan individu dan fragmentasi komunitas,” yang merupakan hasil dari transformasi sosial, budaya, demografi, dan ekonomi.

Masalah ini, kata dia, semakin meningkat di masa pandemi Covid-19.

Prelatus itu juga mengatakan  individu-individu berbagi tanggung jawab untuk memulai dan menghasilkan proses dan transformasi baru dan menjadi “peserta aktif” dalam rehabilitasi dan dukungan masyarakat yang terluka saat ini.

Dia juga mengakui bahwa ada “krisis solidaritas besar dalam masyarakat kita”, seraya menambahkan  “masyarakat kita semakin tidak memperhatikan dinamika solidaritas.”

Dalam pidatonya, Kardinal Parolin membagikan pandangannya tentang solidaritas.

Dia mengatakan  orang-orang Kristen diundang  mempraktekkan solidaritas karena Tuhan menyatakan diri-Nya kepada mereka sebagai “Tuhan Solidaritas.”

Didirikan tahun 2019, berkat inisiatif Presiden Singapura Halimah Yacob, ICCS mempromosikan dialog antaragama dan multikultural.

Yacob mengatakan pembentukan ICCS untuk menunjukkan pendekatan unik negara itu  dalam mengelola ikatan komunal dengan populasi yang beragam.

Presiden Yacob menyampaikan pidato pembukaan dan mengatakan masyarakat yang kohesif tidak ada “secara spontan”, tetapi “dilahirkan  oleh pilihan dan keyakinan.”

“Kohesi sosial adalah kondisi yang diperlukan untuk keamanan kolektif kita. Masyarakat tidak dapat bertahan, apalagi berkembang, tanpa perekat sosial yang mengikat orang bersama-sama,” katanya seperti dikutip oleh The Straits Times.

Singapura adalah negara multi-etnis dan multi-agama dengan  populasi sekitar 5,6 juta. Sekitar 75 persen adalah etnis Tionghoa, sekitar 15 persen adalah Melayu dan sekitar 7 persen berasal dari India.

Sekitar 31 persen warga Singapura beragama Buddha, 19 persen Kristen, 15,6 persen Muslim,  8,8 persen Tao, dan  5 persen Hindu, menurut perkiraan resmi tahun 2020.

Sumber: Parolin addresses Singapore social cohesion meet

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi