UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Harapan seorang perempuan awam untuk para uskup Asia

September 19, 2022

Harapan seorang perempuan awam untuk para uskup Asia

Uskup Agung Hyderabad, Mgr. Poola Anthony (kanan) menaburkan abu di kepala umat Katolik akibat pandemi Covid-19 pada Misa Rabu Abu di Basilika Santa Maria di Secunderabad pada 17 Februari 2021. (Foto: AFP) 

Oleh: Virginia Saldanha

Di akhir masa jabatan saya, ketika saya melihat ke belakang selama 15 tahun sejak dimulainya Desk Perempuan tahun 1995 menyusul resolusi para uskup pada Sidang Pleno VI Federasi Konferensi-konferensi Waligereja Asia (FABC), di mana saya menjadi sekretaris eksekutif pertama, saya senang bahwa beberapa konferensi telah membentuk  sekretariat untuk menangani masalah perempuan di negara mereka.

Banyak yang telah berubah sejak saat itu. Desk Perempuan FABC tidak lagi berfungsi. Sekretariat  di  konferensi-konferensi juga tidak proaktif atau tidak ada.

Isu yang paling penting, terutama di Asia Selatan, adalah kekerasan terhadap perempuan. Gereja berkewajiban  membantu perempuan menjalani hidup dalam segala kepenuhannya (Yohanes 10:10) dan melindungi mereka dari “pencuri” kekerasan yang mengganggu dan menghancurkan stabilitas mental perempuan dan fungsinya.

Hari ini, selama proses sinode yang sedang berlangsung, dalam semangat tanggung jawab bersama dan persekutuan dalam Misi, saya berharap perempuan diberi lebih banyak tanggung jawab dan kesempatan pengambilan keputusan dalam mengelola kantor-kantor perempuan, yang saya harap akan dihidupkan kembali dan diberdayakan  fungsinya.

Wanita harus dipercaya untuk menentukan cara mereka menangani masalah. Mereka hendaknya dipercaya untuk merencanakan sebuah proyek, memperoleh dana, dan melaksanakan proyek tersebut dengan dukungan uskup. Ini akan mengembangkan kepercayaan diri dan kepemimpinan mereka dan proyek akan relevan dengan kebutuhan perempuan.

Saya berharap lebih banyak diinvestasikan dalam pembentukan para pemimpin perempuan. Wanita adalah guru utama dalam keluarga dan masyarakat di Asia. Mereka perlu dilatih dalam studi perempuan sehingga mereka mengembangkan kesadaran kritis tentang praktik budaya dan tradisi yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan menurunkan martabat mereka. Perempuan  dapat berkontribusi banyak untuk penginjilan di Asia karena mereka memberikan pengaruh yang kuat di lingkungan mereka dan merupakan orang-orang yang berinteraksi dengan kaum perempuan  dari agama lain.

Sebuah pertemuan tentang perempuan  yang menghidupkan  Ekaristi di Asia, yang diadakan di Dhaka pada  Januari 2010, menunjukkan bagaimana perempuan berkontribusi secara signifikan bagi evangelisasi. Berinvestasi dalam pembentukan perempuan  hanya dapat membawa keuntungan bagi Gereja dan masyarakat.

Saya berharap kaum perempuan akan terus berkarya sebagai pemimpin tidak hanya di tingkat komunitas (di Komunitas-komunitas Kecil Kristen), tetapi juga dibantu untuk muncul sebagai pemimpin di tingkat paroki, keuskupan, dan konferensi waligereja. Perempuan perlu dilatih untuk mengambil tanggung jawab kepemimpinan. Kehadiran perempuan  sangat diperlukan untuk membawa keutuhan dan penyembuhan di Gereja yang sedang diguncang skandal pelecehan klerus terhadap anak-anak, remaja dan wanita.

Saya berharap dan berdoa agar para uskup Asia melihat pentingnya peran perempuan yang akan berkontribusi untuk membawa keseimbangan dan stabilitas karena pria dan wanita diciptakan Tuhan menurut gambar-Nya  benar-benar hadir. (Kej. 1:27).

 

Keluarga

Keluarga, Gereja domestik, adalah instrumen penting evangelisasi dalam lingkungan antaragama di mana ia tinggal. Penekanannya harus pada keluarga yang menghidupkan nilai-nilai Injil dan bukan hanya membawa orang yang tidak percaya ke Gereja.

Keluarga penting dan diperlukan untuk masa depan umat manusia dan masyarakat, tetapi kehilangan pentingnya karena beberapa alasan, salah satunya adalah tekanan kerja dalam budaya kerja modern. Yang lainnya adalah kekerasan terhadap perempuan yang mempengaruhi pilihan perempuan muda untuk tidak menikah atau mengakibatkan perceraian.

Banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk melatih pria agar menghormati dan membantu wanita dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi masalah yang sangat besar di banyak bagian Asia. Banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa semua kekerasan terhadap perempuan dikendalikan dan ditangani secara tepat waktu sehingga perempuan tidak dipaksa untuk membuat keputusan untuk memilih keluar atau tidak menikah untuk melindungi diri mereka sendiri.

Budaya kerja saat ini jelas anti keluarga. Gereja bersama-sama dengan kaum awam harus proaktif untuk melobi pemerintah demi kepentingan masa depan keluarga dan masyarakat untuk mengubah budaya kerja ini yang tidak hanya menghasilkan perselingkuhan tetapi juga membebani orang tua muda yang ingin berkeluarga. Struktur yang menawarkan penitipan anak yang andal kepada orang tua yang bekerja akan sangat membantu.

 

Formasi imam

Pembinaan imam juga perlu diperbarui untuk memasukkan visi Gereja di Asia sebagai sebuah persekutuan komunitas dan Gereja yang bertanggung jawab bersama. Kajian-kajian perempuan juga perlu diikutsertakan, sehingga ketika para imam datang ke paroki, mereka mampu berfungsi dalam spiritualitas persekutuan dan memanfaatkan karunia dan bakat umat awam. Di paroki mereka terutama berurusan dengan perempuan sehingga mereka perlu belajar untuk menghormati dan menerima kemitraan perempuan dalam pelayanan paroki.

Banyak yang perlu dilakukan untuk melatih pria dan imam untuk memahami dan menangani seksualitas mereka. Ini akan membantu mengurangi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

 

Kesimpulan

Abad ke-21 adalah abad kaum awam dan perempuan di Gereja. Membaca tanda-tanda zaman, kita dapat melihat Roh bergerak dengan kuat untuk membawa perubahan. Saya merasa kuat bahwa Gereja di Asia sudah berada di jalan untuk menerapkan perubahan yang orang-orang di Barat sedang mencari di Gereja. Tapi, kita harus tetap di jalur itu dan tidak mundur. Sayangnya, itulah firasat saya menjelang akhir masa jabatan saya sebagai sekretaris Kantor Awam dan Keluarga dan Perempuan FABC tahun 2010.

Pengalaman sidang paripurna kesembilan tahun 2009 merupakan pertanda yang meresahkan ke arah yang salah, dimana Gereja sebagai Umat Allah tidak hadir. Spiritualitas persekutuan ditinggalkan. Pengambilan keputusan dilihat sebagai hak istimewa kekuasaan, bukan sebagai pelayanan dalam semangat persekutuan dengan Gereja di Asia.

Perempuan telah muncul di semua bidang sebagai pemimpin yang kuat dan pembuat perubahan. Perubahan yang dibawa perempuan adalah dari sudut pandang keyakinan mereka pada keterbukaan dan transparansi. Perempuan juga memiliki kekuatan dan ketangguhan yang besar untuk membela kebenaran dan keadilan.

Saya berharap Gereja di Asia mengakui karunia-karunia perempuan dan diperkaya dengan penggunaan karunia-karunia ini.

Virginia Saldanha, yang berbasis di Mumbai, adalah sekretaris eksekutif Kantor Awam dan Keluarga FABC dari 1995-2010. 

*Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi UCA News

Sumber: Asian bishops federation hopes of a lay woman

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2023. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi