UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kelompok minoritas khawatir politik identitas akan dimainkan kembali dalam pemilihan

Oktober 17, 2022

Kelompok minoritas khawatir politik identitas akan dimainkan kembali dalam pemilihan

Anies Rasyid Baswedan memberikan sambutan setelah diumumkan oleh Partai Nasional Demokrat sebagai calon presiden pada 3 Oktober (Foto: Instagram)

Ketika mendengar bahwa Anies Rasyid Baswedan diusung oleh Partai Nasional Demokrat untuk menjadi calon presiden pada 2024, Rikard Rahmat, 44, seorang Katolik, langsung teringat kembali dengan pemilihan gubernur Jakarta lima tahun lalu yang diwarnai politik identitas.

Pemilihan itu dimenangkan oleh Anies dengan dukungan yang kuat dari kelompok Islam garis keras, mengalahkan pesaingnya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, seorang Kristen dan keturutan Tionghoa yang saat itu tersandung kasus penodaan agama.

“Apa yang ditunjukkan Anies dalam pemilihan gubernur pada tahun 2017 itu tidak dapat dimaafkan karena pada saat yang sama kala itu bangsa ini justru sedang menghadapi ancaman besar dari kalangan ekstremis-radikal agama yang ingin mengubah haluan negara dengan membonceng demokrasi. Ada Front Pembela Islam, ada Hizbut Tahrir Indonesia dan sebagainya,” kata Rikard, seorang pengkritik keras Anies.

“Oleh Anies, aliran-aliran yang mengancam Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu didukung dan diberi panggung, serentak juga menjadi kampanye gratis bagi kalangan radikal-ekstremis ini ke seluruh Indonesia,” katanya.

Anies, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, diumumkan pada 3 Oktober oleh Partai Nasional Demokrat, salah satu partai pendukung pemerintah, sebagai calon presiden yang mereka dukung dalam pemilihan pada 2024.

Surya Paloh, ketua partai itu menyebutnya sebagai pilihan “terbaik daripada yang terbaik.”

Berdasarkan hasil survey sejumlah lembaga, Anies memang salah satu dari tiga kandidat favorit, selain Ganjar Pranowo, Gubenur Provinsi Jawa Tengah yang berasal dari Partai Indonesia Perjuangan dan Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan yang sudah dua kali maju dalam pemilihan sebelumnya, namun selalu kalah oleh Presiden Joko Widodo.

Menurut survey dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) misalnya, elektabilitas Pranowo 33,3% Anies 27,5% dan Subianto 25,7%.

Pengumuman penunjukkan Anies oleh Partai Nasional Demokrat menghangatkan kembali pembicaan tentang politik identitas.

Anies disebut-sebut mengalahkan Ahok karena mengkapitalisasi kasus penodaan agama yang sedang dia alami, yang kemudian menyeretnya ke penjara.

Ia memang mendapat dukungan dari organisasi Islam radikal yang kemudian dilarang pemerintah, seperti Front Pembela Islam.

Ade Armando, seorang akademisi dan pendukung Ahok bahkan menyebut Anies sebagai “Bapak politik identitas.”

Di tengah banyaknya kritikan terhadapnya, Anies mempublikasi foto-foto dimana ia mengunjungi Kardinal Ignatius Suharyo.

Namun, sebuah video pada 7 Oktober di mana ia terekam mendatangi rumah Pendiri Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab yang pernah dipenjara untuk menghadiri Maulid Nabi dan pernikahan anak kelima Habib Rizieq Syarifah Mumtaz, juga membuat isu ia akan merangkul kelompok garis keras akan menguat.

Lembaga survei Saiful Mujani Research and Center (SMRC) memprediksi Partai Nasional Demokrat bakal kehilangan banyak suara di Indonesia bagian timur, di mana terdapat banyak orang Kristen setelah partai itu dikabarkan mulai dekat dengan Anies.

Deni Irvani, direktur riset lembaga itu mengatakan, dukungan untuk Anies menurun dari 10.8 persen pada Mei 2021 menjadi 3,9 persen pada Agustus 2022.

Ahmad Ali, Wakil Ketua Umum Partai NasDem tidak menampik politik identitas itu, namun ia mengatakan, setiap manusia pasti pernah berbuat salah.

“Mana ada manusia yang sempurna. Mana ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan. Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan,” katanya.

Rikard, yang bekerja sebagai seorang editor di sebuah penerbit di Jakarta mengatakan, “memilih Anies adalah ancaman besar bagi bangsa.”

“Sejak pemilihan gubernur Jakarta ia dengan sadar menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk mengekspoitasi ayat-ayat kitab suci dan memainkan politik identitas.
Apakah cara-cara tersebut merusak persatuan dan mengoyak-oyak tenunan kebangsaan, tidak menjadi persoalan baginya, asalkan dapat meraih kursi atau kekuasaan,” katanya.

Sementara itu seorang umat Buddha di Tangerang, Provinsi Banten mengatakan, yang ia takuti adalah jika kelompok-kelompok garis keras akan betul-betul berkuasa.

“Dalam konteks di Jakarta, upaya Anies memberi mereka panggung masih bisa diredam karena dia berhadapan dengan kekuasaan presiden yang lebih tinggi. Saya tidak tahu kalau dia akan jadi presiden. Saya hanya khwatirkan hal itu,” katanya.

Achmad Nurcholis, aktivis dari Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan, meski kerap djustifikasi sebagai strategi dalam kontestasi pemilu, penggunaan politik identitas “tetap saja merupakan hal yang tidak beradab karena memicu polarisasi, ketegangan dan segregasi antar kelompok masyarakat.”

“Pengalaman pemilihan gubernur Jakata sudah cukup bagi kita agar politik identitas tak lagi digunakan. Warisan keburukan dari pemilihan gubernur itu masih membekas hingga kini,
katanya kepada UCA News.

Ia mengharapkan, untuk bisa terus merawat keberagaman Indonesia, pemimpin yang dipilih harusnya “yang berkomitmen pad kebinekaan, Pancasila, kebangsaan serta mengedepankan tegaknya keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat, yang tidak sektarian tapi memahami bahwa Indonesia ini majemuk.”

Sirojuddin Abbas, Direktur Eksekutif lembaga survey Saiful Mujadi Research Center mengatakan, politik identitas akan rentan dimanfaatkan oleh para elite politik sebagai alat tawar menawar politik untuk mendapatkan kekuasaan dan mobilisasi dukungan.

“Karena bagaimanapun di negara mayoritas Islam seperti kita, mobilisasi berdasarkan karakter sosiologis jauh lebih mudah ketimbang mobilisasi dengan target-target rasional,” ujarnya.

Romo Antonius Benny Susetyo, staf ahli di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengatakan, politik identitas memang bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain, termasuk yang demokrasinya sudah maju sekalipun.

“Mengapa? Karena memang biayanya murah. Membangkitkan sentimen agama, suku untuk meraih dukungan itu mudah dan juga efektif,” katanya.

Ia mengatakan, ragu bahwa praktek demikian akan benar-benar bisa hilang.

“Saya kira cara untuk mengatasinya adalah dengan memperketat regulasinya. Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan polisi mesti merumuskan aturan-aturan yang ketat.

Misalnya rumah-rumah ibadah tidak boleh dipakai untuk propaganda kampanye, apalagi kampanye hitam. Kalau ada yang melakukannya, mesti ditegur dan diberi sanksi,” katanya.

Dia menambahkan bahwa orang Kristen mungkin “tidak perlu reaktif” untuk ini, tetapi perlu berkontribusi dengan mendorong wacana yang sehat dalam mencari pemimpin yang ideal.

Sumber: Indonesian minorities fear return of identity politics

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi