UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kardinal Zen kembali disidangkan di pengadilan Hong Kong

Oktober 28, 2022

Kardinal Zen kembali disidangkan di pengadilan Hong Kong

Kardinal Joseph Zen, salah satu klerus Katolik berpangkat tinggi di Asia, tiba di pengadilan untuk diadili di Hong Kong pada 26 September. (Foto: AFP)

Kardinal Joseph Zen, uskup emeritus Hong Kong yang vokal bersama dengan lima aktivis muncul di pengadilan setelah persidangan mereka dilanjutkan untuk mendengarkan argumen penutup atas dugaan kegagalan mereka untuk mendaftarkan dana kemanusiaan yang sekarang sudah tidak berfungsi untuk mendukung para demonstran  pro-demokrasi.

Kardinal Zen, 90, dan salah satu klerus Katolik paling senior di Asia, menghadiri sidang di Pengadilan West Kowloon Magistrate pada 26 Oktober, lapor Hong Kong Free Press.

Para terdakwa, rekannya,  –   Margaret Ng (pengacara),  Denise Ho (penyanyi-aktivis),  Cyd Ho (mantan legislator),  Hui Po-Keung (cendikiawan), dan Sze Ching-wee.

Keenam terdakwa  itu menghadapi tuduhan tidak mendaftarkan “Dana Bantuan Kemanusiaan 612” menurut the Societies Ordinance (SO), sebuah undang-undang era kolonial Inggris tahun 1911.

Menolak klaim para pembela mereka bahwa persyaratan pendaftaran bertentangan dengan kebebasan berserikat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar, penuntut membalas dengan mengatakan cara itu sebagai kontrol ketat terkait dana dan kegiatan.

“Banyak komunitas mengadakan penggalangan dana publik dan menerima sumbangan. Sumbangan besar yang diterima oleh Dana Bantuan Kemanusiaan 612 harus benar-benar diatur,” kata Ketua Jaksa Anthony Chau.

Dia menambahkan persyaratan pendaftaran demi “keseimbangan yang wajar” antara perlindungan kepentingan sosial dan pelanggaran hak-hak pribadi.

Jaksa itu juga menyatakan persyaratan untuk mendaftarkan Dana Bantuan Kemanusiaan 612 sebagai serikat lokal “tidak melanggar kebebasan berserikat.”

“Kalau serikat itu didaftarkan maka akan terhindar dari SO tersebut,” katanya.

Chau juga menjelaskan para terdakwa memiliki waktu cukup untuk menyiapkan dokumen yang diperlukan dan mendaftarkan komunitas mereka.

Dia mengatakan masyarakat memiliki “waktu yang cukup untuk mempersiapkan informasi yang dibutuhkan untuk pendaftaran karena batas waktu memasukan aplikasi adalah satu bulan setelah didirikan.”

Dia juga menambahkan hukuman maksimum untuk pelanggar pertama kali adalah denda HK$10.000 (1.274 dolar AS).

Penasihat hukum telah mengajukan berbagai kasus nasional dan internasional lainnya yang serupa yang ditolak oleh penuntut.

Chau mengatakan mereka “tidak dapat membandingkan”  kasus ini.

Dia juga mendesak pengadilan “mengadopsi definisi yang luas dan menafsirkan hukum dengan fleksibilitas untuk mencerminkan maksud legislatif untuk menjaga hukum dan ketertiban”.

Sidang ditunda hingga 31 Oktober agar pengadilan mendengar argumen penutup dari pembela.

Kardinal Zen dan lima lainnya pada awalnya dituduh “berkolusi dengan pasukan asing” tetapi belum didakwa dengan pelanggaran undang-undang keamanan nasional, yang dapat membawa hukuman seumur hidup di penjara.

Chau juga berargumen bahwa dana yang disiapkan oleh Kardinal Zen dan para terdakwa lainnya bukan milik salah satu dari 16 kelompok yang terdaftar dalam jadwal di mana SO tidak berlaku.

Kelompok-kelompok menurut peraturan tersebut dipisahkan berdasarkan bahasa, olahraga, kegiatan budaya, profesi industri, perdagangan, dan komunitas religius atau amal.

Penuntut memperkirakan dana tersebut memiliki total simpanan lebih dari HK$450 juta dan telah menghabiskan lebih dari HK$446 juta.

Para aktivis HAM mengatakan kasus terhadap Kardinal Zen dan rekan terdakwanya adalah contoh strategi Beijing untuk menekan perbedaan pendapat melalui Undang-Undang Keamanan Nasional dan ketentuan undang-undang kolonial lainnya.

Mereka termasuk di antara ratusan pendukung dan politisi pro-demokrasi yang dipenjara atau menghadapi tuntutan di pengadilan ketika China memperketat cengkeramannya pada bekas jajahan Inggris yang dulu menikmati tingkat otonomi dan kebebasan dasar yang lebih tinggi termasuk peradilan dan legislatif independen di bawah “satu negara dua sistem kerangka kerja”.

Sebelumnya pada 25 Oktober, Jimmy Lai, seorang taipan media Katolik dan pendiri surat kabar pro-demokrasi Apple Daily dan kepala perusahaan induknya, Next Digital, dinyatakan bersalah atas penipuan di pengadilan.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi