Sekitar 90.000 pengungsi Myanmar tinggal di sembilan kamp di sisi perbatasan Thailand. Pada puncak pengungsian di awal 1990-an, kamp-kamp itu menampung lebih dari 130.000 orang.
Orang-orang yang sudah berada di kamp-kamp itu telah menyaksikan kelompok-kelompok kemanusiaan datang dan pergi selama bertahun-tahun, meskipun belakangan ini sebagian besar pekerja bantuan beralih ke krisis yang lebih baru, meninggalkan kekurangan bantuan kronis bagi para pengungsi di kamp-kamp itu. Yang tidak menurun adalah komitmen Gereja Katolik untuk mendampingi orang-orang di kamp-kamp itu.
Pastor Dominic Nyareh, seorang imam Burma yang melayani sebagai kepala di Ban Mai Nai Soi, yang diangkat oleh uskup Loikaw tahun 2008. Dia adalah salah satu dari lima imam yang ditugaskan oleh Gereja Myanmar sebagai kepala di kamp-kamp tersebut.
Pejabat Thailand tidak mengizinkan Pastor Nyareh tinggal di kamp itu, yang dijaga oleh tentara Thailand, jadi dia pulang pergi setiap hari dari Mae Hong Son di dekatnya. Imam lain, Pastor Joseph Sureh, bergabung dengannya tahun 2015, tetapi dia tinggal di kamp. Pejabat Thailand tidak akan mengizinkannya meninggalkan kamp-kamp itu.
Dua biarawati Burma juga melayani Ban Mai Nai Soi. Bersama tim pastoral ia memimpin empat kamp Gereja, dengan berbagai kegiatan paroki mulai dari retret orangtua hingga kelompok orang muda dan kelas seruling untuk anak-anak. Mereka juga mengelola panti asuhan untuk anak yatim dan anak-anak lain yang memiliki keluarga di kamp itu tetapi lingkungan rumah mereka tidak aman untuk belajar. Mereka saat ini memiliki 33 asrama.
Pastor Sureh mengatakan dulu ada lebih banyak orang, tetapi karena sinyal seluler tersedia di kamp itu, beberapa anak menolak untuk tinggal di asrama yang dikelola Gereja karena Gereja tidak mengizinkan anak-anak memiliki ponsel.
Pastor Nyareh mengatakan ketika Paus Fransiskus menyebut pengungsi Myanmar dalam pidatonya untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia pada 25 September, kata-katanya bergema di antara orang-orang Burma dari semua agama.
“Rakyat kami merasa bahwa dunia telah melupakan Myanmar. Kami adalah orang-orang yang terlupakan. Jadi, saya sangat berterima kasih kepada Paus Fransiskus bahwa dia membantu dunia mengingat Myanmar,” katanya kepada Catholic News Service.
“Seluruh dunia memperhatikan Ukraina dan tempat-tempat lain, tetapi Myanmar adalah salah satu negara terburuk terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tidak ada aturan hukum lagi. Orang-orang frustrasi, tertekan dan merasa bahwa kami telah dilupakan.”
Dalam pidatonya menandai hari itu, Paus Fransiskus mencontohkan pemboman baru-baru ini terhadap sebuah sekolah oleh militer Myanmar, yang telah menguasai negara itu sejak kudeta Februari 2021.
“Selama lebih dari dua tahun negara yang mulia itu telah mengalami pertempuran sengit dan kekerasan, yang telah menyebabkan begitu banyak korban dan membuat banyak orang mengungsi. Minggu ini saya mendengar tangisan atas kematian anak-anak di sekolah yang terkena bom,” kata Paus Fransiskus.
“Semoga tangisan anak-anak kecil tidak terdengar lagi. Tragedi seperti itu seharusnya tidak terjadi.”
Desa asal Pastor Nyareh di Donoku diserang oleh militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, pada Mei, meninggalkan separuh biara menjadi abu. Imam itu mengatakan jika pasukan oposisi di Myanmar telah menerima bantuan yang sama seperti yang diterima oleh Ukraina menentang invasi Rusia, para pengungsi yang dia layani bisa pulang.
“Orang-orang muda siap mengorbankan hidup mereka untuk pembebasan. Berapa pun biaya yang harus dibayar, mereka siap. Tetapi, mereka tidak memiliki senjata dan peralatan yang dimiliki. Jika mereka mendapat dukungan seperti rakyat Ukraina, itu akan menjadi berakhirnya permainan,” katanya.
Sebaliknya, dengan sanksi internasional yang keras tampaknya tidak banyak berpengaruh pada penguasa negara itu, militer Myanmar melanjutkan serangannya terhadap berbagai kelompok pemberontak berbasis etnis serta penduduk sipil yang dianggap tidak setia.
Ibu dan saudara perempuan Pastor Sureh mengungsi karena pertempuran tahun 2021, tetapi mereka tidak dapat bergabung dengannya di dalam kamp itu karena Thailand tidak mengizinkan pendatang baru. Jadi mereka tetap berada di dalam Myanmar di sebuah kamp untuk pengungsi internal, dua jam berjalan kaki dari kamp pengungsi itu.
Semua orang di Ban Mai Nai Soi tinggal di rumah bambu. Tentara Thailand berpatroli di kamp untuk memastikan bahwa tidak ada yang membangun sesuatu yang permanen.
“Kami harus tinggal di gubuk bambu. Jika kami kembali ke rumah di Myanmar atau negara lain, kami bisa menjalani kehidupan yang lebih nyaman. Tidak ada pekerjaan di kamp, dan orang tidak diizinkan keluar kamp. Bertahun-tahun banyak yang mengajukan permohonan pemukiman kembali ke negara ketiga, tetapi banyak orang berharap mereka bisa segera kembali ke rumah. Sekarang, setelah bertahun-tahun dan situasi di Myanmar tidak membaik, banyak orang tertarik dengan pemukiman kembali. Tapi, sekarang tidak diperbolehkan,” kata Pastor Sureh.
Apa pun yang terjadi di kamp, para pekerja Gereja mengatakan mereka akan tinggal selama uskup mereka menginginkan mereka hadir.
Pastor Joe Hampson, seorang Jesuit Skotlandia, yang memimpin Pelayanan Pengungsi Jesuit (JRS) di sepanjang perbatasan, mengatakan itu kabar baik.
“Kehadiran para imam dan suster adalah tanda normal dalam situasi yang sangat tidak normal. Kehadiran Gereja memberikan tanda bahwa Tuhan berjalan bersama mereka,” katanya.
Pastor John Barth, seorang misionaris Maryknoll dari Buffalo, New York, yang bekerja di perbatasan memberikan bantuan kepada para pengungsi di kamp-kamp dan keluarga-keluarga terlantar di perbatasan Myanmar, mengatakan warga sipil biasa di Myanmar mencari perlindungan dari Gereja.
“Para pengungsi merasa ditemani oleh paus dan seluruh Gereja karena mereka telah mengirim perwakilan mereka – Pastor Dominic dan Pastor Joseph. Orang-orang tahu mereka tidak sendirian,” kata Pastor Barth.
“Di desa-desa asal mereka, ketika bom mulai berjatuhan, banyak orang lari ke gereja untuk berlindung. Tentu saja, beberapa tidak berjalan dengan baik ketika mereka mengebom gereja. Tapi, gereja selalu dilihat sebagai pelindung mereka serta bersuara bagi yang tak bersuara.”
Dalam beberapa bulan terakhir, kondisi yang memburuk di dalam Myanmar telah mendorong beberapa ribu pengungsi baru melewati perbatasan ke Thailand. Namun, pemerintah Thailand telah menolak untuk membiarkan mereka memasuki kamp-kamp yang ada dan kadang-kadang mereka dipaksa kembali melintasi perbatasan. Pada 20 Oktober, UNHCR mengecam praktik tersebut.
“UNHCR sangat prihatin dengan berbagai laporan dari negara-negara di wilayah refoulement – pemulangan paksa pengungsi dan pencari suaka – sejak Februari 2021. Kami mengulangi seruan kami pada negara-negara untuk terus memberikan perlindungan kepada warga negara Myanmar yang melarikan diri demi keselamatan,” kata Gillian Triggs, asisten komisaris tinggi UNHCR.
Sumber: Chaplains stay put in myanmarese camps on the thai side