Pastor Myron J. Pereira, SJ
Fondasi setiap Gereja, setiap komunitas Kristen dalam sejarah, adalah para rasul dan martir mereka.
Para rasul, para misionaris, yang “dikirim” ke negeri-negeri asing untuk memberitakan firman Tuhan, dan para “martir” yang menjadi saksi “kabar baik” Yesus melalui hidup mereka.
Hidup mereka adalah sebuah inspirasi dan kematian mereka yang kejam memupuk iman yang dari mereka Gereja telah bertumbuh. Begitu pula dengan Stefanus, Agnes, Barbara, dan Catherine.
Jadi, itu juga terjadi di India.
Daftar para martir India sangat mengesankan – dari Thomas, Rasul (1 c. CE); empat martir Fransiskan dari Thane (1321); lima martir Jesuit dari Cuncolim, Goa (1583); Gonsalo Garcia di Nagasaki yang jauh (1590); John de Brito di Oriyur (1693); Devasahayam Pillai dari Kanyakumari (1752).
Dan sekarang adalah Beata Rani Maria Vattatil, dekat Indore, India tengah, tahun 1995.
Suster Rani Maria Vattatil adalah seorang biarawati Fransiskan Klaris dari Kerala yang bekerja dengan para perempuan suku selama beberapa tahun di India tengah. Dia dibunuh karena pelayanannya memberdayakan perempuan dan orang miskin yang tidak memiliki tanah, dan mengancam struktur kekuasaan yang menindas di daerah tersebut. Rani Maria baru berusia 41 tahun saat dibunuh.
Di masa lalu, para martir bersaksi tentang keyakinan agama mereka. Saat ini “kesaksian” yang dituntut oleh kemartiran jauh lebih luas.
Ada banyak orang saat ini yang mendukung hak asasi manusia, yang mengangkat jiwa manusia, yang berpihak pada yang tertindas melawan pemerintahan yang kejam dan diktator, yang melakukan agitasi untuk kebebasan berbicara dan bergerak, dan memperjuangkan supremasi hukum melawan praktik feodal dan lobi perusahaan – dan mereka membayarnya dengan nyawa mereka.
Rani Maria adalah salah satunya.
Tahun 2017, Rani Maria “dibeatifikasi” oleh Gereja – dia diangkat sebagai model kesucian, dan orang-orang didorong untuk berdoa kepadanya.
Ini adalah konteks di mana seorang pembuat film berusia muda, Shaison Ouseph, merasa bahwa film tentang Suster Rani Maria akan menjadi sarana yang tepat untuk menyampaikan kisah hidup dan misinya kepada jutaan orang yang belum pernah mendengar dia.
Shaison telah memiliki keterampilan dan kepercayaan diri tertentu sebagai pembuat film dokumenter. Namun, membuat sebuah biopik tentang seorang suster yang merupakan seorang aktivis dan martir membutuhkan banyak talenta lainnya.
Dengan kesabaran dan keuletan, Shaison membangun tim kolaboratornya – untuk menulis skenario, menggalang dana, memilih para aktor, latar, alur cerita, mengarahkan produksi dan pascaproduksi, hingga film itu akhirnya berhasil untuk memutarkan: The Face of the Faceless (Trilight Creations, 2023. col. 134 mnt. dengan Vincy Aloysius sebagai pemeran utama).
Film tentang tokoh religius wanita tidak suatu yang biasa, tetapi setiap kali dibuat, mereka berhasil melampaui harapan terliar seseorang. Pikirkan banyak film yang dibuat tentang Joan of Arc, Theresia Lisieux, dan Ibu Teresa.
Di sini kita memiliki kisah Miriam Vattalil, seorang wanita muda idealis dari keluarga Katolik tradisional di Kerala, yang bergabung dengan sebuah kongregasi misionaris dan tiba-tiba didorong ke dalam kebiadaban “tak berwajah” di pedesaan di India.
Bagian pertama film itu menunjukkan hal ini secara grafis: siapa pun yang berani mengutak-atik struktur kekuasaan feodal yang ada akan segera disingkirkan. Dan seperti biasa, wanitalah yang paling menderita.
Film ini juga menyentuh secara sensitif terkait situasi banyak komunitas agama di tempat-tempat seperti itu: seberapa banyak orang bisa terlibat? Tidakkah mengacaukan struktur kekuasaan lokal memiliki akibat yang parah pada karya kerasulan komunitas yang lebih besar? Bagaimana menghadapi segelintir orang yang menuntut keterlibatan dalam kehidupan kaum tertindas, versus banyak orang yang berbeda?
Ini adalah isu-isu kritis yang dihadapi Gereja di negeri ini, dan mereka disajikan dengan gamblang melalui kehidupan dan misi Rani Maria.
Di tahun-tahun mendatang bukan beasiswa dan khotbah yang akan membimbing Gereja di India, tetapi teladan berani dan kesaksian heroik dari orang-orang biasa seperti biarawati sederhana ini.
Dan saya suka berpikir bahwa film seperti The Face of the Faceless membawa pesannya ke seluruh dunia, dan menginspirasi orang lain untuk menjadi seperti dia.
Film ini hadir dalam empat edisi bahasa – Malayalam, Hindi, Spanyol, dan Prancis – masing-masing dengan teks bahasa Inggris. Film itu telah dimasukkan untuk kompetisi di Cannes (Mei 2023), setelah itu akan tersedia untuk rilis publik.
*Pastor Myron J. Pereira, SJ, yang berbasis di Mumbai, telah menghabiskan lebih dari lima dekade sebagai akademisi, jurnalis, editor, dan penulis fiksi. Dia secara rutin berkontribusi pada UCA News tentang topik agama dan sosial budaya.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi redaksi resmi UCA News.
Sumber: The face of the faceless