Institut Seni Indonesia [ISI] Yogyakarta memberi penghormatan terhadap Pastor Karl-Edmund Prier, imam Jesuit kelahiran Jerman atas dedikasinya bagi pengembangan musik, teutama musik liturgi Katolik.
Imam berusia 85 tahun yang mempelopori inkulturasi dalam musik gereja merupakam salah satu dari dua penerima gelar doktor kehormatan dari kampus itu pada 11 Mei, bersama Professor Gunnar Spellmeyer, seorang ahli aristektur.
Timbul Raharjo, rektor ISI mengatakan, gelar itu diberikan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi kepakaran mereka di bidang masing-masing.
“Penganugerahan ini telah diawali proses seleksi dan pengusulan di level jurusan, persetujuan dari senat di tingkat fakultas, senat ISI Yogyakarta dan izin dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi,” katanya.
Ia menyatakan, Pastor Prier adalah tokoh yang sangat berjasa dalam bidang ilmu musik, khususnya musik liturgi, termasuk bagi pendirian kampus itu, tempat imam itu mengajar selama 33 tahun dari 1971-2004 untuk mata kuliah Sejarah Musik, Tinjauan Repertoar Musik, Ilmu Bentuk Musik, dan Kontrapung di ISI Yogyakarta.
Ia menyebut imam itu sebagai orang yang “sangat mencintai Indonesia.”
“Dalam benaknya, Indonesia adalah negeri yang penuh dengan kekayaan budaya yang berbeda-beda namun satu seperti bunga rampai yang indah,” kata Timbul.
Dalam pidato berjudul ‘Hidup untuk Musik’, Pastor Prier menceritakan upayanya dalam memadukan music gereja dengan budaya di Indonesia, lewat Pusat Musik Liturgi lembaga yang didirikannya ada 1971 bersama Paul Widyawan, seorang komposer Indonesia.
“Meski tugas kami sebagai Pusat Musik Liturgi berfokus pada musik Gereja, namun tujuan ini hanya dapat dicapai dengan mempelajari musik khas Indonesia,” katanya.
Ia mengatakan, upayanya mendalami musik di setiap daerah berangkat dari penegasan dalam Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II no. 119 bahwa ‘di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.”
Upaya mendalami untuk memberikan penghargaan pada musik daerah tersebut dilakukan Romo Prier dengan melakukan perjalanan keliling Indonesia.
”Berdasar pada teks dari Konstitusi Liturgi tersebut, upaya yang dilakukan oleh Pusat Musik Liturgi adalah agar musik tersebut mendapatkan penghargaan selayaknya dan tempat sewajarnya,” katanya.
Dari perjalanan tersebut, kata dia, dia mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan ragam budaya, termasuk budaya musik tradisional.
Ia juga mengakui menemukan kekayaan ragam dan tokoh-tokoh musik yang disebutnya sebagai ”mutiara terpendam”.
Di Kepulauan Mentawai, kata dia, dia menemukan lagu-lagu khas yang kemudian disebutnya sebagai ”healing music,” yang dinyanyikan oleh dukun yang disebut sikerei yang diyakini bisa membantu menarik jiwa atau nyawa orang yang sakit atau sekarat untuk kembali ke raganya.
Di Flores, katanya, dia bertemu dengan suku Keo yang memiliki aransemen musik khas yang dimainkan dengan alat musik dari bambu.
”Di daerah pelosok tanpa ada jaringan listrik, ketika itu kami mendapatkan pengalaman luar biasa menyaksikan penampilan dari orang suku Keo yang memainkan musik dengan tempo tinggi, diterangi oleh sinar lampu dari mobil jip yang kami tumpangi,” ujarnya.
Insipirasi dari perjalanan itu kemudian menjadi bekal bagi Pusat Musik Liturgi untuk menyusun buku doa dan nyanyian liturgi setelah mendapat mandate dari Kongres Musik Liturgi di Yogyakarta tahun 1975.
Tahun 1980, buku Madah Bakti, yang berisi lagu-lagu liturgi yang kental dengan sentuhan gaya musik daerah, seperti Jawa, Batak, dan Flores kemudian diresmikan dalam Kongres Liturgi.
Selain menangani Pusat Musik Liturgi, Pastor Prier juga pernah menjabat sebagai Ketua Seksi Musik Liturgi Komisi Liturgi para uskup dan menjagar musik Gereja di Fakultas Teologi Wedabhati Kentungan, Yogyakarta.
Roland Modestus Jemuru yang sejak 2010 aktif sebagai dirigen dan pelatih koor di Gereja mengatakan, ia senang dengan lagu-lagu yang diciptakan Pastor Prier, karena “mudah dinyanyikan, melodis dan indah.”
“Karya-karyanya sering saya gunakan. Karena mudah dinyanyikan, maka umat mengambil bagian dalam menyanyikan lagu-lagu dalam misa/ibadah semakin tinggi. Karena partisipasi umat dalam ibadah sangat tinggi, maka liturgi menjadi sangat hidup,” katanya kepada UCA News.
Jemuru yang kini memiliki sebuah kelompok paduan suara Niscala Choir di Yogyakarta mengatakan, warisan berharga dari Pastir Prior aadalah upayanya yangtidak hanya berfokus pada musik liturgi gereja, tetapi sekaligus mengembangkanya hingga menyentuh aspek seni budaya Indonesia yang khas.”
“Liturgi Gereja yang sakral itu akhirnya mudah dihayati karena lagu-lagu yang dinyanyikan dalam peribadatan bercorak budaya Indonesia yang beragam,” jelasnya.
Pastor Prier tiba di Indonesia tahun 1964.
Pada 11 Februari 2018, imam itu sempat menjadi korban pembacokan bersama tiga umat Katolik oleh seorang pria ekstremis bersenjatakan pedang bernama Suliyono dalam Misa di Gereja St. Lidwina di Yoyakarta.
Dia mengatakan saat itu memaafkan Sulyono dengan tulus, mengenang kata-kata dalam Doa Bapa Kami “mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”
Sumber: German missionary honored in Indonesia