Umat Katolik di Kamboja perlu mempelajari Kitab Suci (Alkitab) untuk menjadi rasul Yesus Kristus yang baik dan memprioritaskan pendidikan untuk berkontribusi pada pembangunan masyarakat, kata Uskup Agung Peter Bryan Wells, Duta Besar Vatikan untuk Thailand dan Kamboja dan delegasi Vatikan untuk Laos, dalam kunjungan pertamanya ke negara itu.
“Pergilah dan bentuklah kelompok-kelompok kerasulan,” kata Uskup Agung Wells dalam khotbahnya pada Misa di Gereja St. Joseph di Phnom Penh pada 21 Mei, lapor Catholic Cambodia.
Dia mengingatkan anggota Gereja Katolik Kamboja yang kecil bahwa mereka dipanggil untuk menjadi murid yang baik dengan menanamkan tiga kebajikan – rasa hormat, ketulusan, dan kepercayaan.
Uskup agung itu mengatakan orang Kristen harus belajar Kitab Suci untuk memupuk iman mereka kepada Tuhan. Bagi orang Kristen, penting untuk mempelajari Kitab Suci, mengetahui isi Firman Tuhan, dan menyebarkannya kepada orang lain, katanya, karena Firman dapat “memberi makan dan memelihara jiwa.”
Beliau juga mengimbau umat Katolik lokal bahwa sangat penting mendapatkan pendidikan untuk menjadi murid yang baik.
“Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah pendidikan untuk terhubung dengan Yesus, menjadi rasul Yesus, menjalin hubungan yang tulus untuk membimbing dan membiarkan orang lain menjadi rasul dalam cara hidup kita,” tambahnya.
Dia mengatakan orang Kristen dipanggil untuk menginjili, tetapi tidak didorong untuk memaksa orang masuk Kristen, katanya.
“Sebagai umat Kristiani, khususnya orang tua, kita harus mendorong generasi muda untuk pergi ke gereja dan harus terus berbagi karunia, yang merupakan aset khusus, iman,” tambahnya.
Uskup Agung Wells memiliki jadwal padat untuk perjalanan pertamanya ke negara Asia Tenggara itu pada 21-25 Mei sejak pengangkatannya sebagai Duta Besar Vatikan yang baru.
Paus Fransiskus menunjuk Uskup Agung Wells berusia 60 tahun itu sebagai Duta Besar Vatikan untuk Thailand dan Kamboja dan delegasi apostolik untuk Laos pada 8 Februari.
Ia telah menjadi Duta Besar Vatikan untuk Afrika Selatan, Botswana, Eswatini, Lesotho, dan Namibia sejak 2016.
Setelah tiba di Phnom Penh pada 21 Mei, Uskup Agung Wells mempersembahkan Misa di Gereja St. Joseph. Dia bertemu dengan pejabat pemerintah pada 22 Mei dan menunjukkan surat kepercayaannya.
Pada 23 Mei, dia mengunjungi Tempat Suci Bunda Maria dan Institut St. Paulus, di mana dia berbicara tentang “Evangelisasi dalam konteks Khmer.”
Ia juga mengunjungi Sekolah St. Fransiskus, fasilitas untuk anak-anak cacat. Pada 24 Mei, dia akan bertemu dengan delegasi Kamboja, sekelompok pemimpin agama, yang bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan pada Januari. Ia juga dijadwalkan mengunjungi kantor Vikariat Apostolik Phnom Penh pada hari itu.
Pada hari terakhir, dia akan mempersembahkan Misa bersama para biarawati dari Misionaris Cinta Kasih (MC) yang didirikan oleh St. Teresa dari Kolkata. Kemudian dia akan menghadiri pertemuan para imam dari vikariat apostolik itu dan berziarah ke Tempat Suci Bunda Maria Mekong sebelum kembali.
Berasal dari Keuskupan Tulsa di Oklahoma, Amerika Serikat, ia ditahbiskan sebagai imam tahun 1991 dan memasuki layanan diplomatik Takhta Suci tahun 1999. Ia belajar teologi dan hukum kanonik di Roma.
Sebelumnya ia bertugas di Nigeria dan di Bagian Urusan Umum Sekretariat Negara Vatikan. Selain Bahasa Inggris, Uskup Agung Wells bisa berbahasa Italia, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Chuon Savann, 55, seorang anggota Gereja St. Joseph, mengatakan kunjungan utusan Vatikan itu merupakan dorongan imannya kepada Tuhan dan panggilan untuk memahami peran umat Kristiani dengan lebih jelas.
“Beliau mengingatkan bahwa kita harus memiliki iman yang kuat terlebih dahulu untuk menjadi teladan bagi orang lain. Saya senang dia mengunjungi gereja kami,” katanya.
Agama Katolik di Kamboja dimulai pada abad ke-16 berkat para misionaris Katolik Eropa. Hingga perang saudara, ada sekitar 62.000 umat Katolik di Kamboja.
Gereja hampir mati karena penganiayaan dan pengusiran semua misionaris asing dan penghancuran gereja-gereja selama rezim Khmer Merah (1975-1979). Semua uskup, imam lokal, dan sebagian besar umat Katolik awam disiksa dan dibunuh.
Gereja lahir kembali setelah kembalinya para misionaris tahun 1990-an. Saat ini, Gereja Kamboja memiliki 20.000 umat Katolik yang sebagian besar dilayani oleh para misionaris asing.
Selama bertahun-tahun, Gereja lokal telah menyediakan 10 imam pribumi dan 10 biarawati. Kamboja dan Vatikan menjalin kembali hubungan diplomatik formal tahun 1994.
Sumber: Nuncio urges Catholics in Cambodia to study bible