Organisasi Kristen yang diakui negara di Hong Kong menyelenggarakan seminar pertama tentang kebijakan Beijing terkait “sinisasi agama Kristen” yang dipandang sebagai langkah untuk memperkenalkan ideologi politik di bekas jajahan Inggris tersebut.
Seminar dua hari itu diadakan bersama oleh Dewan Kristen China (CCC) dan Gerakan Patriotik Tiga Diri (TSPM) di gedung Asosiasi Pemuda Kristen (YMCA) di Hong Kong, lapor ChinaAid pada 25 Mei.
Laporan tersebut, mengacu pada Christian Times Hong Kong, yang mengatakan pertemuan itu terjadi di tengah peningkatan komunikasi antara kelompok Gereja pro-pemerintah di Hong Kong dan China daratan.
Sebanyak 120 peserta menghadiri acara tersebut termasuk puluhan anggota dari dua kelompok Kristen, pendeta, dan guru dari seminari Hong Kong, serta pemimpin dari berbagai denominasi Gereja dan organisasi Kristen.
Pendeta Wong Ka-fai, ketua Dewan Kristen Hong Kong mengatakan sinisasi adalah topik penelitian yang “penting”.
“Sinisasi agama Kristen adalah bidang penelitian yang sangat penting bagi Gereja dan akademisi di daratan,” katanya. “Untuk memahami situasi Gereja-gereja di China, masalah ini tidak boleh diabaikan.”
Wang mengatakan sebelumnya, Gereja-gereja di Hong Kong jarang membahas konsep Sinisasi. Ia berharap diskusi ini dapat diperdalam di masa mendatang.
Sinisasi agama adalah salah satu kebijakan utama Partai Komunis China (PKC). Ideologi yang sangat politis ini berusaha memaksakan prinsip-prinsip sosialis pada masyarakat dan institusi untuk memastikan kesetiaan kepada kepemimpinan PKC, kata para pengamat.
PKC dan dua badan urusan agama utamanya – Administrasi Urusan Agama Nasional dan Departemen Kerja Front Persatuan – telah membuat kebijakan di berbagai provinsi di daratan China dalam beberapa tahun terakhir.
ChinaAid melaporkan dengan sinisasi, PKC bertujuan membentuk umat beriman agar mereka memiliki kekristenan dengan “karakteristik China” dan seperti semua agama yang diakui secara hukum agar lebih sesuai dengan ideologi Komunis.
Selama seminar, Pendeta Wu Wei, ketua Dewan Kristen China mengatakan sinisasi adalah proses yang “kondusif untuk keharmonisan sosial.”
Wu mengatakan dengan mematuhi sinisasi berarti “mengambil nilai-nilai inti sosialisme sebagai dasar, meneruskan tradisi yang baik rakyat China, dan menumbuhkan konsep-konsep seperti persatuan, kemajuan, perdamaian, dan toleransi.”
Dia juga mengklaim bahwa lebih banyak “pendidikan Gereja” dapat mengarah pada keharmonisan sosial, kemajuan, dan peradaban yang sehat. Gereja-gereja harus dididik untuk memenuhi persyaratan perkembangan dan mengikuti kemajuan China kontemporer.
Sinisasi kekristenan harus dipandu oleh nilai-nilai inti sosialisme dan ditanamkan dalam budaya tradisional yang sangat baik, lapor surat kabar pro-Beijing Hong Kong, Ta Kung Pao, mengutip perkataan Wu.
Warga Hong Kong harus “menyingkirkan mentalitas menghormati semua unsur asing dan menceritakan lebih banyak tentang sejarah China,” kata artikel itu.
Upaya PKC untuk menegaskan kontrol lebih besar atas agama dan kelompok agama semakin intensif setelah Beijing merilis buku putih pada 3 April 2018, berjudul “Kebijakan dan Praktik China dalam Melindungi Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama.”
Buku ini menekankan kebutuhan untuk “memasukkan para pelayan keagamaan ke dalam sistem pemerintahan nasional dan menggunakan undang-undang untuk mengatur berbagai hubungan sosial yang melibatkan agama”, demikian ChinaAid.
Upaya sinisasi di Hong Kong terjadi ketika agama Kristen menghadapi tekanan politik di kota yang menikmati tingkat otonomi, kebebasan, dan hak yang lebih tinggi di bawah kerangka “satu negara, dua sistem” sejak penyerahan Inggris tahun 1997.
Namun, undang-undang keamanan nasional represif yang diberlakukan Beijing tahun 2020, sebagai tanggapan atas gerakan pro-demokrasi yang kuat, melihat kebebasan dan hak terkikis secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir di kota berpenduduk 7,5 juta jiwa itu.
Sumber: Pro-Beijing groups discuss sinicization of christianity in HK