Umat Katolik di Mongolia berduka atas wafatnya seorang imam misionaris Korea yang memberikan pelayanan pastoral dan spiritual kepada gereja kecil negara itu selama lebih dari dua dekade.
Pastor Stephen Kim Seong-Hyeon, 55, asisten vikjen Prefektur Apostolik Ulaanbaatar, ibu kota negara itu, meninggal pada 26 Mei akibat serangan jantung, lapor kantor berita Fides.
Pada sore hari, umat Katolik berbondong-bondong untuk memberi penghormatan kepada imam tersebut saat mereka mengikuti Misa requiem di Katedral Santo Petrus dan Paulus yang dipimpin oleh Uskup asal Italia, Mgr. Giorgio Marengo, yang baru-baru ini diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus.
Selama homilinya, Kardinal Marengo berterima kasih kepada Tuhan atas kehidupan Pastor Kim yang mengabdikan sebagian besar hidup imamatnya untuk melayani Gereja di Mongolia.
Lahir di Daejeon, Korea Selatan tahun 1968, Kim ditahbiskan sebagai imam tahun 1998. Ia datang ke Mongolia sebagai misionaris Keuskupan Daejeon tahun 2000.
Pastor Kim mengelola sebuah seminari kecil di sebuah paroki yang menawarkan fasilitas asrama untuk para anak laki-laki Mongolia yang inin menjadi imam. Seminari itu dipuji karena menghasilkan seorang religius pribumi pertama menjadi imam.
Pastor Augustinus Han, seorang imam Korea, mengatakan dia terkesan dengan pekerjaan misionaris Pastor Kim di Mongolia ketika dia pertama kali bertemu dengannya tahun 2007.
“Saya sangat terkesan melihat Pastor Kim hidup dengan semangat misionaris, kerendahan hati, dan kemiskinan. Saya melihat dalam dirinya contoh seorang imam misionaris otentik yang mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk membawa Injil Tuhan kepada orang-orang yang telah menderita ateisme yang dipaksakan negara selama beberapa dekade,” kata Pastor Han, merujuk pada pemerintahan komunis di Mongolia (1921-1990) ketika agama dilarang.
Pastor Han mengatakan misionaris itu merangkul umat dan budaya Mongolia dengan cinta.
“Dalam masyarakat di mana kekerasan rumah tangga biasa terjadi, awalnya sulit bagi anak laki-laki Mongolia untuk mendekati Pastor Kim meski dia sudah dewasa,” katanya.
“Namun, dia memperlakukan para anak pria Mongolia dengan cinta kebapakan, dan mereka terkesan dengan kebaikannya. Setelah mengalami cinta dan kesabarannya, para anak laki-laki itu mengikutinya dan melihatnya sebagai ayah sejati.”
Pastor Kim dikenal sebagai pengikut setia St. Theresia Lisieux, santo pelindung para misionaris. Dia biasa membaca buku tentang orang kudus itu secara rutin.
Imam itu juga adalah anggota Serikat Imam-imam Institut Prado untuk Provinsi Korea, yang berkomitmen menyediakan diri untuk melayani di paroki-paroki termiskin.
Tahun 2019 dia diundang untuk berpartisipasi dalam retret Paskah bagi para imam Prado di Fatima, Portugal, di mana dia membagikan pengalaman misionarisnya di Mongolia.
Dia mengatakan sebagai pastor paroki, dia memperhatikan para anak laki-laki yang menjauh dari gereja setelah mereka dewasa dan menikah.
Setelah mengunjungi beberapa rumah, dia menyadari bahwa orang-orang bekerja sangat keras sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk datang ke gereja. Jadi, dia mulai mengunjungi mereka di rumah untuk tetap berhubungan dengan gereja.
Dia dipuji karena mendirikan paroki baru, St. Maria Assumpta, di Ulaanbaatar.
Untuk lebih dekat dengan orang Mongolia dengan menganut gaya hidup nomaden tradisional, dia mendapat izin dari uskup untuk tinggal bersama sekelompok orang di Erdenesant, sebuah padang rumput sekitar 200 kilometer dari ibu kota itu.
Selama beberapa tahun, dia tinggal di ger, tenda tradisional Mongolia, dan mengajar bahasa Korea kepada para siswa muda di sebuah sekolah. Dia kemudian kembali ke Ulaanbaatar atas panggilan uskup untuk melayani sebagai asisten vikjen.
Pastor Kim sering mengatakan, “Ketika misi ini selesai, saya akan kembali ke padang rumput,” lapor Fides.
Gereja Mongolia memiliki sekitar 1.400 umat Katolik dengan mayoritas penduduk beragama Buddha sekitar 3,3 juta.
Sumber: Mongolian Catholics pay tributes to Korean missionary