“Pemerintah harus mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengajukan wacana seperti ini agar tidak menimbulkan kegaduhan di publik,” kata Romo Yohanes Jeharut, sekretaris eksekutif Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia.
Imam itu merepons pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rycko Amelza Dahnile dalam sidang di DPR RI pada 4 September bahwa pemerintah perlu memiliki mekanisme kontrol terhadap penggunaan dan penyalahgunaan tempat-tempat ibadah yang digunakan untuk penyebaran paham radikalisme.
Ia mengatakan, BNPT sudah melakukan studi banding di Singapura dan Malaysia serta negara-negara lain seperti Oman, Qatar, Arab Saudi dan Maroko di mana “semua masjid, tempat ibadah, petugas yang memberikan tausiyah, memberikan khotbah, memberikan materi, termasuk kontennya berada di bawah kontrol pemerintah.”
Ia mengatakan, dengan rencana ini, maka pemerintah akan mengontrol “siapa saja yang boleh memberikan, menyampaikan konten di rumah ibadah, termasuk mengontrol isi konten supaya tempat-tempat ibadah kita ini tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, ajaran-ajaran kebencian, menghujat golongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah.”
Pernyataannya telah memicu protes keras dari berbagai lembaga keagamaan.
Romo Yohanes Jeharut mengatakan, selama ini, pemerintah khususnya aparat keamanan – TNI dan Kepolisian RI – melalui kesatuan teritorialnya sudah berada dan melingkupi wilayah – wilayah teritorial di mana tempat – tempat ibadah berada.
“Fungsi aparat keamanan territorial itu saja yang perlu dioptimalkan sebagai deteksi dini ancaman dan gangguan termasuk terorisme. Jadi wacana kontrol pemerintah terhadap semua tempat ibadah tidak perlu dilakukan,” katanya kepada UCA News pada 5 September.
Pendeta Gomar Gultom, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menyebut rencana itu “hanya menunjukkan sikap frustrasi pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme.”
Ketimbang memberlakukan rencana kontrol itu, “saya lebih meminta keseriusan dan tindakan tegas pemerintah atas ujaran kebencian, aksi intoleran dan tindak kekerasan, seturut hukum yang berlaku.”
Sementara itu, Anwar Abbas, wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan usulan itu bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan hak “atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Usulan kontrol atas aktivitas di rumah ibadah “jelas sebuah langkah mundur dan mencerminkan cara berfikir serta bersikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah kita bangun dan kembangkan selama ini secara bersusah payah,” katanya.
Ia juga menyebut wacana itu condong pada pendekatan yang tirani “yang lebih mengedepankan pendekatan security approach dan mengabaikan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat dialogis, objektif dan rasional.”
Ancaman ekstremisme masih tinggi di Indonesia, meskipun pihak berwenang terus menggagalkan serangan dan bahkan menangkap tersangka teroris.
Gereja-gereja telah menjadi salah satu target utama serangan. Pada Minggu Palma 2021, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS mengebom Katedral Makassar di Sulawesi Selatan, pengeboman gereja pertama sejak pengeboman tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada 13 Mei 2018.
Tahun lalu, Detasemen Khusus 88 Anti Teror [Densus 88] mengamankan 247 teroris, sementara pada 2021 adalah 370 teroris.
Tahun ini datanya belum tersedia. Penangkapan terakhir adalah 14 Agustus terhadap seorang teroris di Bekasi, Jawa Barat.
Sebelumnya, Densus 88 juga menangkap lima orang teroris yang terkait dengan serangan bom bunuh diri di kantor polisi di Astanaanyar, Bandung pada Juli.
Stanislaus Riyanta, pengamat terorisme mengatakan kepada UCA News, hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam rangka membendung radikalisme dan terorisme adalah memetahkan “aktor pembuat ancaman, bukan mengawasi tempat ibadah.”
“Jadi, harus fokus pada pengawasan aktornya bukan tempat ibadahnya, dan pengawasannya juga tertutup misal dengan intelijen, bukan malah diumumkan secara terbuka,” katanya.
Ia menyatakan, selama ini insititusi seperti Densus 88 “melakukan pengawasan dengan baik terbukti banyak sekali aksi teror yang gagal karena berhasil dicegah.”
“Namun keterbatasan personel membuat pengawasan belum maksimal. BNPT sebaiknya lebih pada tataran strategis, bukan teknis, sehingga BNPT menyiapkan strategi-strategi pada tahap pencegahan,” katanya.
Sumber: Uproar over plan to control Indonesias worship places