Para pemimpin Katolik menyalahkan tindakan sebuah negara bagian di India tengah yang memberikan satu juta rupee India sebagai kompensasi bagi korban pembunuhan tanpa pengadilan (pembunuhan di luar hukum).
“Paket kompensasi sebesar satu juta rupee [12.039,74 dolar AS] kedengarannya bagus, namun pada kenyataannya, hal ini memperlihatkan kegagalan pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari kejahatan yang mengerikan,” kata Jerry Paul, ketua Sarva Isai Mahasabha (Dewan Seluruh Umat Kristen).
Pemerintah Madhya Pradesh pada 9 September mengumumkan ‘Skema Kompensasi Korban Penganiayaan Massa.’ Kompensasi finansial akan dibayarkan kepada anggota keluarga individu yang terbunuh dalam insiden pembunuhan di luar hukum, demikian pemerintah mengumumkan.
Skema ini juga memberikan kompensasi kepada mereka yang menderita luka-luka dalam insiden pembunuhan di luar hukum itu.
“Di bawah skema ini, pembunuhan di luar hukum didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap seseorang atau beberapa orang oleh sekelompok orang yang terdiri dari lima orang atau lebih atas dasar agama, kasta, jenis kelamin, asal, bahasa, kebiasaan makan, orientasi seksual, afiliasi politik, dan lain-lain, etnisitas atau alasan-alasan lain yang serupa,” lapor surat kabar The Hindu.
“Peran pemerintah adalah melindungi semua orang dan memastikan tidak ada kejahatan serupa yang terjadi,” kata Paul kepada UCA News pada 15 September.
Pemimpin awam Kristen tersebut menuntut pemerintah “memperketat hukum” sehingga tidak ada yang berani melakukan kejahatan semacam itu.
Pembunuhan di luar hukum terhadap kaum Dalit atau mantan kaum tak tersentuh dan Muslim menjadi masalah hukum dan ketertiban yang serius di India sejak 2014, setelah Perdana Menteri Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) pro-Hindu berkuasa.
Pembunuhan di luar hukum secara massal terutama dilakukan oleh kelompok main hakim sendiri terkait pembunuhan sapi di negara tersebut yang melakukan kekerasan dengan kedok melindungi sapi, hewan yang dihormati dalam agama Hindu.
Menurut laporan media India, antara tahun 2012 dan 2022, setidaknya 82 kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok main hakim sendiri terkait sapi telah dilaporkan di negara tersebut, yang merenggut 45 nyawa dan melukai 145 lainnya.
Pembunuhan di luar hukum menjadi terkenal dengan pembunuhan seorang petani Muslim, Mohammad Akhlaq, di Uttar Pradesh. Pria lansia itu dibunuh oleh massa karena ia dicurigai menyimpan daging sapi di rumahnya pada September 2015.
Dalam kasus terbaru terkait pembunuhan di luar hukum di Negara Bagian Haryana utara pada Juli ini; enam orang dibunuh oleh massa ketika Distrik Nuh yang mayoritas penduduknya Muslim menyaksikan kerusuhan antara dua kelompok.
Namun, pembunuhan tanpa pengadilan tidak didefinisikan sebagai kejahatan berdasarkan KUHP India era Inggris.
Tahun 2018, Mahkamah Agung, pengadilan tertinggi di negara tersebut, mengecam kasus pembunuhan tanpa pengadilan yang meningkat dan mencari undang-undang terpisah untuk memastikan hukuman yang berat.
Pemerintah federal mengajukan RUU ke parlemen pada Agustus tahun ini yang menetapkan hukuman berat, termasuk pembunuhan di luar hukum, untuk kejahatan tersebut. RUU tersebut sedang menunggu persetujuan.
Banyak negara bagian – Manipur, Benggala Barat, dan Rajasthan – mengesahkan UU itu sejak tahun 2018 untuk mencegah pembunuhan di luar hukum. Namun mereka masih menunggu persetujuan dari presiden India.
“Tidak ada undang-undang yang melarang kejahatan terorganisir seperti itu, tetapi pemerintah [Madhya Pradesh] siap dengan paket kompensasi,” kata Paul.
Dia mengatakan pemerintah harus membuat UU terlebih dahulu. “Maka tidak perlu ada kompensasi,” tambah Paul.
India akan mengadakan pemilu tahun depan dan Modi mengincar masa jabatan ketiga berturut-turut.
“Hal ini tidak boleh hanya sekedar pengumuman politik menjelang pemilu,” kata seorang pemimpin Kristen yang tidak ingin disebutkan namanya.
Namun, pejabat pemerintah Madhya Pradesh mengatakan pemerintah serius dengan tindakan tersebut dan kompensasi akan dibayarkan dalam waktu 30 hari setelah insiden pembunuhan di luar hukum.
“Tidak diragukan lagi ini adalah langkah yang disambut baik,” kata Daniel John, seorang tokoh Katolik yang tinggal di Bophal, ibu kota negara bagian itu.
Sumber: Indian-catholics reject compensation for lynching victims