Ribuan pengungsi internal di Myanmar yang dilanda perang saudara membutuhkan bantuan kemanusiaan karena pembatasan yang diberlakukan oleh militer yang berkuasa di negara bagian timur dengan populasi Kristen yang cukup besar.
Pertempuran meningkat dalam beberapa bulan terakhir di wilayah pegunungan Kayah bagian timur antara militer dan kelompok gabungan etnis bersenjata dan pasukan pertahanan rakyat baru (PDF).
Kelompok bantuan kemanusiaan menuduh militer, yang menggulingkan pemerintahan sipil pada Februari 2021, melanjutkan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil di wilayah tersebut.
“Kendala akses telah meningkat, terutama di wilayah Tenggara dan Kachin, yang semakin membatasi akses masyarakat terhadap layanan penting dan menghambat penyaluran bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak,” lapor Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.
Suara tembakan dan tembakan artileri terdengar setiap hari dan terdapat peningkatan jumlah pengungsi yang berlindung di kompleks gereja dan rumah kerabatnya, kata sumber Gereja dari Loikaw, ibu kota Negara Bagian Kayah, yang berbatasan dengan Thailand.
Ada hampir 250.000 pengungsi di 200 kamp di Negara Bagian Kayah. Lebih dari 9.000 orang dari negara bagian tersebut telah meninggalkan rumah-rumah mereka dan mengungsi di Thailand sejak pertempuran dimulai pada Juni, menurut kelompok HAM.
Sekitar 80.000 orang ditampung di kamp-kamp yang dikelola oleh Gereja di Kayah, dimana umat Kristen merupakan 46 persen dari 350.000 penduduk di negara bagian tersebut. Negara bagian ini menampung hampir 90.000 umat Katolik.
“Gereja berupaya semaksimal mungkin untuk menyediakan makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan bagi para pengungsi di tengah pembatasan dan kenaikan harga komoditas,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya itu kepada UCA News.
Komunitas Karenni, yang sebagian besar tinggal di Negara Bagian Kayah dan berbicara Bahasa Tibet-Burma, telah meminta donor internasional untuk memasok makanan dan non-makanan.
Sekitar 50.000 karung beras, dengan biaya 1,45 juta dolar AS, dibutuhkan per bulan dan terpal serta selimut senilai 445.000 dolar AS dibutuhkan untuk lebih dari 30.000 keluarga, kata Dewan Eksekutif Karenni, yang berbasis di Thailand.
Mereka meminta para donor untuk menyalurkan bantuan melalui Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) di pengasingan, yang terdiri dari anggota parlemen terpilih dan anggota parlemen yang digulingkan dalam kudeta tahun 2021.
“Kami telah meminta komunitas internasional untuk memberikan dukungan politik dan kemanusiaan kepada Negara Bagian Karen [Kayah],” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan pada 19 September.
Kelompok ini juga mendesak pemerintah di Thailand untuk mengizinkan para pengungsi tinggal di kamp sementara.
‘Karenni’ adalah istilah kolektif yang digunakan selama era kolonial Inggris. Karenni, juga dikenal sebagai Karen Merah, mencakup beberapa kelompok etnis.
Komunitas Karenni di seluruh dunia telah meminta badan-badan internasional untuk memberlakukan embargo senjata dan berhenti menjual bahan bakar jet kepada rezim militer yang berjanji untuk mengadakan pemilu pada Agustus tahun ini dan kemudian menundanya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (NHRC) di Myanmar telah menyatakan keprihatinannya terhadap pengungsi Karenni dan meminta bantuan kemanusiaan darurat.
Negara Bagian Kayah menjadi salah satu pusat konflik di Myanmar yang dilanda perselisihan di mana militer menghadapi perlawanan kuat dari kelompok bersenjata, yang sebagian besar beragama Kristen.
Puluhan gereja terkena serangan udara dan penembakan dan setidaknya 16 paroki di Keuskupan Loikaw telah ditinggalkan setelah para imam, biarawati, dan umat awam meninggalkan biara dan rumah-rumah mereka.
Menurut PBB, hampir 18 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, 2 juta orang mengungsi, dan lebih dari 15 juta orang mengalami kerawanan pangan di negara Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, yang merupakan rumah bagi 54,2 juta orang.
Sumber: Call for humanitarian aid to Myanmars displaced people