Kesepakatan Vatikan-China yang ditandatangani lima tahun lalu membuahkan hasil positif meskipun dialog di antara Beijing dan Takhta Suci tidak berjalan sesuai keinginan, kata seorang imam misionaris Belgia, yang juga pakar tentang China.
Dua uskup China yang menghadiri sinode tentang Sinodalitas mendatang yang akan dimulai di Vatikan bulan depan jelas merupakan hasil nyata dari perjanjian tersebut, kata misionaris Scheut, Pastor Jeroom Heyndrickx.
Pastor Heyndrickx telah menghabiskan waktu puluhan tahun di Taiwan dan China sebagai misionaris dan profesor di seminari mulai tahun 1957 dan menjadi anggota Komisi Vatikan untuk China (2007-2013), sebelum kembali ke Belgia.
Pernyataan tersebut disampaikannya mengenai kesepakatan China-Vatikan dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Vatikan, Fides, pada peringatan lima tahun kesepakatan China-Vatikan tahun 2018, pada 22 September.
“Kehadiran dua uskup China daratan pada sinode tersebut jelas merupakan buah nyata dari kesepakatan Paus Fransiskus dengan China untuk memulai dialog dan pertukaran yang berkelanjutan,” kata Pastor Heyndrickx kepada Gianni Valente dari Fides.
Baru-baru ini empat uskup China mengunjungi Universitas Katolik Leuvain di Belgia dan kemudian mengunjungi Prancis dan Belanda pada awal September dengan izin dari otoritas China, kata imam itu.
Ini adalah “buah nyata lainnya” dari kesepakatan tahun 2018, katanya, seraya menambahkan tujuan utama dari kesepakatan rahasia itu, kata imam itu, adalah “persatuan” Gereja.
“Berkat kesepakatan ini semua uskup baru ditahbiskan dalam persekutuan penuh dengan paus dan sekarang sah dan diakui oleh Takhta Suci dan China. Hal ini menghilangkan satu hambatan utama bagi persatuan yang lebih besar di dalam Gereja. Dengan cara ini, sebuah langkah bersejarah menuju kesatuan yang lebih besar dalam Gereja terjadi di bawah pengawasan kita sendiri,” jelasnya.
Pastor Heyndrickx mengatakan dia menyadari keterbatasan dan konsekuensi kritik terhadap perjanjian tersebut termasuk lebih sedikitnya pentahbisan uskup sejak kesepakatan itu ditandatangani dan kerahasiaan yang sedang berlangsung.
“Benar, dialog dengan China tidak berjalan mulus bahkan setelah persetujuan paus. Mengapa kita harus menyembunyikan ini? Kami juga merasa kecewa karena tidak ada lagi uskup yang ditunjuk untuk mengisi kursi kosong uskup di lebih dari 25 keuskupan di China,” ujarnya.
Imam itu mengatakan tidak dapat disangkal bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan dibatasi di China, namun mengkritik pihak-pihak politik Barat terkait kesepakatan tersebut.
“Mereka mengkritik upaya paus untuk berdialog dan mempromosikan tujuan spiritual Gereja. Mengapa? Mungkin untuk mempromosikan tujuan politik mereka sendiri. Namun fakta seperti kunjungan uskup Katolik China ke Eropa baru-baru ini membuktikan bahwa kritik mereka tidak berdasar,” katanya.
Misionaris tersebut mengatakan kunjungan para uskup China di Belgia memberikan peluang besar untuk pertukaran dan kolaborasi.
Pertemuan tersebut terjadi dalam suasana persaudaraan Kristiani yang mengupayakan bagaimana Gereja di China dan Gereja di Barat dapat saling bertukar dan meneguhkan iman satu sama lain, katanya.
“Gereja-gereja di Barat saat ini menyambut konfirmasi ini dengan iman. Mereka terinspirasi dan diteguhkan oleh iman umat Kristiani di China, sementara Gereja di China merasa diperkuat oleh sambutan persaudaraan yang mereka terima di Barat,” tambahnya.
Pertemuan ini berbeda dengan ketegangan dan kecurigaan selama enam puluh tahun, perpecahan bahkan di dalam Gereja di antara Gereja “tidak resmi” dan “resmi” atau sah di China, ujarnya.
“Langkah besar” ini tidak akan mungkin terjadi tanpa persetujuan paus.
“Mencapai lebih banyak persatuan di dalam Gereja dengan melampaui kesalahpahaman di dalam Gereja adalah pencapaian misionaris paus. Kita perlu membuka mata terhadap evolusi yang lebih luar biasa saat ini,” katanya.
Kunjungan Paus Fransiskus baru-baru ini ke Mongolia sangat mengejutkan karena mengirimkan kesaksian yang kuat kepada Gereja dan seluruh dunia, katanya.
Kunjungan tersebut, katanya, mengingatkannya pada Oktober 1991, ketika Vatikan dan ordo religiusnya mengirimnya ke Mongolia sebelum misi Katolik di negara tersebut dilanjutkan.
Sejak saat itu, Gereja kecil ini telah menawarkan pelayanan yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin, anak yatim-piatu dan disabilitas.
Meskipun ada beberapa berita negatif yang datang kepada kita dari China, hubungan terbuka di antara Gereja China dan Gereja Universal telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, katanya.
“Terbukti bahwa hal ini terjadi berkat dialog positif yang sedang berlangsung dengan China oleh Paus Fransiskus. Kita semua diundang untuk lebih menyadari hal ini dan mendukung upaya tak kenal lelah paus dalam berdialog dalam melayani Gereja,” katanya.
Sumber: China Vatican deal shows positive effects China expert