UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Gereja Filipina desak ‘penculikan sistematis’ harus dihentikan

September 27, 2023

Gereja Filipina desak  ‘penculikan sistematis’ harus dihentikan

Para aktivis Filipina Dyan Gumanao dan Armand Dayoha diduga diculik pada Januari tahun ini. (Kredit Foto: Bulatlat melalui Civicus Monitor)



Seorang uskup Katolik di Filipina menuntut diakhirinya penculikan para aktivis oleh badan-badan negara di negara mayoritas Katolik tersebut dan menyerukan pertanggungjawaban atas dugaan penculikan dua aktivis lingkungan belum lama ini.

“Penculikan sistematis” terhadap para aktivis di seluruh negeri itu “menunjukkan kekuatan negara sebagai pelakunya,” kata Uskup San Carlos, Mgr. Gerardo Alminaza  dalam sebuah pernyataan, lapor CBCP News dari Konferensi Waligereja Filipina  pada 24 September.

“Para pelaku, termasuk para aparat militer dan polisi, serta pejabat lembaga negara… yang terlibat dalam penculikan dan penghilangan, harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Uskup Alminaza, wakil ketua Komisi Aksi Sosial, Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Filipina.

Pernyataan tersebut merujuk pada Satuan Tugas Nasional untuk Mengakhiri Konflik Bersenjata Komunis Lokal (NTF-ELCAC) dan Departemen Pertahanan Nasional (DND) yang melakukan penyelidikan dan penangkapan.

Kasus ini terjadi beberapa hari setelah dua aktivis lingkungan Jonila Castro, 21, dan Jhed Tamano, 22, diduga diculik oleh pasukan keamanan dan kemudian dibebaskan.

Mereka diduga diculik pada 2 September dan mengklaim bahwa lembaga-lembaga negara menargetkan mereka karena pekerjaan mereka di komunitas pesisir yang menentang proyek reklamasi di Teluk Manila, Provinsi Bataan.

Castro dan Tamano dibebaskan pada 19 September.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga negara, mereka mengaku diculik dan dipaksa menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka telah menyerah.

Uskup Alminaza mengecam konferensi pers tersebut sebagai “diadakan”  bertujuan untuk menunjukkan “penyerahan palsu” oleh para aktivis dan menyerukan diakhirinya praktik keji tersebut.

“Skema ‘penyerahan palsu’ yang dipromosikan oleh institusi militer dan NTF-ELCAC harus diakhiri,” kata Uskup Alminaza.

Uskup juga mengatakan penculikan para aktivis “berfungsi sebagai pengingat menyedihkan akan tantangan yang kita hadapi.”

Kelompok HAM menuduh Filipina melakukan impunitas terkait sejumlah penculikan, ancaman, penahanan, dan pembunuhan aktivis.

Global Witness, sebuah kelompok konservasi lingkungan yang berbasis di London, menempatkan Filipina sebagai tempat terburuk di Asia begi para pembela tanah dan lingkungan hidup, dengan 270 pembela HAM terbunuh antara tahun 2012 hingga 2021.

Lebih dari 40 persen (114) pembela HAM yang dibunuh adalah masyarakat adat yang berkampanye untuk melindungi tanah dan lingkungan hidup mereka – dengan hampir 80 persen serangan terhadap pembela adat terjadi di Pulau Mindanao.

Kelompok ini dalam penyelidikannya menemukan bahwa lebih dari 80 persen pembunuhan selama satu dekade terakhir di Filipina terkait dengan “protes para pembela HAM terhadap operasi perusahaan.”

“Sepertiga dari pembunuhan tersebut terkait dengan industri pertambangan, diikuti oleh sektor agribisnis,” kata kelompok tersebut.

“Impunitas tersebar luas,” kata kelompok tersebut, dengan tuduhan bahwa “pasukan negara berada di balik sebagian besar pembunuhan dalam beberapa kasus di mana identitas pelakunya didokumentasikan.”

Dalam sebuah laporan pada  Maret, pengawas HAM, CIVICUS, menilai keadaan ruang sipil di Filipina sebagai “tertindas.”

“Selama setahun terakhir, CIVICUS Monitor mendokumentasikan penandaan merah, penangkapan sewenang-wenang, dan penuntutan terhadap pembela dan aktivis HAM atas tuduhan palsu, sementara jurnalis menghadapi ancaman dan serangan,” katanya.

Praktik yang dikenal sebagai “penandaan merah” – yang memberi label pada individu sebagai simpatisan komunis – dapat mengakibatkan penangkapan, penahanan, atau bahkan kematian.

Kelompok ini dalam laporannya menyoroti berbagai insiden terkait penculikan ilegal, pengancaman, dan penahanan oleh aparat negara.

Pada Januari, pekerja pembangunan dan pembela hak-hak buruh Dyan Gumanao dan Armand Dayoha diculik dan dibebaskan setelah lima hari.

“Mereka diancam akan diserahkan ke unit lain dalam ‘satuan tugas’ untuk kemungkinan dieksekusi,” lapor CIVICUS.

Kelompok tersebut menyatakan bahwa tidak ada anggota polisi dan militer yang didakwa membunuh sembilan aktivis berbasis komunitas dalam penggerebekan terkoordinasi yang dikenal sebagai ‘Minggu Berdarah’ pada Maret 2021.

Pada  Januari, penyintas darurat militer dan penulis drama Bonifacio Ilagan, seorang kritikus setia keluarga Marcos termasuk Presiden Ferdinand Marcos Jr., menuduh bahwa ia telah menerima ancaman pembunuhan.

Ilagan mengklaim bahwa seorang pria tak dikenal yang memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari unit yang bertugas untuk “membasmi” komunis mengatakan bahwa dia dan unitnya hanya menunggu “perintah terakhir dari atasan,” lapor CIVICUS.

Sumber: Philippine church demands end to systematic abductions

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2023. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi