Keuskupan Agung Hanoi akan secara resmi membuka proses beatifikasi dan kanonisasi Uskup François Pallu, kelahiran Prancis, pada akhir bulan ini.
Uskup Pallu, salah satu pendiri Serikat Misi Asing Paris (MEP), meletakkan dasar bagi Gereja di Timur Jauh setelah memimpin vikariat Dang Ngoai ketika Paus Alexandre VII mendirikan dua vikariat pertama di Vietnam pada 9 September 1659.
Paus memilih Uskup Pallu setelah Pastor Alexandre de Rhode, SJ, yang bekerja di Vietnam selama bertahun-tahun, meminta Takhta Suci untuk mengirimkan uskup guna membangun Gereja lokal.
Dang Ngoai kemudian meliputi Vietnam utara, Laos dan lima provinsi di China – Yunnan, Guizhou, Huguang (sekarang Hunan dan Hubei), Guangxi, dan Sichuan.
Dikasteri Evangelisasi Bangsa-Bangsa Vatikan meminta Uskup Pallu untuk memberikan pelatihan para imam pribumi namun ia diperingatkan untuk tidak terlibat dalam isu-isu politik.
Menurut Uskup Agung Hanoi, Mgr. Joseph Vu Van Thien, Uskup Pallu, ditemani tujuh imam dan dua umat awam, menaiki kapal dari Prancis pada 2 Januari 1662, dan tiba di Ayutthaya di Siam (sekarang Thailand) dua tahun kemudian.
Namun, empat di antaranya meninggal dunia dalam perjalanan.
Namun, Uskup Pallu tidak cukup beruntung untuk menginjakkan kaki di vikariatnya karena adanya penganiayaan agama, meskipun ia sempat memimpin vikariat tersebut (1659-1680).
Dia memusatkan misinya di Ayutthaya dan melatih para calon imam dari China, Siam, dan Vietnam untuk memimpin Gereja-gereja lokal.
“Uskup François Pallu sangat khawatir dengan penugasan yang dipercayakan kepadanya oleh Takhta Suci. Dia mencoba berkali-kali untuk memasuki Dang Ngoai tetapi gagal,” kata Uskup Agung Thien dalam laporan yang diterbitkan di situs Konferensi Waligereja Vietnam.
Dalam satu upaya, Uskup Pallu menaiki kapal ke Vietnam tahun 1674, tetapi badai membuat kapal tersebut terdampat di Filipina, koloni Spanyol saat itu.
Pihak Spanyol menahan dan menuduhnya melakukan evangelisasi tanpa persetujuan mereka. Mereka membawanya kembali ke Eropa untuk diadili dan membebaskannya tahun berikutnya.
Uskup Joseph Do Manh Hung, sekretaris jenderal Konferensi Waligereja Vietnam, mengatakan Uskup Pallu dan Uskup Pierre Lambert de la Motte sebelumnya mengadakan konsili di Ayutthaya tahun 1664 dan membangun seminari di sana untuk pendidikan para imam.
Karena Uskup Pallu tidak bisa masuk Dang Ngoai, ia menyerahkan pengelolaan vikariatnya kepada Uskup Lambert dan menunjuk Pastor François Deydier sebagai vikjen.
Uskup Pallu, yang dilahirkan dalam keluarga bangsawan tahun 1626 di Tours, Prancis, melakukan dua perjalanan jauh antara Eropa dan Asia tahun 1665 dan tahun 1674 untuk meminta persetujuan paus atas kegiatan pastoralnya di Gereja lokal.
Pentahbisan uskupnya berlangsung pada 11 November 1658 di Roma. Pada 15 April 1680, Uskup Pallu diangkat menjadi vikaris kerasulan Fukien, di Provinsi Fujian, China. Dia tiba di sana pada 14 Januari 1684.
Meskipun kesehatannya memburuk, Uskup Pallu melakukan kunjungan pastoral kepada masyarakat setempat dan melakukan reorganisasi Gereja lokal. Dia meninggal pada 29 Oktober 1684, ketika dia berusia 58 tahun.
Uskup Pallu mengambil peran menghubungkan Takhta Suci dengan Vietnam. “Berkat itu, Gereja lokal tetap bersatu dan bersatu,” kata Uskup Hung.
Sebelum kedatangan mereka di Asia, Uskup Pallu dan Uskup Lambert mendirikan MEP tahun 1658 untuk menyebarkan agama Katolik dan melatih para imam pribumi di Kamboja, Siam, Vietnam, dan China.
Atas permintaan Takhta Suci, para anggotanya memulai pekerjaan misionaris mereka di India tahun 1776, di Korea dan Jepang tahun 1831, di China tahun 1838, di Malaya tahun 1841, di Tibet tahun 1846, di Burma tahun 1855, dan di Taiwan tahun 1952.
Melarikan diri ke Indonesia
Pada abad ke-20, misionaris MEP diusir dari Kamboja, China, Laos, dan Vietnam oleh komunis.
Namun banyak juga dari mereka yang dikirim bekerja di daerah baru di Madagaskar dan Indonesia.
Uskup Pallu dan Uskup Lambert mendirikan Seminari Malaikat Suci di Ayutthaya tahun 1665. Seminari pertama di wilayah tersebut menarik 33 orang seminari tinggi dan 50 orang di seminari menengah dari seluruh Asia tahun 1670.
Seminari ini kemudian dikenal dengan nama Perguruan Tinggi Umum karena mahasiswanya berasal dari berbagai asal dan juga merupakan perguruan tinggi kejuruan yang menawarkan kursus pelatihan keterampilan.
Karena invasi Burma ke Siam dari tahun 1760 hingga 1765 dan iklim politik yang tidak stabil, seminari tersebut dipindahkan ke Chanthaburi di tempat yang sekarang menjadi Thailand bagian timur, ke Hondat di Kamboja, dan kemudian ke Pondicherry di India.
Ditutup tahun 1782 karena lokasinya terlalu jauh dari China dan Indo-China, tempat asal sebagian besar seminarisnya.
Seminari ini didirikan kembali di Penang, Malaysia, tahun 1809 karena stabilitas politik dan lokasi geografis yang strategis.
Tahun 1970, MEP menyerahkan seminari tersebut kepada otoritas gerejawi setempat. Itu dipindahkan ke Mariophile di Tanjung Bungah tahun 1984 karena berkurangnya jumlah siswa.
Sejak didirikan lebih dari 360 tahun lalu, College General itu telah menghasilkan lebih dari 1.000 imam.
Seminari ini juga dikenal sebagai Sekolah Tinggi Para Martir dengan 47 siswa yang menjadi martir sejauh ini dan lima orang dinyatakan sebagai orang kudus dan satu orang beata.
Kini giliran pendirinya yang dibeatifikasi.
Sumber: A founder who may become a blessed