Oleh Felix Wilfred
Pada hari Minggu kedua setiap bulan Oktober, Gereja Katolik merayakan Hari Minggu Misi, memberikan kita kesempatan untuk merenungkan betapa pentingnya misi dan tanggung jawab yang terkandung di dalamnya.
Misi adalah berbagi tentang arti pemuridan Yesus dan membantu orang-orang mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukanlah misi tentang Yesus melainkan misi Yesus; ini lebih berkaitan dengan kematian seperti Kristus daripada untuk Kristus.
Ini adalah sebuah kesaksian atas apa yang diwartakan dan diperjuangkan Yesus, yaitu Kerajaan Allah. Para murid mengikuti jejak Yesus dalam kehidupan, pewartaan, dan kematiannya. Hal ini memang sederhana, namun memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi dunia dan masyarakat kita hari ini, serta bagi pribadi kita sendiri.
Pemahaman dan pendekatan misi ini mematahkan stereotip misi berdasarkan wilayah – seolah-olah beberapa negara adalah negara-negara misi dan yang lainnya adalah negara pengirim misi. Misi harus dilaksanakan di setiap sudut dunia dengan fokus dan penekanan yang berbeda, ditentukan oleh konteks lokal dan kondisi sosio-politik.
Misinya tidaklah jauh; misi ada di sini, di sekitar kita, di dalam komunitas dan lingkungan sekitar kita.
Kembali di tahun 1943, seorang imam Prancis, L’Abbé Henri Godin, mengejutkan dunia Kristen dengan buku kecilnya, France, pays de Mission? (Prancis, sebuah negara misi?). Saat ini, kita semakin memahami bahwa setiap negara adalah negara misi.
“Di beberapa negara Barat, bukan hal yang aneh jika seorang putri menjadwalkan janji untuk bertemu dengan ibunya untuk makan malam”
Misi itu mencakup manusia, masyarakat, alam, dan lingkungan. Vatikan II menyediakan sebuah dokumen, Ad Gentes, yang secara eksplisit membahas misi tersebut. Namun, dokumen misi Vatikan II yang benar adalah Gaudium et Spes, yang menyelidiki secara mendalam kehadiran dan keterlibatan Gereja di dunia modern. Dokumen ini menawarkan inspirasi untuk menghidupi ajaran Yesus dalam bidang politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang kita temui sehari-hari, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Evangelii Nuntiandi, karya Paus Paulus VI – sebuah dokumen misi – melampaui pendekatan evangelisasi sebelumnya dengan menghubungkannya secara erat dengan pesan sosial Injil dan ajaran sosial Gereja. Pada akhirnya, penginjilan harus menghasilkan transformasi dari dalam, meresap ke berbagai lapisan kehidupan manusia (EN 18).
Lingkungan kita saat ini, yang ditandai oleh kapitalisme, konsumerisme, hubungan pasar, persaingan, teknologi, dan perburuan kekuasaan, menguras sumber-sumber kemanusiaan dalam diri kita.
Hubungan menjadi otomatis atau dianggap remeh; menyerupai mesin yang kita ciptakan – tanpa hati, empati, cinta, rahmat, dan kasih sayang. Di sejumlah negara Barat, bukan hal yang aneh jika seorang anak perempuan menjadwalkan janji bertemu dengan ibunya untuk makan malam.
Misi ini mendorong umat Kristiani di mana pun untuk terlibat dalam percakapan penuh hormat dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, meningkatkan saling pengertian, persahabatan, persaudaraan, dan kerja sama.
Sejarah menceritakan kepada kita bagaimana para misionaris yang melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk memberitakan Kabar Baik bertemu dengan agama-agama dari bangsa dan ras yang berbeda. Hal ini diremehkan dan dipandang sebagai penyembahan berhala.
Pemahaman positif terhadap agama-agama lain saat ini telah membawa pada visi ulang dan pembaharuan misi dengan cara yang berbeda.
Agama-agama lain, yang mengakui kehadiran Allah dan karya Roh, tidak lagi menjadi musuh yang harus ditaklukkan melalui pemberitaan Injil, namun menjadi mitra dalam misi Allah.
Artinya, kita tidak bisa lagi memikirkan misi ini tanpa adanya dialog lintas agama dan kerja sama dengan penganut agama lain.
Dialog menawarkan kesempatan untuk saling belajar dari tradisi agama dan kitab suci yang berbeda. Terlebih lagi, rasa hormat terhadap agama-agama lain dan saling belajar hendaknya mampu mengantarkan kita untuk saling mengunjungi tempat suci satu sama lain.
“Kerapuhan hidup manusia, baik individu maupun kolektif, serta keterbatasan kekuatan manusia seharusnya memacu kita untuk membentuk dunia dan masyarakat yang berbeda”
Paus Johanes Paulus II memberikan contoh dan berkontribusi pada pemahaman baru tentang dialog sebagai bagian dari misi ketika ia berdoa bersama dengan para penganut agama lain di Assisi pada 27 Oktober 1986. Sejak saat itu, pertemuan serupa terus terjadi.
Paus Fransiskus mempraktikkan pemahaman baru tentang misi yang ia uraikan dalam Evangelii Gaudium-nya. Ia tak segan-segan, misalnya, mengunjungi vihara Buddha di Sri Lanka, pada 13 Januari 2015, dan sebelumnya Masjid Biru di Istanbul (2014) dan Masjid Asl-Aqsa di Yerusalem (2014).
Bayangkan betapa indahnya dan menjanjikan jika lebih banyak umat Kristiani di seluruh dunia dengan hormat mengunjungi tempat-tempat ibadah suci di tetangga mereka – kuil, vihara, masjid, sinagoga, pagoda, dan gurudwara.
Hal ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap kerukunan umat beragama, perdamaian, dan saling pengertian.
Di dunia masa kini, umat Kristiani menghadapi banyak tantangan yang memerlukan upaya bersama dengan penganut agama lain. Keyakinan ini didasarkan pada gagasan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul dan nasib yang sama, sesuatu yang kita alami selama pandemi COVID-19.
Kerapuhan hidup manusia, baik individu maupun kolektif, serta keterbatasan sumber daya manusia hendaknya memacu kita untuk membentuk dunia dan masyarakat berbeda yang semakin mencerminkan Kerajaan Allah, semangat Injil, dan kehidupan Yesus.
Inti dari iman Kristen terletak pada misi untuk menyebarkan pesan cinta, kasih sayang, dan keadilan, yang diilhami oleh ajaran Yesus Kristus.
Saat ini, misi Kristen secara intrinsik terkait dengan upaya mencapai keadilan dan kesetaraan, yang mencerminkan pemahaman yang terus berkembang tentang peran iman dalam mengatasi permasalahan sosial kontemporer. Yesus memandang misi ilahi-Nya adalah mewartakan Kabar Baik kepada orang miskin (Lukas 4:18). Ia juga memperjelas bahwa individu dan keselamatan mereka pada akhirnya dinilai berdasarkan perlakuan mereka terhadap orang miskin dan terpinggirkan (Mat 25:31-46).
Sepanjang sejarah, semangat misionaris mendorong umat Kristiani untuk mendirikan gereja-gereja, sekolah-sekolah, rumah sakit, dan organisasi amal di seluruh dunia. Gereja memandang tindakan amal dan kesejahteraan sebagai persiapan untuk misi Injil.
Namun, keterikatan historis agama Kristen dengan kolonialisme dan imperialisme menyebabkan eksploitasi dan penindasan terhadap masyarakat adat. Para misionaris sering kali dipandang sebagai instrumen asimilasi budaya, yang menggunakan kekuasaan atas kelompok rentan. Ketidakadilan historis ini sangat mempengaruhi misi Kristen kontemporer dan upaya mencapai keadilan dan kesetaraan.
Ini adalah bagian pertama dari artikel dua bagian. Baca bagian kedua di sini
* Pastor Felix Wilfred adalah seorang teolog Katolik yang tinggal di Chennai, India. Ia pernah menjadi anggota Komisi Teologi Internasional Vatikan dan profesor tamu di beberapa universitas internasional. Mantan sekretaris komite penasihat teologi Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC), imam berusia 75 tahun ini juga menjabat presiden Dewan Tinjauan Teologi Internasional yang diterbitkan dalam tujuh edisi bahasa Eropa.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi UCA News.
Sumber: Re-envisioning the Christian mission