Oleh Felix Wilfred
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan paradigma dalam misi Kristen. Banyak denominasi dan organisasi Kristen kini menyadari bahwa misi mereka seharusnya tidak hanya mewartakan Injil tetapi juga mengatasi masalah-masalah sosial yang mendesak, termasuk kemiskinan, kesenjangan, kasta, rasisme, dan degradasi lingkungan.
Transformasi yang diperlukan berakar pada pemahaman yang lebih mendalam akan panggilan Kristiani untuk mencari keadilan dan memajukan kesetaraan.
Korban ketidakadilan dan penindasan, mereka yang didiskriminasi – perempuan, anak-anak, kaum Dalit, masyarakat adat dan suku, pekerja migran, pembantu rumah tangga, pengungsi, transgender, dan lainnya terus meningkat. Tangisan, status sebagai korban, dan ketidakberdayaan mereka harus menggugah kesadaran umat Kristiani yang perlu mendengarkan para korban dan menanggapi mereka.
Bukankah ini merupakan misi penting umat Kristen saat ini?
Perintah misi terbesar saat ini adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39). Seperti orang yang terluka dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho, sesama yang perlu kita rawat adalah mereka yang paling miskin, mereka yang menderita diskriminasi kasta dan ras, serta tidak berdaya. Ini adalah misi yang harus dilaksanakan di kaki salib, pohon kehidupan, dalam solidaritas dengan para korban dan mereka yang menderita.
Saat ini kita perlu memandang keadilan sosial, advokasi kesetaraan, pengelolaan lingkungan hidup, rekonsiliasi dan penyembuhan, pendidikan dan pemberdayaan sebagai dimensi yang tidak dapat dicabut dari misi Kristen. Di sisi lain, kita juga perlu mengakui bahwa terdapat perbedaan penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan keadilan dan kesetaraan.
“Mesin produksi tanpa henti dan upaya mencapai prestasi
serta kesuksesan terus berlanjut”
Perdebatan, terutama di negara-negara Barat, mengenai isu-isu seperti pernikahan sesama jenis dan hak-hak reproduksi telah menyebabkan perpecahan di kalangan umat Kristiani, yang menyoroti kompleksitas dalam menyelaraskan keyakinan dengan norma-norma masyarakat.
Di sisi lain, kita juga harus menghadapi situasi di mana konsumerisme dan pemujaan terhadap uang dan kenyamanan telah menumpulkan kesadaran banyak orang Kristen. Berada dalam zona nyamannya, mereka tetap diam dan acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
Ada korelasi antara mengasingkan Tuhan dari kehidupan seseorang dan sikap apatis terhadap penderitaan orang lain. Orang yang egois dan masyarakat yang mandiri berpikir bahwa mereka tidak membutuhkan Tuhan atau sesama, seperti orang kaya yang bodoh dalam Injil (Luk 12:13-21).
Di kerajaan perbudakan Firaun, tidak ada istirahat, tidak ada hari Sabat. Mesin produksi yang tak henti-hentinya serta upaya mengejar pencapaian dan kesuksesan terus berlanjut. Kecemasan melekat di dunia modern kita – kecemasan sistemik – terkait dengan ketakutan, akar kekerasan. Pada akhirnya, jalan ini menuju kehancuran.
Salah satu bagian dari misi ini adalah memperkenalkan momen jeda di tengah hiruk pikuk pencapaian dan persaingan, sehingga membawa kehidupan kembali ke esensinya. Ini berarti memelihara kualitas hidup dengan mentransformasikan hubungan, mempraktikkan cinta dan kasih sayang, serta kepedulian terhadap alam.
Hari Sabat dapat berfungsi sebagai metafora misi, yang menandakan pemulihan keutuhan kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif, di dunia yang semakin terfragmentasi. Menjalankan misi dalam pengertian ini dapat menjadi sumber sukacita dan kedamaian sejati yang tidak dapat dihilangkan (Yohanes 16:22).
Terlebih lagi, di dunia yang semakin tidak setara, dengan semakin banyaknya orang yang menderita kemiskinan dan penindasan, maka sangat penting untuk menyelidiki penyebab struktural dari kesenjangan ini. Oleh karena itu, upaya mencapai keadilan mempunyai peran sentral dalam pemahaman dan praktik misi.
Sinode Roma tentang Keadilan di Dunia dengan tepat menyatakan, “Tindakan atas nama keadilan dan partisipasi dalam transformasi dunia tampak bagi kita sebagai dimensi konstitutif dari pemberitaan Injil.”
Komunitas Kristen, pada gilirannya, mempunyai posisi
yang baik untuk meningkatkan kesadaran
mengenai isu-isu lingkungan
Persimpangan antara misi Kristen dan paham lingkungan hidup merupakan keprihatinan yang mendesak.
Dewan Gereja Dunia, melalui program keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan, dan Paus Fransiskus, melalui ensikliknya Laudato Si’ telah menyadarkan umat Kristiani dan hati nurani dunia betapa pentingnya isu lingkungan hidup bagi keselamatan umat manusia dan kesejahteraan seluruh ciptaan Tuhan.
Kitab Suci Kristen mempercayakan manusia dengan misi merawat ciptaan Tuhan. Tanggung jawab ini mencakup upaya mengurangi polusi, melestarikan sumber daya, melindungi keanekaragaman hayati, memitigasi perubahan iklim, dan menjaga penghidupan masyarakat miskin.
Environmentalisme juga telah menjadi agenda bersama bagi semua agama di dunia yang ditantang untuk meresponsnya dengan sumber daya iman.
Komunitas-komunitas Kristen, pada gilirannya, mempunyai posisi yang baik untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu-isu lingkungan. Melalui homili, program pendidikan, dan keterlibatan masyarakat, mereka dapat meningkatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai mandat alkitabiah untuk penatalayanan dan pentingnya mengatasi tantangan lingkungan hidup.
Selain itu, umat Kristiani dapat terlibat dalam upaya advokasi untuk mempengaruhi kebijakan yang mendorong kelestarian lingkungan di tingkat lokal, nasional, dan global – semuanya sebagai bagian dari keterlibatan misi mereka.
Kesimpulannya, merenungkan misi berarti bermimpi dan berharap akan dunia dan masyarakat yang berbeda. “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” (Mazmur 127:1).
Kita tidak terlibat dalam proyek manusia yang hanya dapat diselesaikan melalui upaya manusia. Sebaliknya, kita mengandalkan kekuatan Roh untuk memimpin komunitas umat beriman dalam mengkatalisasi lahirnya dunia dan masyarakat baru.
Kita harus mendorong model misi yang memberdayakan para pemimpin dan komunitas lokal untuk mengambil kepemilikan atas iman mereka dan memikul tanggung jawab atas kemajuan kehidupan – baik manusia maupun alam – yang dianugerahkan Yesus secara melimpah (Yohanes 10:10).
Ini adalah bagian kedua dari artikel dua bagian. Baca bagian pertama di sini
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi UCA News.
Sumber: A paradigm shift in Christian mission