Sintesis setebal 41 halaman yang muncul dari sidang sinode yang ditutup belum lama ini menandai sebuah awal yang menjanjikan dan menggembirakan dalam perjalanan panjang sinodalitas.
Dokumen yang terstruktur dengan baik dan masuk akal secara teologis ini mengumpulkan hasil-hasil doa, pertukaran informasi, dan diskusi yang sehat selama beberapa pekan. Hal ini menonjol karena usulannya yang berani, menawarkan proses dan ketentuan hukum yang dapat menjadi landasan bagi reformasi struktural yang luas dalam Gereja. Ini adalah sebuah dokumen harapan.
Namun, tidak semua bagian dokumen itu menunjukkan kualitas yang sama. Meskipun bagian yang berfokus pada sinodalitas melalui kacamata persekutuan mempunyai fokus yang baik, bagian yang membahas misi tampaknya kurang jelas. Banyak pernyataan mengenai misi membuat orang bertanya-tanya tentang hubungan langsungnya dengan sinodalitas, dan membaca lebih seperti satu halaman dari ajaran sosial Gereja.
Refleksi tentang sinodalitas dalam kaitannya dengan misi Gereja hendaknya mengeksplorasi apakah dan sejauh mana semangat sinodalitas hadir dalam berbagai lembaga pendidikan, amal, dan lembaga lain yang dikelola oleh Gereja.
Pendekatan otoriter dan otokratis dalam misi dan institusi-institusi Gereja tidak dapat dibarengi dengan pendekatan sinode dalam kehidupan internal dan pemerintahan Gereja. Kedua aspek tersebut perlu diselaraskan.
Selama persiapan global untuk sinode tersebut, muncul kekhawatiran bahwa perspektif Eropa-Amerika mungkin mendominasi sidang sinode itu, sehingga mengesampingkan suara-suara dunia Selatan.
“Tampaknya ada ketakutan dan keragu-raguan untuk menganalisa apa yang membuat Gereja menderita”
Diskusi-diskusi paling vokal di Barat tampaknya berpusat pada agenda liberal terkait moralitas seksual. Namun demikian, dokumen tersebut menunjukkan bahwa sidang sinode memberikan perhatian pada pengalaman Gereja-gereja di Dunia Selatan dalam menangani isu-isu dan prioritas-prioritas mendesak lainnya, dan menolak untuk terpaku pada satu arah saja.
Dari sudut pandang lain, salah satu kelemahan serius dalam dokumen ini adalah tidak adanya diagnosis yang tepat mengenai fungsi Gereja sehari-hari dan pemerintahannya. Analisis ini seharusnya dimasukkan sejak awal atau setidaknya di dalam tubuh teks itu.
Umat Katolik sangat menyadari adanya permasalahan struktural serius bahwa mereka berharap dapat diatasi oleh sinode tersebut. Jika luka-luka ingin disembuhkan, menurut kebijaksanaan umum, luka-luka itu perlu dirobek. Tampaknya ada ketakutan dan keragu-raguan untuk menganalisis apa yang membuat Gereja tidak berdaya, meskipun ada seruan untuk membentuk sinode Gereja sebagai solusinya.
Gereja perlu rendah hati untuk mengakui kerentanannya sendiri jika Gereja secara serius ingin menapaki jalan sinodalitas.
Lebih jauh lagi, sintesis ini diharapkan dapat memberikan penilaian terhadap struktur sinode yang ada, seperti dewan pastoral, dewan paroki, dan komite keuangan, serta langkah-langkah perbaikan apa yang diperlukan untuk memajukan sebuah Gereja sinode. Meskipun topik-topik ini mungkin telah dibahas selama pertemuan, topik-topik tersebut tidak ditampilkan dalam sintesis.
Menerapkan mekanisme akuntabilitas dan audit di dalam Gereja dapat menanggapi banyak permasalahan tata kelola yang mengganggu Gereja. Audit internal secara inheren berkontribusi untuk menjadikan Gereja lebih sinodal dan pewartaannya lebih kredibel.
Oleh karena itu, sungguh membesarkan hati membaca pernyataan seperti ini dalam dokumen tersebut: “Kami meminta Gereja-gereja lokal untuk mengidentifikasi proses dan struktur yang memungkinkan dilakukannya audit rutin terhadap bagaimana para imam dan diakon melaksanakan tanggung jawab mereka dalam melaksanakan pelayanan mereka.”
Bukankah seharusnya para uskup juga tunduk pada pemeriksaan yang dilakukan oleh umat Allah dan memberikan contoh yang baik mengenai pelayan yang setia dalam Gereja? Hal ini secara khusus penting pada saat semakin banyak uskup yang menjadi sorotan publik karena skandal yang berkaitan dengan urusan mereka dengan properti Gereja dan masalah lainnya.
“Masa-masa ketika para uskup menikmati kekuasaan absolut dan tidak terkendali akan segera berakhir”
Salah satu usulan paling berani dan paling berdampak dalam sintesis ini adalah seruan untuk meminta pertanggungjawaban para uskup dan menilai kinerja mereka. “Penting untuk menerapkan struktur dan proses yang ditetapkan secara hukum untuk meninjau kinerja para uskup secara berkala.”
Akuntabilitas ini menjadi lebih penting karena, sebagaimana ditekankan dalam dokumen tersebut, “sosok uskup hanya dapat dipahami dengan benar dalam jaringan hubungan yang dijalin dari umat Allah yang dipercayakan kepadanya.”
Pernyataan-pernyataan seperti ini membangkitkan harapan bagi jalannya sinodalitas di masa depan. Kami mengantisipasi langkah-langkah yang lebih konkrit dan pasti pada sesi sidang berikutnya. Masa-masa ketika para uskup menikmati kekuasaan absolut dan tidak terkendali akan segera berakhir berkat sinodalitas.
Mudah-mudahan, komisi yang diusulkan oleh majelis sinode, yang terdiri dari para teolog dan kanonis, akan memberikan rekomendasi untuk amandemen kanonik yang tepat dan merumuskan ketentuan-ketentuan baru yang mengikat.
Sungguh menggembirakan untuk dicatat bahwa dokumen sintesis sinode menyerukan perubahan yang telah lama ditunggu-tunggu dalam pemilihan para uskup. Perubahan ini sangat penting agar Gereja-gereja lokal dapat berfungsi secara sinode. Pada akhirnya, Gereja Latin juga perlu mengadopsi struktur sinode yang mampu mengidentifikasi calon uskup yang cocok, dan juga beberapa pertimbangan lainnya.
Namun ada peringatan. Berfungsinya struktur sinode di Gereja-gereja Oriental perlu dikaji. Kontroversi liturgi baru-baru ini di Gereja Siro-Malabar di India menuntut adanya perubahan dalam hal ini. Partisipasi umat beriman yang lebih besar perlu dimasukkan ke dalam fungsi sinode, khususnya dalam pemilihan para uskup, liturgi, dan isu-isu lainnya.
Saya percaya bahwa penilaian kinerja para imam dan para uskup yang disebutkan dalam dokumen sinode juga perlu diperluas ke badan-badan lain di dalam Gereja, seperti konferensi para uskup (waligereja). Penilaian ini harus mencakup Kuria Romawi dan Nunsio (Duta Besar Vatikan). Namun, Kuria pada dasarnya melayani paus dalam pelayanan universalnya dan Gereja-gereja lokal.
Mereka yang menerima pelayanan Kuria dan nunsio bukanlah penerima pasif melainkan agen aktif yang dapat dan harus mengungkapkan pendapatnya mengenai kualitas pelayanan dan menyoroti keterbatasan dan kekurangan mereka.
Dokumen tersebut memang menyebutkan bahwa “penting bagi Dikasteri-dikasteri Roma… untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap keragaman situasi dan lebih memperhatikan suara-suara Gereja-gereja lokal.”
Kita dapat berasumsi bahwa Paus Fransiskus akan menyambut baik masukan dari Gereja-gereja lokal mengenai organ administratif Kuria Romawi dan para nunsio dalam melaksanakan tugas mereka melayani Gereja-gereja lokal.
*Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi UCA News.
Sumber: Synods first bold steps towards structural change