Suster Stella Tan memulai proyek “Keranjang Makanan” setelah dia bertemu dengan orang-orang miskin dan kelaparan selama kunjungannya ke desa-desa di pedalaman Bau di Negara Bagian Sarawak, Malaysia, sekitar satu dekade lalu.
Dari tahun 2012-2019, biarawati tersebut, yang merupakan seorang perawat medis lansia, tinggal di Biara Santa Rita di Bau dan sering melakukan kunjungan pastoral ke desa-desa terpencil untuk melayani orang-orang yang sakit dan terbaring di tempat tidur.
“Dari kunjungan ini, saya bisa melihat kondisi kehidupan mereka dan perjuangan sehari-hari yang dihadapi keluarga-keluarga tersebut. Saat itulah saya mencetuskan proyek ‘Keranjang Makanan’,” kata Suster Tan.
Suster Tan meluncurkan proyek “keranjang makanan” dan menggunakan truk untuk mengirimkan makanan kepada penduduk desa yang membutuhkan.
“Saya percaya bahwa selama tujuh tahun, saya telah mengunjungi sembilan desa dan menjangkau sekitar 100 orang,” kata biarawati berusia 74 tahun itu.
Perawat veteran itu mengatakan tugas awalnya terbatas pada kunjungan bulanan kepada orang-orang yang sakit, terbaring di tempat tidur, dan tidak bisa keluar dari rumah serta memberikan Hosti Kudus kepada mereka.
Dihormati atas pelayanannya
Suster Tan ingat bahwa proyek pangannya dimulai dari truknya dengan sejumlah makanan dan persediaan penting lainnya yang dibagikan kepada masyarakat miskin dan yang membutuhkan.
Dia dan rekan kerjanya biasa menyiapkan keranjang makanan sendiri dan mengirimkannya ke keluarga yang membutuhkan selama kunjungan bulanan mereka.
Berita menyebar tentang upaya tersebut dan para donor datang dan menyumbangkan dana sehingga menjamin kelangsungan proyek itu bahkan setelah Suster Tan meninggalkan Bau tahun 2019.
“Hal ini memberi saya kegembiraan dan kepuasan setiap kali saya dapat memenuhi kebutuhan orang sakit, lansia, dan orang-orang yang tinggal di rumah – secara fisik, psikologis, dan spiritual,” kata Suster Tan.
Pada Mei tahun ini, Suster Tan bersama 13 orang lainnya dianugerahi penghargaan the Nurses with Global Impact 2023 pada perayaan Hari Perawat Internasional.
Nurses with Global Impact adalah organisasi nirlaba yang bertujuan menghubungkan, mendukung, dan merayakan pekerjaan perawat di seluruh dunia.
Kelompok ini memperingati Hari Perawat Internasional tahunan, yang memberikan penghargaan kepada perawat dari seluruh dunia yang memberikan dampak pada kehidupan dengan perawatan berkualitas dan nyaman sekaligus menjadi teladan bagi generasi perawat masa depan.
Komite Katolik Internasional untuk Perawat dan Asisten Mediko-Sosial (CICIAMS) menominasikan Suster Tan untuk penghargaan tersebut berdasarkan pengabdiannya.
“Tahun 2023 merupakan tahun yang luar biasa bagi saya, terutama setelah tahun-tahun traumatis MCO (Movement Control Order) pada puncak pandemi Covid-19,” kata Suster Tan.
“Sebagai seorang perawat dan biarawati, saya merasa diberkati karena dapat merefleksikan dan merenungkan 50 tahun pelayanan saya, atas jalan yang telah saya pilih,” tambah Suster Tan.
Panggilan untuk melayani
Suster Tan lahir tahun 1949 di Kuala Belait, Brunei. Dia memiliki tiga saudara laki-laki dan empat saudara perempuan.
Suster Tan memutuskan menjadi biarawati setelah menyelesaikan O-Level di Malaysia setelah terinspirasi oleh karya para biarawati yang dilihatnya di sekitarnya.
“Saya tersentuh dengan pengorbanan para biarawati, [dan] moto sekolah ‘Amare et Servire’ (Mencintai dan Melayani),” kata Suster Tan.
Tahun 1970, Suster Tan bergabung dengan Tarekat Suster Santo Fransiskus Santa Maria Imakulata Serawak (SSFS) di Kuching, ibu kota Negara Bagian Sarawak yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Dua tahun kemudian, dia mendaftar di Sekolah Keperawatan di Rumah Sakit Umum Sarawak (SGH).
Suster Tan menyelesaikan wisudanya tahun 1975 dan ditugaskan sebagai Perawat Umum di Misi Santo Joseph di Kanowit, di mana dia tinggal selama tiga bulan.
Dia kemudian kembali ke Kuching untuk memimpin klinik keliling di desa-desa di pinggiran ibu kota negara bagian yang dapat diakses melalui jalan darat, yang menurutnya merupakan tugas yang sulit pada saat itu.
“Saat itu di Sarawak, sangat sulit untuk melakukan perjalanan darat – jumlah kendaraan tidak sebanyak saat ini… Namun kami terus berusaha,” kenangnya.
“Dalam program kunjungan tersebut, kami bertugas memberikan layanan kesehatan ibu dan anak kepada masyarakat desa, termasuk imunisasi. Untuk beberapa pasien, kami membantu rujukan ke rumah sakit utama,” kata Suster Tan.
Dari tahun 1977-1978, Suster Tan mengikuti kursus kebidanan di Rumah Sakit Withington di South Manchester, Inggris. Dia kembali bertugas di Sarawak dari tahun 1979-1981.
Melayani daerah terpencil
Perjalanan ke wilayah hulu sungai yang terpencil memang menakutkan, namun Suster Tan ingat bahwa dia menjalankan misi tersebut sambil berdoa kepada Tuhan.
“Apakah saya takut pergi ke ‘ulu’ (daerah terpencil di hulu sungai)? Sama sekali tidak! Saya tahu bahwa Tuhan akan melindungi saya dari bahaya apa pun baik itu arus deras, binatang liar, atau bahkan orang jahat,” kata Suster Tan.
“Pengalaman di Baram semakin membuka mata saya, menyadarkan saya akan tanggung jawab saya sebagai petugas kesehatan,” tambahnya.
Suster Tan ingat bahwa pekerjaannya di Long San pada usia dua puluhan sangatlah sulit.
“Ya, memang sulit, dan terkadang tidak berdaya, karena kurangnya fasilitas. Ada pasokan listrik yang ditenagai oleh pembangkit listrik tenaga air, yang beroperasi dari jam 7 malam hingga 10 malam,” katanya.
Suster Tan juga mengenang hilangnya nyawa dalam kasus darurat dimana pasien harus dikirim ke RS Marudi karena ia tidak memiliki fasilitas untuk menangani situasi tersebut.
“Itu sungguh menantang. Saat itu, layanan siaran radio hanya beroperasi pada jam kantor biasa, dan hampir tidak mungkin untuk memanggil [helikopter] Medevac,” katanya.
Ia menceritakan, seorang ibu hamil dan bayinya yang dikandungnya meninggal setelah mengalami cobaan berat selama 24 jam saat menunggu transportasi. Dia masih berduka atas kejadian tersebut sebagai sebuah “tragedi.”
Suster Tan telah menjalankan berbagai peran dalam mengawasi warga lansia dan memenuhi kebutuhan mereka serta melibatkan dirinya dalam advokasi HIV/AIDS.
Bertahan dari pandemi
Suster Tan mengatakan lockdown akibat Covid-19 tahun 2020 telah menyebabkan kesulitan besar bagi masyarakat di wilayah tersebut.
“Banyak orang kehilangan pekerjaan, dan para petani tidak bisa bertani. Keluarga dengan anak-anak dan orang lansia merasa kesulitan menyediakan makanan,” katanya.
“Ini juga merupakan masa yang sangat menyusahkan bagi kami – sangat menantang bagi kami untuk keluar mengantarkan keranjang makanan mengingat [pembatasan] yang ketat,” katanya.
“Meskipun sekarang saya tidak lagi berada di Bau, sosialisasi pangan kami masih terus berlanjut,” tambah Suster Tan.
Sumber: Catholic nuns food bank legacy continues for poor Malaysians