Joanna Sustento-Bacsa telah berdamai dengan Haiyan, topan terdahsyat dalam sejarah yang menyebabkan lebih dari 8.000 orang tewas di Filipina tahun 2013.
Sepuluh tahun setelah kehilangan sebagian besar anggota keluarganya, Susteno-Bacsa, 32, mengatakan ada “begitu banyak perkembangan” yang terjadi pada dirinya saat ini sebagai korban Haiyan yang masih hidup (penyitas) dan sekarang menjadi ibu dari seorang putra.
“[Putra saya] adalah orang yang sangat simbolis dalam keluarga kami. Kedatangannya ke dalam hidup kami 10 tahun kemudian mengungkapkan banyak hal tentang seberapa besar cinta bertumbuh dalam diri saya, dan seberapa besar cinta itu bertumbuh dalam keluarga kami,” katanya.
“Banyak yang telah berubah, namun kami masih melakukan upaya untuk keadilan iklim,” tambah Sustento-Bacsa yang memiliki hubungan aktif dengan kelompok advokasi Climate Warriors.
Topan Haiyan menghantam lebih dari 14 juta orang di 44 provinsi di Filipina satu dekade lalu pada 8 November dan banyak tempat disapu oleh gelombang setinggi lima meter, merusak properti senilai 95,48 miliar peso (sekitar 1,73 miliar dolar AS).
Tacloban, ibu kota Provinsi Leyte, menanggung beban terberat akibat badai tersebut dan disebut sebagai titik nol Topan Haiyan.
Wilayah Visayas merupakan wilayah dengan jumlah kematian terbanyak dengan sekitar 5.000 orang.
Ketahanan para penyintas
Tahun 2017, Sustento-Bacsa menjadi salah satu penyintas Haiyan di Tacloban, dengan bergabung dalam ekspedisi organisasi lingkungan Greenpeace di wilayah Arktik untuk memprotes pengeboran minyak, dan menyalahkan hal tersebut sebagai penyebab perubahan iklim.
Pascal Canning, seorang pekerja bantuan, masih hidup dengan kenangan pedih tersebut. Warga negara Irlandia ini mengatakan: “Haiyan setelah 10 tahun membawa kembali kenangan, sebagian besar menyedihkan.”
Canning, yang memimpin proyek perumahan bagi para penyintas Haiyan di Leyte, mengatakan sepupunya Declan dan saudara laki-lakinya, Gary, datang dari Irlandia untuk membantu setelah bencana alam itu melanda.
“Sedihnya, Declan telah meninggal dunia. Berbeda dengan bau [mayat]. Bau yang tidak akan pernah bisa saya lupakan.”
Alren Beronio, seorang fotografer muda dari Samar Timur di Visayas Timur, menyumbangkan keahliannya ke kantor media keuskupan Katolik.
“Itu adalah masa ketika kita menyaksikan betapa dalamnya penderitaan manusia dan tingginya rasa belas kasih manusia,” kenang Beronio, yang kini bekerja di sebuah media.
Beronio mengatakan dia menemukan “perbuatan baik orang-orang yang tak terhitung jumlahnya.”
Uskup Crispin Varquez, uskup Keuskupan Borongan di Samar Timur mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “rasa sakit dan kesedihan masih membekas di hati mereka yang selamat saat mereka terus membangun kembali kehidupan mereka.”
Di Palo, sebuah kota di Leyte, salah satu daerah yang terkena dampak paling parah, Uskup Agung Palo Mgr. John Du memimpin perayaan Pesta Bunda Maria Pengharapan Palo pada 8 November yang patungnya ditempatkan di altar terbuka pada saat kunjungan Paus Fransiskus ke Tacloban pada 17 Januari 2015.
“Peringatan 10 tahun Topan Haiyan dahsyat di Visayas Timur adalah waktu untuk merayakan ketangguhan para penyintas,” kata Nacional Mercado, Wali Kota Maasin City di Leyte.
Dalam pidato peringatannya, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengatakan bencana tersebut membawa kehancuran yang tak terbayangkan bagi Visayas dan Filipina.
“Ini menjadi pengingat yang menyedihkan akan kekuatan alam dan kerentanan kita terhadap bencana tersebut,” katanya.
Presiden itu mendesak masyarakat Filipina “untuk belajar dari pengalaman ini.”
‘Bayar utang iklim’
Pada 7 November, sebuah kelompok ramah lingkungan bernama Climate Walkers tiba di Tacloban setelah melakukan perjalanan selama 30 hari dari Manila ke titik nol Haiyan untuk mencari keadilan iklim yang terkait dengan masalah sosial, ras, dan lingkungan.
“Perjalanan kami tidak berakhir di sini. Karena tujuan kita sebenarnya ada di hati dan pikiran masyarakat,” menurut Climate Walkers.
Kapten Hettie Geenen dari kelompok advokasi Rainbow Warriors mengatakan tur kedua mereka ke Tacloban “meninggalkan banyak kenangan yang mengesankan, terutama cerita yang kami dengar [dengan] hanya mendengarkan orang-orang.”
Meskipun masalah planet ini “membutuhkan solusi global, tindakan harus dimulai dari masyarakat.”
Di dunia yang memaksa kita “untuk melupakan dan mengabaikan, berbagi cerita menjadi tindakan heroik,” tambah aktivis iklim, Jerx Aliposa.
Menurut Greenpeace, masyarakat di Filipina yang paling tidak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim dan kelompok lain yang paling terkena dampak degradasi lingkungan.
Mengutip laporan tahun 2023, kelompok advokasi tersebut menemukan bahwa perusahaan bahan bakar fosil terbesar di dunia berhutang total 70 miliar peso sebagai kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak.
Dalam pernyataan terpisah, Greenpeace meminta perusahaan minyak besar untuk “membayar utang iklim mereka.”
Sumber: Haiyans Filipino survivors pick-up the pieces 10 years on