UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Perjalanan Butet Manurung Memperjuangkan Hak Orang Rimba

Juli 17, 2019

Perjalanan Butet Manurung Memperjuangkan Hak Orang Rimba

Saur Marlina Manurung, direktur Sokola Rimba, mengajar anak-anak suku di hutan. (Foto: Saur Marlina Manurung)

Selama 20 tahun Saur Marlina Manurung, 47, telah bekerja untuk membantu warga Suku Anak Dalam atau Suku Kubu di Jambi, Sumatra, yang termarjinal dan ketidakadilan.

Perjalanan berjam-jam menuju hutan dan beresiko diserang malaria dan binatang buas seperti ular, beruang, atau harimau, tidak mengurungkan niatnya. 

Manurung, yang dikenal sebagai Butet termasuk orang-orang suku Kubu fokus pada pendidikan dan membantu mereka memperjuangkan hak-hak mereka.

Itu tidak mudah bagi Butet tinggal bersama orang suku Kubu atau orang Rimba di tengah hutan tanpa rumah permanen, listrik, televisi, atau radio. Tak satu pun dari mereka saat itu membaca dan menulis.

Orang Rimba memiliki sekitar 3.500 orang, tinggal di Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang mencakup 60.000 hektare, yang menyebar di tiga kabupaten.

Butet, seorang wanita Kristen berasal dari Suku Batak di Sumatra Utara, namun ia lahir dan dibesarkan di Jakarta. 

Pertama ia berkenalan dengan orang Rimba ketika bekerja sebagai relawan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, sebuah LSM konservasi hutan yang mengkampanyekan perlindungan hutan termasuk hutan orang Rimba agar bisa dilindungi. 

“Saya melihat mereka tidak memiliki pendidikan. Sementara kehidupan mereka terancam oleh ekspansi terhadap hutan mereka dengan mencaplok hutan dan tanah mereka demi kepentingan bisnis,” katanya kepada ucanews.com.

Ibu dari dua anak itu mengatakan ia mendidik mereka dan mengajar mereka bagaimana mempertahankan hutan mereka.

Ia mulai mengunjungi dan membantu mereka tahun 1999 dan tahun 2003 ia bersama teman-temannya mendirikan Sokola Rimba. Sokola itu mengajarkan anak-anak pendidikan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. 

“Sokola itu juga mengajarkan orang dewasa tentang life skills, khususnya bagaimana menghadapi orang luar yang mengambil hutan dan lahan mereka,” katanya.

Sokola Rimba mengajarkan bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka dan menentang pabrik-pabrik dan perusahaan kepala sawit yang mencaplok lahan mereka, katanya.

“Saya melihat ada ketidakadilan dan saya selalu berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lain  untuk membantu mereka,” kata Butet, yang menikah dengan seorang pria Australia.

Kini jika ada perusahaan kelapa sawit yang mencoba memperluas perkebunan mereka maka mereka akan melawan, katanya.

“Mereka sudah bisa mempertahankan lahan mereka sekarang dan menghafal pasal-pasal dalam undang-undang,” katanya.

Selain itu, Sokola Rimba juga memperluas bantuannya ke sejumlah daerah di Indonesia khususnya orang-orang suku seperti di Flores, Papua, Halmahera, Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Saur Marlina Manurung membantu suku Kubu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. (Foto: Konradus Epa/ucanews.com)

Mengenai Suku Kubu

Menurut sebuah tradisi, orangRimba berasal dari Pagaruyung yang mengungsi ke  Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi karena memiliki kesamaan bahasa dan budaya dengan suku Minangkabau di Sumatra Barat.

Butet mengatakan orang suku Kubu sangat rentan terhadap penyakit menular seperti hepatitis, TB, dan malaria karena akses yang buruk terhadap kesehatan dan tidak vaksin, sehingga usia mereka hanya mencapai 55 tahun.

Mereka hidup secara nomaden dan setiap keluarga tinggal di rumah-rumah kecil yang terbuat dari kayu tanpa dinding sehingga udara bisa masuk. Di malam hari mereka hanya menggunakan pelita atau lampu damar. 

Mereka berburu  dan makan ubi-ubian dari hutan sebagai makanan pokok mereka. Mereka mengandalkan ramuan tumbuh-tumbuhan untuk mengobati bila mereka sakit mengalami luka.

Kini sejumlah mereka sudah menanam karet dan dijual sehingga mereka bisa membeli sepeda motor, senjata untuk berburu, alat-alat makan dan juga makanan, tambahnya.

Mayoritas orang Rimba adalah penganut animisme, namun sebagaian dari mereka ada yang sudah menganut agama Islam dan Kristen. 

Mereka percaya dewa-dewa seperti dewa mata air, dewa tumbuh-tumbuhan hutan, dan bahkan dewa penyakit, dan di atas dewa-dewa itu adalah Tuhan, katanya. 

Saur Marlina Manurung bermain dengan anak-anak suku Kudu. (Foto: Saur Marlina Manurung)

Tantangan

Butet mengatakan orang Rimba melihat orang luar sebagai penjahat karena mencuri hutan mereka.

“Ketika pertama kali saya mengunjungi mereka, dan saya mengeluarkan pencil untuk menulis sesuatu mereka lari karena mereka menganggap pencil itu bermata jahat yang membawa penyakit. Mereka juga berpikir saya ingin menipu mereka,” kenangnya.

Ketidaksukaan mereka terhadap orang luar semakin kuat karena perambahan hutan mereka semakin besar dan kebencian muncul dengan orang-orang yang mencoba membuat mereka meninggalkan cara hidup mereka, katanya.

Ada orang luar yang mencoba membuat mereka menjadi Islam atau Kristen, sementara berbagai program bantuan termasuk dari pemerintah untuk mengubah mereka menjadi orang kota. 

“Masyarakat harus menghormati dan menerima mereka, karena cara hidup mereka sudah menjadi turun temurun,” katanya.

Siapa pun yang ingin membantu mereka harus mengikuti budaya mereka dan melihat sesuatu dari sudut pandang mereka. “Jangan menyalahkan mereka berdasarkan perspektif kita,” kata Butet.

Bagi orang luar,  kehidupan yang sehat dan bahagia itu kalau ia memiliki pakian, rumah, mobil, hp atau uang.

“Tapi bagi orang Rimba tidak relevan,” katanya. “Mereka tidak pernah mengalami kelaparan, tidak pernah membuka dompet, tidak egois. Mereka hidup secara komunal dan bila seseorang mendapat hasil buruan akan saling berbagi.”

“Kita juga harus belajar dari mereka karena orang-orang sekarang hidup serba instan dan semakin konsumtif.” 

Atas perjuangannya terhadap orang-oang suku, Butet telah menerima penghargaan termasuk TIME magazine’s Heroes of Asia tahun 2004, Young Global Leader from the World Economic Forum tahun 2009 dan Ramon Magsaysay Award tahun 2014.

Pangedum Tampung, 28, seorang suku Kubu yang berkerja dengan Butet, memuji Butet karena ia membantu suku kami bisa membaca, menulis, dan menghitung. 

“Sekarang sekitar 70 persen generasi muda bisa membaca, menulis dan menghitung,” kata Tampung.

Awalnya, orang Rimba menolak dia tapi sekarang mereka sangat mendukung dan mengikuti nasehatnya.

Tampung mengatakan meskipun ia tidak belajar di universitas, ia bisa menjadi seorang advokat yang baik untuk membantu orang-orang di sukunya. 

“Saya belajar banyak darinya dan bagaimana memperjuangkan untuk melawan ketidakadilan  dan berdebat dengan para anggota legislatif setempat dan juga bupati,” katanya. 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi