UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Uskup Filipina Minta Polisi Selidiki Pembunuhan 14 Petani

April 1, 2019

Uskup Filipina Minta Polisi Selidiki Pembunuhan 14 Petani

Saat menggelar aksi di luar istana kepresidenan di Manila pada Oktober lalu, sejumlah aktivis di Filipina mendramatisasi desakan mereka untuk mengakhiri serangan dan pembunuhan terjadap petani. (Foto: Karl Romano)

Uskup San Carlos Mgr Gerardo Alminaza meminta polisi untuk menyelidiki pembunuhan terhadap 14 petani – seorang diantaranya pelayan gereja – yang dilakukan saat pelaksanaan operasi polisi selama tiga kali di Propinsi Negros Oriental, Filipina bagian tengah, pada 30 Maret.

Mgr Alminaza mengatakan para korban tinggal di stasi-stasi termasuk seorang tokoh awam di Kota Canlaon. Di kota ini, delapan orang dibunuh.

“Administrator paroki … bisa menjamin karakter moral (para korban),” kata prelatus itu, seraya menambahkan bahwa ia menerima informasi yang menyebutkan bahwa polisi bahkan tidak mengeluarkan surat penahanan.

“Kami minta penyelidikan terhadap kasus ini dilakukan secepatnya dan kami mohon kepada otoritas agar memulihkan perdamaian dan ketertiban,” katanya.

“Apa yang sedang terjadi? Apakah kita masih memberlakukan undang-undang dan peraturan?” tanyanya.

Para korban dibunuh selama apa yang digambarkan otoritas sebagai “kampanye anti-kriminalitas” di Propinsi Negros Oriental, khususnya di Kota Canlaon, Kota Manjuyod dan Kota Santa Catalina.

Raul Tacaca, direktur polisi di propinsi itu, mengatakan para korban adalah pejuang komunis urban yang memiliki keterkaitan dengan rencana pembantaian yang gagal dilakukan terhadap aparat penegak hukum.

Ia mengatakan para korban dibunuh setelah menembaki polisi.

Namun sejumlah saksi, sebagian besar kerabat para korban termasuk anak-anak, mengatakan kepada kelompok hak asasi manusia (HAM) Karapatan bahwa para korban dieksekusi.

Para korban antara lain Edgardo Avelino (59), ketua organisasi petani di Kota Canlaon, dan adiknya – Ismael (53), seorang petani; Melchor Panares (67), seorang petani, dan anaknya – Mario; Rogelio Ricomuno (52) dan anaknya Ricky Ricomuno (28); Gonzalo Rosales (47); dan Genes Palmares (54).

“Usia dan kondisi kematian mereka memperlihatkan bahwa pemerintah berbohong telah membunuh gerilyawan komunis,” kata Neri Colmenares, seorang pengacara.

Ia mengatakan hampir semua orang meninggal karena keluarga mereka menyaksikannya. “Resistensi apa yang dibicarakan (polisi)?” tanyanya.

Dua dari para korban yang dibunuh di Kota Manjuyod terpilih sebagai kepala desa.

Sejumlah saksi mengatakan polisi menutup wajah dan nama mereka. Mereka juga mengenakan kaca mata berwarna gelap meskipun tengah malam.

Sedikitnya 15 petani lainnya termasuk dua perempuan ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.

Polisi memerintahkan warga untuk keluar dari rumah mereka saat para korban ditembak mati, demikian menurut sejumlah saksi.

Istri Ismael, Leonora Avelino (46), mengatakan ia sedang berada di dalam rumah bersama suami dan empat anaknya yang masih remaja ketika polisi masuk ke dalam rumah pada pukul 2:30 waktu setempat.

Leonora dan anak-anaknya diminta menundukkan kepala sebelum mereka diperintahkan keluar dari rumah.

Mereka ditahan dengan todongan senjata dan harus menunggu hingga pukul 07:00 waktu setempat untuk melihat polisi menyeret jasad Ismael ke dalam ambulans.

Tetangganya, isteri Edgardo – Carmela, bangun untuk melihat anak lelakinya diseret keluar dari rumah oleh polisi. Ia dan anak perempuannya juga diperintahkan untuk keluar dari rumah.

Komisi HAM mengatakan mereka akan melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan itu.

Sedikitnya 180 petani, 40 di antaranya berasal dari Pulau Negros, dibunuh sejak 2016 ketika Presiden Rodrigo Duterte mulai berkuasa.

Pada Oktober 2018, sembilan petani tebu di Sagay, Propinsi Negros Occidental, tengah makan malam ketika mereka dibunuh oleh sekitar enam orang bersenjata. 

Serangan terhadap berbagai organisasi yang dianggap kritis terhadap pemerintah merupakan bagian dari kampanye pemerintahan Presiden Duterte untuk melawan terduga pemberontak komunis, demikian menurut sejumlah kelompok HAM.

Pada Desember, Presiden Duterte mengeluarkan perintah eksekutif pembentukan sebuah gugus tugas nasional untuk mengakhiri pemberontakan komunis yang sudah berlangsung selama 50 tahun.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi