Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan untuk tidak merevisi Undang-Undang (UU) Penistaan Agama meskipun berbagai elemen masyarakat seperti LSM dan beberapa individu yang cukup berpengaruh mengajukan permohonan uji materi.
“Jika undang-undang ini dibatalkan, maka akan muncul tindakan anarkis di masyarakat,” kata ketua MK Mohammad Mahfud.
Puluhan orang dari berbagai kelompok Islam turut menghadiri sidang 19 April lalu, yang merupakan sidang ke duabelas sejak permohonan judicial review diajukan bulan Oktober tahun lalu.
Menurut Mahfud, UU tersebut tidak membatasi kebebasan beragama, seperti yang selama ini disampaikan oleh para pemohon. Sebaliknya UU tersebut bertujuan mencegah tindakan kekerasan terhadap keenam agama yang diakui di Indonesia.
Keenam agama resmi yang dimaksud adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Dalam undang–undang penistaan agama yang disahkan pada masa Presiden Soekarno itu disebutkan, barang siapa menghina salah satu dari agama resmi tersebut akan dipenjara.
Namun satu dari delapan hakim dalam sidang itu tidak setuju dengan keputusan tersebut. “Saya setuju dengan permohonan uji materi atas UU tersebut, “ kata Maria Farida Indrati, seorang hakim Katolik.
Sementara Khairul Aman, pengacara dari pemohon, menyampaikan kepada wartawan seusai rapat bahwa argumen dari pengadilan sangat lemah.
“Kami menyesalkan bahwa diskriminasi yang dihadapi penganut agama tertentu tidak mendapat perhatian,” katanya.
Dengan menolak uji materi, tambahnya, “pengadilan menutup mata terhadap diskriminasi tersebut.”
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa negara seharusnya tidak boleh mencampuri urusan agama. “Tugasnya adalah memfasilitasi.”
Dia mengatakan bahwa dia akan terus memantau penerapan UU tersebut. Jika terjadi konflik maka kami akan menyampaikan keluhan ke pengadilan, katanya.