UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pesan damai dan toleransi dari utara Celebes

Desember 14, 2016

Pesan damai dan toleransi dari utara Celebes

Mgr Joseph Suwatan MSC bersama para tokoh lintas agama doa bersama pada acara Festival Keberagaman di Sulut. (Foto: Manadopost.com)

 

Ada pemandangan berbeda di mana ratusan masyarakat dari berbagai komunitas, organisasi kemasyarakatan lintas agama dan budaya, menyatu dalam Festival Keragaman. Suara perdamaian digaungkan lewat lagu, tari, orasi dan menifesto bersama.

Kekayaan Sulawesi Utara (Sulut) tersebut tersaji di gedung rakyat provinsi itu, belum lama ini. Lantunan musik Islami, hadra, kasidah dari Yayasan Al-Hikam Cinta Indonesia, pagelaran musik tradisional bleganjur Perhimpunan Pemuda Hindu (PERADAH) Sulut, Barongsai dan wushu dari Komunitas Budaya Tionghoa Sulut dan Generasi Muda Konghucu (Gemaku) Sulut, tarian provetik dari para pemuda Gereja,  tarian kawasaran dari komunitas budaya Waraney Wuaya, Aliran Kepercayaan Manguni Esa Keter serta Lalang Rondor.

Seperti dilansir Mediasulut.co, orasi dari budayawan Denni Pinontoan, ulama Habib Muhsin Bilfaqih dan Pendeta Marhaeni Mawuntu, pembacaan ‘Komitmen dan Pesan Perdamaian Agama-agama dan Budaya dari Utara Celebes’ serta doa bersama Uskup Manado Mgr Josef Suwatan MSC, Habib Muhsin Bilfaqih, Pendeta Richard Siwu, IWB Wedha Manuaba (Hindu), Js Sofyan Yosadi (Konghucu) dan Bhikkuni Meici Bibiana Runtuwene (Buddha), mempertegas keberagaman dan pesan damai.

Spontanitas masyarakat lintas agama

Acara penuh apresiasi ini tercipta secara spontanitas, namun dibangun dari dialog-dialog. Hal itu diungkapkan Penangungjawab Kegiatan, Sofyan Yosadi.

Tokoh agama Konghucu Indonesia ini menegaskan, acara tersebut menjadi bukti bahwa mereka bisa beragam dan bisa bersatu.

“Ini tercipta dalam dialog-dialog dari gereja, mesjid, klenteng. Ini baru langkah awal. Ke depan akan ada lagi dialog-dialog untuk merawat kebersamaan,” ujarnya.

“Ke depan masih banyak agenda dan kita akan berdialog terus. Kita berkomitmen mau merawat keberagaman, persatuan dan kita memberi pesan, Sulut bisa begini kenapa di daerah lain tidak bisa. Jadi kalau orang lain dengan kekerasan, kami dengan pesan-pesan damai. Kita juga berdoa untuk korban Aceh dan korban-korban yang lain,” tandasnya.

Apresiasi para tokoh agama Sulut

Uskup Suwatan mengatakan, “Satu kata untuk menggambarkan kegiatan ini, luar biasa. Mau mengungkapkan kebersamaan, kebhinnekaan dan saya rasa bagus ini. Ini suara dari rakyat, dari masyarakat, dari ormas-ormas dan kita lihat juga semua boleh bilang orang-orang sederhana,” katanya.

Pesan damai diungkapkan dengan bagus dalam acara ini.

“Semua unsur, unsur agama dan unsur budaya, diungkapkan dalam lagu, dalam tarian, dalam ungkapan-ungkapan dan saya rasa ini bagus untuk dikemukakan,” ujarnya.

Dari persepketif teologis, Festival Keragaman diakui merupakan sebuah refleksi teologi paraktis.

“Teologi adalah refleksi tentang Firman Tuhan, refleksi tentang persaudaraan, tentang kehidupan dalam kebersamaan. Teologi menyangkut kehidupan sebagai masyarakat dari suatu negara. Ini jadi sebuah refleksi teologi yang praktis bagi situasi masyarakat sekarang. Ini spontan dan bukan gagasan yang muncul dari belakang meja studi tapi sesuatu yang muncul dari situasi yang ada di masyarakat,” jelas Uskup Suwatan.

Kampanye anti-kekerasan

Arak-arakan ‘warna-warni’ yang melahirkan Festival Keragaman awalnya digulirkan sejumlah komunitas. Belakangan, gerakan ini semakin masif dan melibatkan berbagai komunitas dan ormas lain yang sehati dan sepikir, kata PERUATI Pdt Ruth Wangkai.

Agar jelas, pada awalnya komunitas dan lembaga tersebut sempat mendiskusikan tujuan kegiatan ini untuk apa.

“Pada awalnya respons terhadap situasi bangsa yang carut-marut dengan berbagai demonstrasi, gerakan-gerakan radikal begitu menonjol, mencabik-cabik kebhinnekaan. Lalu muncul ide, ketika kita kumpul dan membahas bersama, jangan cuma sekedar bicara kebhinekaan NKRI atau kebangsaan tapi lebih kepada kemanusiaan universal,” paparnya.

Dijelaskan, dalam Festival Keragaman, gerakan melawan kekerasan pun ikut digaungkan. “Lalu kita ingat, kalau kita di lingkungan LSM yang fokus pada isu feminis dan gender, itu memang dari 25 November-10 Desember masih satu rangkaian kampanye anti-kekerasan nasional terhadap perempuan,” paparnya.

Pada 10 Desember bertepatan dengan hari akhir kampanye anti-kekerasan sekaligus hari HAM sedunia.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi