Bangun pagi naik bus sudah menjadi kebiasaan bagi Geovania Garret Mouzinho Freitas. Dia harus meninggalkan rumah di Dili pada pukul 6 pagi setiap hari untuk mengikuti pelajaran di Colegio de Santo Inasio de Loiola (CSIL) di Kasait, sebuah daerah pedesaan 15 kilometer sebelah barat Dili.
Petenis berusia 16 tahun itu tidak berkeberatan selama dia bisa terus belajar di sekolah Yesuit.
Freitas termasuk 85 siswa SMP angkatan pertama yang mendaftar di CSIL yang baru dibangun tahun 2013. Sejak awal, dia memiliki keraguan tentang sekolah baru itu, tapi ibunya, yang mengenal Yesuit, meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Ini sebuah keajaiban. Sekarang ada begitu banyak gedung, dengan fasilitas dan guru berkualitas yang memungkinkan kita belajar lebih efektif,” katanya.
Freitas, yang ingin menjadi politisi, tidak menyesal belajar di CSIL lima tahun lalu, karena apa yang dia inginkan di sebuah sekolah – kelas besar, bangunan besar, laboratorium, kantin, perpustakaan, aula besar, dan banyak lagi – tersedia di tempat ini.
CSIL sekarang memiliki 693 siswa dari kelas 7-12, didukung oleh 36 guru berkualitas. Setiap kelas memiliki 30 siswa, dibandingkan dengan sekolah lain di Timor-Leste yang memiliki lebih dari 50 siswa per kelas.
“Saya beruntung bisa belajar di sini,” kata Freitas.
Demikian pula, Nelson Alves da Costa, murid kelas 12 dari distrik Liquica tidak keberatan berada di asrama bersama belasan anak laki-laki lain, selama ia mendukung studinya di SMA St. Maria Fatima di Railaco, yang juga dipimpin oleh para Yesuit dengan bantuan Paroki St. Kanisius, Sydney, Australia.
Sekolah tersebut telah mengembangkan kemampuan Da Costa dalam bermain musik dan sepak bola, dan dia ingin menamatkan pendidikan SMA tahun ini dengan nilai bagus.
“Sekolahnya bagus dan saya hanya membayar $ 5 per bulan,” kata Da Costa. “Saya harus lulus ujian akhir tahun ini agar saya bisa masuk universitas,” katanya.
Natalia Ximenes, 15, bersyukur bisa menjadi siswa kelas 10 di SMA St. Maria Fatima. Dia tinggal di asrama Putri dengan mengikuti peraturan yang ketat.
“Saya tidak keberatan bangun jam 5 pagi, mengikuti rutinitas sebelum sekolah jam 8.30 pagi. Saya yakin semua peraturan ini akan membuat saya menjadi orang baik,” katanya.
Masalah penting
Juvinal da Costa, seorang guru matematika dan wakil kepala sekolah bidang tata tertib di CSIL, mengatakan bahwa salah satu nilai penting yang dimiliki semua sekolah Yesuit adalah disiplin, yang sering diabadikan sekolah lain di negara ini.
Saat siswa melanggar peraturan, mereka akan dihukum dengan tugas seperti membersihkan jendela, halaman, toilet, memotong rumput, menyiram bunga, menyediakan pupuk organik. Siswa yang tertangkap curang juga akan dihukum, dan diusir jika tertangkap tiga kali.
“Langkah-langkah ini terbukti efektif dalam menanamkan disiplin di kalangan siswa, namun banyak sekolah di Timor-Leste cenderung mengabaikannya,” katanya.
Menurut Da Costa, walaupun pendidikan di Timor-Leste terus berkembang selama beberapa tahun terakhir ini, masih ada masalah penting untuk ditangani seperti rendahnya kualitas guru dan fasilitas belajar yang tidak memadai.
“Banyak guru yang tidak kompeten,” katanya.
“Misalnya, lulusan teknik mesin menjadi guru karena tidak ada kesempatan kerja lain bagi mereka. Ini bencana karena mereka tidak dilatih untuk pekerjaan sebagai seorang guru,” kata Da Costa.
Tidak banyak sekolah yang menerapkan praktik pengajaran yang baik di Timor-Leste seperti yang dilakukan oleh CSIL. Untuk mengajar di sekolah, guru harus lulus tes tertulis dan mengajar. Demikian pula, siswa juga harus lulus tes tertulis dan lisan sebelum mereka diterima sebagai siswa.
Da Costa mengatakan bahwa ada jalan panjang memperbaiki sistem pendidikan di negara tersebut karena banyak sekolah, khususnya di daerah pedesaan, tidak memiliki fasilitas yang memadai, seperti laboratorium atau perpustakaan.
“Juga, tidak ada komunikasi yang nyata antara orangtua dan sekolah. Jadi, ketika terjadi konflik, tidak ada ruang berdialog. Terkadang, para guru dipukuli oleh orangtua atau kerabat siswa,” katanya.
Jose Monteiro, koordinator nasional Koalisi untuk Pendidikan Timor-Leste (TLCE), mengatakan kualitas guru rendah dan fasilitas yang tidak memadai menjadi masalah utama sejak kemerdekaan negara tersebut.
Tahun 2000 ada upaya untuk mengisi kesenjangan – setelah banyak guru melarikan diri kembali ke Indonesia – dengan menggunakan guru sukarela. Tapi, banyak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan dan masih mengajar.
Menurut TLCE, ada lebih dari 14.200 guru di 1.523 sekolah dasar negeri dan swasta, namun banyak di antaranya bukan tamatan pendidikan guru.
Dia mengatakan bahwa pemerintah telah mulai memperbaiki kualitas guru dengan memberi mereka pelatihan. “Sekarang lebih banyak guru setidaknya berijazah diploma dalam mengajar,” katanya.
Namun, upaya pemerintah memperbaiki pendidikan di Timor-Leste masih terbatas karena kekurangan biaya. Tahun 2016, pemerintah mengalokasikan dana sebesar US $ 120 juta dan $ 130 juta tahun 2017 untuk pendidikan, namun sebagian besar uang tersebut digunakan untuk gaji dan administrasi.
“Tidak mungkin membangun bangunan baru, sehingga banyak sekolah memiliki lebih dari 50 siswa di kelas. Selain itu, banyak sekolah tidak memiliki fasilitas seperti kursi, perpustakaan, laboratorium, air bersih, atau toilet,” katanya.
“Jadi, sulit untuk menjamin kualitas pendidikan,” kata Monteiro, menambahkan kebanyakan guru juga berjuang mengerti bahasa Portugis yang merupakan bahasa resmi di sekolah.
Akademi guru Yesuit
Untuk mengatasi masalah kualitas guru yang buruk, Yesuit di Timor-Leste membentuk Instituto Sao Joao de Brito (ISJB) – yang dinamai menurut nama seorang santo Yesuit Portugis yang martir di India abad ke-17 – melatih orang Timor Leste yang ingin mengajar.
Dimulai awal tahun 2016 hingga sekarang memiliki total 99 siswa yang diajarkan oleh 16 dosen termasuk tiga imam Yesuit.
“Program empat tahun ini bertujuan mempersiapkan mereka menjadi guru sekolah menengah profesional,” kata Pastor Sidelizio Ornai Pereira SJ, rektor ISJB.
Saat ini penekanannya pada bahasa Inggris, Portugis dan Agama Katolik. Namun, tahun 2019, Psikologi dan Sosiologi Pendidikan akan ditambahkan.
“Ini penting dan relevan untuk pendidikan di Timor-Leste,” katanya.
Tahun pertama, semua belajar pengenalan matematika, bahasa Inggris, bahasa Portugis, keterampilan mengajar dan pedagogi Ignasian – metode pengajaran yang diambil dari Latihan Rohani Ignatius Loyola. Mereka mulai mengkhususkan diri di tahun kedua.
“Pelatihan juga akan mencakup bagaimana mempersiapkan program pengajaran, silabus, manajemen kelas, dan administrasi,” katanya.
Di institut tersebut, baik siswa maupun dosen diharuskan menguasai bahasa Portugis dan Inggris.
Kursus ini dikenakan biaya kepada setiap siswa $ 400 per tahun, namun beasiswa diberikan bagi mereka yang tidak mampu membayar uang sekolah.
Adozinha dos Santos Soares, dari distrik Ermera, mengatakan dia memilih belajar di De Brito karena praktik pengajaran yang berkualitas dan baik.
“Saya belajar bahasa Portugis karena saya ingin mengajar bahasa Portugis di sekolah menengah atas,” kata Soares, 19, seraya menambahkan bahasa Portugis menjadi bahasa resmi Timor-Leste, bersama dengan Tetun, dan semua orang Timor Leste harus mempelajarinya.