UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Uang atau kesehatan: Penambang belerang hadapi pilihan sulit

Juni 18, 2012

Uang atau kesehatan: Penambang belerang hadapi pilihan sulit

 

Bagi ratusan keluarga di Bayuwangi, Jawa Timur, kehidupan dihadapi dua pilihan yang sama-sama tidak menarik: risiko kesehatan akibat gas belerang mematikan, atau mereka tidak mendapatkan sumber nafkah.

Supandi, 54, dari Kabupaten Banyuwangi, telah memilih menjadi penambang belerang sebagai pekerjaan pokoknya.

Dia mulai keluar bekerja pada pukul 3:30 pagi, dengan berjalan kaki sekitar delapan kilometer ke Gunung Ijen.

Tugasnya disana adalah memikul keranjang belerang dengan naik-turun gunung tersebut. Keranjang dengan berat 60 kilogram dan dia harus membawa dua keranjang sekaligus, dari kawah menuju gudang sejauh 3 kilometer.

“Ini adalah bagaimana cara kami hidup,” kata ayah dua anak itu, yang telah bekerja di sana selama 25 tahun. “Kami mendaki gunung terjal kemudian turun ke kawah, yang penuh dengan kabut tebal, dan asap belerang beracun.

“Ini bukan tempat yang baik untuk bekerja, tapi kami tidak mempunyai pilihan lain.”

Gunung Ijen adalah sebuah gunung api penghasil belerang terbesar di Indonesia. Pertama gunung itu meletus ratusan tahun lalu dan mampu menghasilkan sampai 14 ton belerang setiap hari.

Karena medan yang sulit, tidak ada alat di lokasi untuk menambang, pekerjaan ini dilakukan secara manual dengan melibatkan sekitar 400 buruh kasar.

Dengan bau yang menyengat, mereka harus bersaing dengan suhu yang bisa mencapai 200 derajat Celcius. Mereka juga bekerja tanpa pakaian pelindung atau masker.

Perusahaan pertambangan, PT Candi Ngrimbi membayar para pekerja sekitar 7 sen untuk setiap kilo belerang untuk biaya transportasi mereka, sehingga mereka mendapatkan sekitar 50.000 rupiah per hari. “Ini jumlah yang sangat kecil jika Anda bandingkan dengan tenaga dan waktu,” kata Supandi.

“Tambang belerang bukan pekerjaan mudah dan tidak ada jaminan keselamatan,” kata Supandi. “Banyak orang menderita masalah pernapasan dan iritasi kulit. Ini memang dilema, berjudi antara hidup dan mati untuk mendapatkan uang.”

Meskipun ia mampu membawa lebih banyak, ia memastikan untuk mengambil perlahan-lahan. “Satu orang teman kami mengalami kelumpuhan lengan kanannya selama lebih dari tiga tahun,” katanya. “Saya tidak ingin hal itu terjadi pada diri saya, karena saya tidak memiliki asuransi kesehatan.”

Saleh, seorang pekerja muda, mengatakan, “Saya bersyukur karena saya bisa mendapat uang pada akhir hari itu.”

Pada Desember lalu, Saleh dan rekan-rekannya merasa takut kehilangan pekerjaan, ketika otoritas dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana meminta warga untuk menghindari 1,5 km dari gunung berapi.

“Saya bingung bagaimana cara saya akan mendukung istri dan dua anak saya sementara petugas melarang kami ke tempat itu,” kata Supandi.

Namun, larangan tersebut telah dicabut pada Mei, tetapi mereka tidak menjamin keselamatan, bila suatu saat hal itu bisa terjadi lagi.

Tambang belerang tradisional telah dilakukan terun temurun bagi keluarga Supandi. Kakeknya menitipkan pekerjaan ke ayahnya, kemudian ayahnya menitip pekerjaan itu kepada dia.

“Saya berharap anak saya tidak mengikuti jejak saya dan mencari pekerjaan lain, yang lebih baik,” katanya. “Tapi, saya tidak bisa bahkan mengirim anak saya ke sekolah. Jadi bagaimana mimpi ini menjadi kenyataan?”

Sumber: Money or health: sulfur miners face tough survival choices

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi