UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Memilih dengan hati nurani

Juni 20, 2014

Memilih dengan hati nurani

Gregorius Afioma

 

Pilihan politik itu adalah persoalan hati nurani, bukan kepentingan.  Pilihan politik atas dasar hati nurani akan menenun cita-cita bersama. Sebaliknya pilihan politik atas dasar kepentingan akan berakhir dengan kehancuran.

Kenyataan itu sudah diamini oleh umat Kristen di Timur Tengah dan rakyat Mesir pada umumnya selama gejolak revolusi kekuasaan di Arab, Suriah, dan Mesir sebagaimana yang diberitakan dalam Majalah Time Edisi 21 April 2014 yang berjudul “Unholy Choices”.

Saya melihat pengalaman mereka sebagai pelajaran penting bagi kita menjelang pemilu presiden mendatang.

Kaum Kristen di Timur Tengah merupakan kelompok minoritas. Dalam banyak hal, mereka mendapat perlakuan yang tidak adil. Kesempatan kerja amat terbatas, keleluasaan menjalankan ibadat diwarnai intimidasi, dan kebebasan politik dalam ruang publik pun ditandai dengan praktik-praktik diskriminatif.

Tak heran, satu-satunya cara bagi kelompok minoritas untuk keluar dari situasi ini adalah melakukan transaksi kepentingan dengan pihak yang berkuasa. Membayar pajak yang tinggi kepada kelompok penguasa  asalkan kepentingan mereka dijamin. Strategi politik seperti ini menjadi lumrah bagi kaum Kristen di Timur Tengah.

Bersanding dengan penguasa seperti Saddam Hussein di Irak, Hosni Mubarak di Mesir, dan Bashar Assad di Suriah membuat hidup mereka aman. Sebaliknya orang-orang kuat itu pun memperhatikan mereka demi kepentingan tertentu. Mubarak, misalnya melindungi kelompok minoritas ini demi mendapat legitimasi dari negara-negara Barat.

Akan tetapi, pecahnya perang dan revolusi di Timur Tengah mengubah dinamika politik secara drastis. Suasana politik menjadi brutal dan kejam. Umat Kristiani menjadi sasaran utama dari kelompok mayoritas Islam. Mereka dibunuh. Gereja dibakar dan diporak-porandakan. Menjalankan ibadat menjadi tidak leluasa. Semua itu dilihat sebagai ungkapan kemarahan dari mereka yang ditindas selama ini. Bertahun-tahun lamanya hak-hak mereka diabaikan sebagai mayoritas, sementara kelompok minoritas mendapat privilese dari kompromi politik.

Di Suriah perlakuan kejam terhadap kelompok minoritas itu juga diperparah karena pimpinan kelompok Kristen menghimbau umatnya untuk tidak terlibat dalam usaha penggulingan rezim Assad oleh kelompok Sunni sebagai kelompok mayoritas. Akibatnya, ketika posisi Assad yang berasal dari kelompok Muslim minoritas itu mulai goyah, umat Kristen turut menjadi sasaran utama.

Keadaan politik demikian memaksa mereka untuk meninggalkan Timur Tengah. Selama masa perang, banyak yang berpindah.  Jumlah umat Kristiani merosot tajam. Dulunya umat Kristen berjumlah 20 persen dari seluruh warga di Timur Tengah. Sekarang umat Kristiani hanya tersisa 5 persen. Tentu angka itu bisa menjadi lebih kecil lagi jika keadaan tidak berangsur membaik.

Banyak yang menyayangkan kekejaman dan mengutuk tindakan tidak berperikemanusiaan itu. Bukankah agama mengajarkan kebaikan, bukan untuk saling membunuh? Apakah  tindakan kekejaman itu merepsentasikan sikap beragama?

Pernyataan Bassel, seorang Yesuit di Suriah membuka mata umat Kristiani di Timur Tengah dan semua kaum beragama pada umumnya. Ia yang salah satu mengabaikan perintah pimpinan Gereja dengan mendukung kelompok Sunni untuk menjatuhkan rezim Assad justru menghimbau umat Kristen mengoreksi setiap pilihan politiknya.

“Jika orang-orang Kristiani sudah mendukung revolusi sejak pertama, berdiri seperti Yesus dalam solidaritas dengan semua yang ditindas oleh rezim, saya tidak bayangkan kami dalam situasi ini sekarang,” ucapnya.

Pernyataan ini kemudian dibenarkan dan ditegaskan oleh banyak orang. Dukungan politik atas dasar kepentingan bertahan hanya beberapa saat saja.

Theresa Moussa, seorang kolumnis mengatakan,  dukungan terhadap orang kuat pun tetap membuat umat Kristiani lemah. Menurutnya, umat Kristiani harusnya berhenti mencari dukungan dan mengemis kebaikan dari rezim berkuasa. Sedangkan Sammir seorang Kristiani dari Suriah mengatakan, seharusnya kelompok Kristiani selalu mendukung kaum tertindas, memperjuangkan hak-hak orang Suriah dan membela orang-orang miskin.

Peristiwa itu  telah membuahkan pelajaran penting bagi umat Kristen di Timur Tengah.  Berpolitik seharusnya menuntut mereka untuk berpikir tentang kepentingan bersama di atas segala-galanya daripada kepentingan kelompok.

Tidak hanya di kalangan minoritas Kristen, refleksi yang serupa terjadi di kalangan umat Muslim di Mesir menyusul tumbangnya presiden terpilih secara demokrasi, Mohamed  Morsi, seorang mantan pimpinan tertinggi kelompok Persaudaraan Muslim.

Banyak orang yang bertanya atas peristiwa itu: Kenapa Morsi bisa ditumbangkan? Bukankah dia seharusnya mendapat banyak dukungan dari negara yang mayoritas Islam itu? Jawabannya sederhana. Walaupun dari pihak yang sesungguhnya berpotensi didukung kelompok mayoritas, sekali kepentingan bersama diabaikan, kekuasaan itu tidak akan bertahan lama.

Melihat kenyataan ini saya semakin paham bahwa kepentingan bersama dan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan sebagai warga negara merupakan faktor penting dalam pertimbangan politik kita. Oleh karena itu, kepentingan bersama sebagai warga negara itu harus diutamakan dan diprioritaskan. Bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Itulah dorongan dasar pertimbangan hati nurani.

Pernyataan  Anis Baswedan dalam situsnya anisbaswedan.com telah menegaskan betapa pentingnya berpikir tentang kepentingan dan hak-hak sebagai warga negara daripada berpikir tentang kepentingan mayoritas dan minoritas.

“Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!” tulisnya.

Nah, akhir-akhir ini kita melihat betapa gelanggang politik di negeri ini justru menjadi pusat pertarungan kepentingan masing-masing pribadi dan kelompok. Akibat berbicara kepentingan masing-masing dapat kita saksikan bahwa orang beragama pun kelihatan  seperti binatang ber-Tuhan daripada makluk berakhlak. Orang yang berpendidikan mengidap kesesatan berpikir dan malah semakin agresif.

Padahal politik yang berbasis hati nurani memperlihatkan suatu sikap solidaritas  terhadap kepentingan bersama. Orientasi sikap politis berpihak kepada hak-hak orang yang tertindas, kaum miskin, dan kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terabaikan hak-hak dasarnya.

Jaminan kesucian politik berhati nurani tersebut hanya tercapai jika kita mendahulukan kejujuran dalam mempresentasikan rekam jejak kandidat yang ada. Informasi tidak banyak dipelintir. Rekam jejak tidak dipoles-poles. Karena  politik berhati nurani mensyaratkan  informasi yang akurat sedemikian sehingga suatu pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan yang cakap dimungkinkan.

Kita semua diharapkan tidak coba mempropagandakan kebenaran palsu atas dasar kepentingan. Tidak menyepelehkan isu-isu yang melukai sesama sebagai warga negara atau mengabaikan hak sesama warga untuk memperoleh berita yang benar ketika kita adalah juragan informasi.

Mempermainkan politik – yang pada dasarnya membawa kemasalatan – untuk kepentingan pribadi atau golongan ibarat api dalam sekam. “Unholy Choices” hanya akan memberikan kenyamanan sementara waktu. Tidak untuk waktu yang lama. Jadi, pertimbangkanlah berdasarkan hati nurani.

Gregorius Afioma, calon imam CICM, sekarang sedang studi di Manila, Filipina

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi