UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

TIMOR LESTE – Kolom UCAN – Gereja Lokal Perlu Deklerikalisasi

Agustus 15, 2008

DILI (UCAN) — “Deklerikalisasi” (Declericalization) merupakan tantangan yang dihadapi para pemimpin Gereja di banyak tempat di dunia, termasuk Gereja Katolik di Timor Leste.

Isu tersebut umumnya mengacu kepada kaum awam yang ingin memegang peranan yang secara tradisional dilakukan, hampir semuanya, oleh para imam, yang oleh orang Katolik Timor dipandang sebagai wakil-wakil Allah. Secara lebih umum, isu ini berkenaan dengan umat awam yang mengakui iman mereka melalui peranan aktif mereka dalam liturgi hari Minggu dan ibadat-ibadat devosional pada masa-masa khusus seperti Natal dan Paskah.

Banyak orang Katolik di dunia yang sedang berkembang memiliki akses yang terbatas kepada para imam, sakramen-sakramen, dan devosi-devosi, namun mereka cukup religius dan ingin menjadi bagian dari komunitas Kristen mereka. Sementara di latar belakang ada orang-orang dari kelompok gerakan Pentekosta mengintai untuk memberi perhatian dan pelayanan pastoral kepada mereka.

Mungkin menolong dengan men-sharing-kan teladan menantang dari pengalaman pribadi saya.

Seorang wanita tua yang menghabiskan hampir 20 tahun menjaga kebersihan dengan penuh pengabdian di sebuah gereja di Timor Leste bercerita kepada saya tentang seorang anggota keluarganya yang dirawat di rumah sakit karena menderita kanker. Parokinya tidak memiliki imam tetap, dan para suster yang bekerja keras di rumah sakit itu dan menjadi zeladores (orang-orang yang menaruh kepedulian) dapat mengunjunginya secara singkat dan secara tidak teratur.

Setiap hari, sebuah komunitas Pentekosta yang belakangan muncul di negeri itu mengirim anggota-anggotanya ke kamarnya untuk mendoakannya dan menghiburnya, dengan membawa bunga dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan keluarganya ketika dia berada di rumah sakit.

Wanita tua itu mengatakan kepada saya bahwa tidak heran kalau anggota keluarganya itu akhirnya mempertimbangkan untuk menjadi jemaat Gereja Pentekosta. Pada akhirnya, keluarganya membujuknya untuk tetap sebagai Katolik, namun dalam banyak situasi serupa hasilnya tidak selalu sama.

Contoh-contoh seperti ini mungkin menjelaskan mengapa agama Protestan berkembang pesat di Timor Leste. Para pelayanan Protestan dalam konteks serupa sesungguhnya tidak membutuhkan semacam pelatihan dan komitmen yang kuat seperti yang dituntut dari para imam Katolik.

Semua yang dibutuh seseorang untuk melakukannya adalah keluar ke suatu daerah dan, dengan bantuan sesama anggota komunitas, langsung tercipta seorang pekerja pastoral.

Keadaan ini sangat berbeda dengan seorang imam. Dia diharapkan melakukan segala sesuatu seorang diri, karena itu dalam waktu yang lama dia harus mengikuti pendidikan dan menunjukkan bukti adanya komitmen yang serius. Itulah sebabnya, mentalitas para imam tetap bersifat paternalistis dan elitis.

Jika mempertahankan jumlah umat menjadi semacam persaingan, yang harus dilakukan adalah meningkatkan jumlah imam secara radikal, dengan akibat bahwa menurunkan standar untuk menjadi imam, atau jika tidak mengalihkan banyak tanggungjawab dari para imam kepada kaum awam.

Paus Benediktus dalam seruan apostoliknya yaitu Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih) pada Maret 2007 menentang penurunan standar para imam, dan karena itu menghendaki agar kaum awam semakin terlibat dalam karya pastoral.

Uskup Carlos Ximenes Belo, ketika menjadi pemimpin Gereja Timor Leste (1988-2002), telah memprakarsai sedikit perubahan dalam Gereja lokal dengan menyerukan pembentukan berbagai dewan paroki.

Gagasannya adalah mendorong kaum awam untuk terlibat dalam karya pastoral di Gereja, namun sejumlah imam menganggap hal itu sebagai terlalu prematur atau bahkan terlalu revolusioner.

Apakah bijak mengijinkan pria-pria yang kawin untuk ditahbiskan menjadi imam? Ini tidak berarti harus ada “imam-imam perempuan” atau imam-imam gay, atau bahwa imam-imam harus kawin. Ini hanyalah sebuah panggilan untuk mengijinkan pria-pria dewasa (viri probati) ditahbiskan. Jika tidak, domba-domba kita akan semakin banyak hilang.

Jelas, kita harus menghindari kaum awam yang berkelakuan seperti klerus. Panggilan kita sebagai kaum awam adalah, ini sangat penting, “pengudusan dunia,” sehingga kita harus tetap berada di dunia.

Kita memang dapat melakukan beberapa hal yang biasa dilakukan para imam, tetapi tugas utama kita adalah menguduskan dunia, dan ini mencakup evangelisasi. Karena itu, melatih kaum awam dalam panggilan mereka dan tentang pentingnya panggilan itu dibutuhkan, sesuai dengan dukungan terbuka yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II kepada gerakan Persekutuan dan Pembebasan kaum awam dalam Gereja.

Maka kaum awam bisa melihat pentingnya kesucian dalam dunia, ketika mereka berkarya di tengah kehidupan biasa bersama keluarga dan teman-teman mereka.

Maka Injil dapat diwartakan oleh teman kepada teman, dan semakin banyak panggilan suci di berbagai jenjang kehidupan dapat muncul.

Bagaimana seharusnya reaksi kita orang Katolik ketika melihat kesaksian terbuka para anggota komunitas Pentekosta yang datang ke kamar perempuan yang tua dan saleh itu setiap hari, mendoakannya dan menghiburnya, membawakannya bunga, dan memperhatikan kebutuhan keluarganya sementara dia masih di rumah sakit?

Mengapa hanya imam, atau seorang awam yang bertindak seperti imam, yang dapat melakukan pelayanan-pelayanan seperti itu? Semua ini merupakan karya nyata belas kasihan yang bisa dan, sejujurnya, HARUS dilakukan oleh setiap anggota komunitas.

Isunya bukan seberapa jauh menyesuaikan peran-peran dari para imam dan kaum awam. Persoalan umumnya yang memprihatinkan adalah bagaimana setiap umat paroki menyumbangkan waktu dan harta benda untuk menolong anggota jemaat yang mungkin membutuhkan bantuan.

Memberi penghiburan, makanan, dan bunga itu bukanlah misteri-misteri sakramental yang boleh dilakukan hanya oleh para imam. Setiap kita kaum awam dapat dan harus melakukan tindakan-tindakan cinta kasih ini.

Intinya adalah bahwa Gereja Katolik Timor Leste memiliki kebenaran, namun Gereja Katolik akan terus kehilangan landasan yang diambil oleh Gereja Protestan yang, selain mewartakan Injil, melakukan lebih banyak pelayanan bagi kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosial masyarakat.

Umat Katolik di banyak paroki agaknya hanya kelihatan dalam Misa kemudian hilang. Bagi umat Protestan, ada Sekolah Minggu bagi orang dewasa dan anak-anak, dan interaksi sosial lain yang semakin mempererat mereka dan sering lebih menjawab kebutuhan.

Memang ada alasan-alasan, mengapa Gereja di Timor Leste memutuskan bahwa imam-imam harus melakukan itu semua. Kaum awam tidak berperan, sehingga mereka mengharapkan imam-imam melakukan semua itu untuk mereka. Kaum awam sekarang ini lebih mampu dari sebelumnya di berbagai bidang keahlian untuk melayani kebutuhan pastoral Gereja, tetapi para imam tetap saja memonopoli semua hal itu. Ini terjadi ketika, misalnya, seorang imam paroki yang sudah sedemikian rupa terbebani dengan tugas-tugas pastoral dan sakramental masih ditunjuk sebagai pemimpin yayasan pendidikan keuskupan yang membutuhkan dedikasi, manajemen yang baik, dan keterampilan di bidang administrasi.

Kita mesti sejujurnya menerima bahwa banyak dari imam-imam kita tidak pernah dilatih untuk menjadi manajer atau administrator yang baik. Namun, dari semua yang saya amati, Gereja di Timor Leste tidak berminat untuk membuat berbagai perubahan, dan saya kira Gereja juga bahkan tidak peduli bahwa dia sedang kehilangan domba-dombanya.

Gereja Katolik di Timor Leste tidak dapat dibenarkan untuk menolak kaum awam yang mampu untuk terlibat dalam karya pastoral, karena ini sudah diajarkan oleh konsili Vatikan Kedua. Kita memang sedih karena banyak ajaran konsili itu masih belum diterapkan.

Langkah praktis dan mendesak ke depan yang harus diambil adalah deklerikalisasi Gereja lokal.

—–

Hipolito Aparicio, 48, dilahirkan di Timor Leste, tempat dia mengajar dan memimpin sekolah-sekolah Katolik selama bertahun-tahun. Belakangan ini dia menjadi penerjemah dan terlibat dalam proyek-proyek yang disponsori berbagai lembaga swadaya masyarakat.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi