UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

BANGLADESH – Gereja Hadapi Masalah Diskriminasi Terhadap Perempuan di Masyarakat

Maret 11, 2009

DHAKA (UCAN) — Kelahiran seorang anak laki-laki menjadi alasan pesta meriah, “seakan-akan itu adalah pesta pernikahan,” cerita kakak perempuan anak laki-laki itu, seraya mengakui bahwa ia sekarang melihat diskriminasi jender telah merasuk ke dalam masyarakat di Bangladesh.

“Sekarang saya menyadari pesta itu lebih dari biasanya,” kata Jessica Gomes setelah mengikuti seminar yang diselenggarakan Gereja untuk merayakan Hari Perempuan Internasional.  Divisi perempuan yang berada di bawah komisi kerasulan awam Konferensi Waligereja Bangladesh menyelenggarakan acara itu pada 6 Maret di gedung Konferensi Waligereja Bangladesh di Dhaka.

“Isi konferensi itu menyadarkan saya. Saya belajar bagaimana perempuan dipandang rendah dalam banyak kasus,” kata Gomes kepada UCA News di asramanya di Holy Cross Girls’ College di ibu kota.

“Sering kali, diskriminasi dimulai di rumah,” tambah perempuan berusia 16 tahun itu.

Gomes menceritakan betapa gembiranya anggota keluarga setelah menerima hasil tes ultrasound yang menyatakan anak ketiga dari ibunya itu laki-laki. Anak perempuan lainnya, Jenny, berumur 14 tahun.

Menjelang kelahiran, ayahnya memesan kamar di rumah sakit yang bagus. Ayahnya sekarang bekerja di kantin rumah sakit itu di Dhaka setelah 25 tahun bekerja di Saudi Arabia. Ia juga melengkapi rumahnya di paroki Nagori, 35 kilometer utara Dhaka, dengan berbagai perlengkapan termasuk pakaian bayi dan box bayi.

Pesta besar menyambut kelahiran Jason, dan bayi berumur 2 tahun itu mendapatkan “perhatian lebih,” kata Gomes.

“Saya sangat sayang adikku itu,” lanjutnya, “tetapi juga melihat diskriminasi.”

Ia tidak mengeluh tentang keadaan itu, tetapi malah mendeskripsikan keluarganya bahagia “karena kami belajar banyak tentang pembinaan keluarga dari Gereja.”

Apa yang mengusiknya adalah diskriminasi yang dilihatnya membatasi kesempatan perempuan.

“Saya melihat para gadis dan wanita kurang dalam hal pendidikan, upah, perawatan medis, cuti kelahiran, pernikahan dini, mas kawin, dan lain-lainnya,” kata Gomes.

Sebagai siswa jurusan perniagaan, ia berharap bisa menjadi pegawai bank. “Saya kira keluarga yang mampu secara ekonomi kurang memiliki tantangan,” katanya.

Namun, Suster Taposhi Gomes OSA, yang mendampingi keluarga-keluarga Katolik, tidak sependapat dengan optimisme ini. Ia menceritakan kasus tentang seorang suami dalam keluarga yang stabil secara ekonomi yang mencekik istrinya setelah bertengkar karena masalah keuangan. Peristiwa itu dapat dicegah ketika para tetangga turut campur tangan setelah mendengar anak-anak mereka menangis keras. Biarawati itu mengatakan ia mengetahui banyak kasus semacam itu dalam keluarga Katolik, baik di dalam maupun luar Dhaka.

Lisa Chambugong, 17, yang tinggal di asrama yang sama seperti Gomes, percaya perempuan menghadapi lebih sedikit diskriminasi di keluarga-keluarga Katolik dibandingkan dengan keluarga non-Kristen. “Karena ajaran Gereja, dan terutama pendampingan keluarga, penindasan terhadap perempuan menjadi terkontrol dengan banyak cara,” kata siswa dari masyarakat suku Garo yang matriarkal.

Seorang pekerja pengembangan masyarakat, David, yang berasal dari latar belakang Muslim konservatif, mengatakan bahwa tradisi-tradisi sosial, modernisasi dan interpretasi undang-undang yang salah menjadi faktor utama, di samping kepercayaan dan ajaran agama, dalam memandang dan menerapkan hak perempuan.

Seperti yang dinyatakan oleh Mannan Talukder, 55, yang mengumpulkan getah palma untuk dijual ke ibu kota, pendidikan mungkin menjadi faktor lain. Talukder, yang tidak bisa membaca, mengatakan kepada UCA News ia tidak tahu apa-apa tentang hak perempuan tetapi memberikan sebagian pendapatan hariannya dari 400-500 taka (US$5.85-7.25) kepada istri dan anak-anaknya.

Namun, masyarakat tidaklah statis, dan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, mengatakan kepada para pengunjuk rasa di Hari Perempuan Internasional bahwa ia akan menambah kursi bagi perempuan di parlemen dari 45 menjadi 100. Media lokal juga melaporkan bahwa ia menyatakan pemerintah akan mencabut semua undang-undang yang mendiskriminasikan perempuan.

Hasina mengatakan bahwa 85 persen pekerja di sektor garmen, yang memberikan 75 persen dari pendapatan ekspor Negara itu, adalah perempuan.

Uskup Chittagong Mgr Patrick Gomes OSC, yang mengepalai komisi kerasulan awam, memberi sambutan pada seminar 6 Maret itu, di mana para pembicaranya adalah para pekerja LSM Anna Mins dari Care Bangladesh dan Lutfar Rahman dari Steps Towards.

Ia menyebutkan kembali nasehat Rahman bahwa para perempuan mempromosikan perubahan tingkah laku jangka panjang dalam masyarakat dengan berfokus pada pendidikan, keadilan, gaji layak dan lain-lainnya di mana hak mereka secara umum diakui.

“Apakah diskriminasi itu resmi atau sosial atau kultural, seorang perempuan harus berani mengatasi tantangan situasi ini demi hasil yang lebih baik dan bijaksana,” saran uskup itu. Ia menyebutkan Ibu Teresa dari Kolkata sebagai contoh pemberdayaan dan mendorong supaya merefleksikan Kitab Suci secara mendalam.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi