Uskup Agung Yangon Charles Kardinal Maung Bo mendesak presiden Myanmar meninjau kembali sebuah paket Undang-Undang (UU) kontroversial yang menargetkan agama-agama minoritas, seraya mengatakan UU itu akan memecah-belah “mimpi Myanmar bersatu”.
Dalam seruan tertulis pada 10 September, kardinal itu mengecam UU Ras dan Agama. Kelompok-kelompok HAM dan para pemimpin agama khwatir UU itu akan digunakan untuk menganiaya agama-agama minoritas di negara mayoritas Buddha tersebut.
“Parlemen dipaksa oleh sekelompok elit agama memberlakukan empat UU itu, yang memecah-belah impian Myanmar yang bersatu,” kata kardinal dalam pernyataannya.
“Empat RUU itu bukan niat dari para wakil rakyat Myanmar, tetapi oleh elemen lain … ini berbahaya bagi demokrasi kita yang masih muda.”
Presiden Thein Sein menandatangani UU terakhir dari empat RUU yang memecah belah tersebut pada 31 Agustus. UU itu diperjuangkan oleh kelompok biksu garis keras yang dikenal sebagai Ma Ba Tha (Komite untuk Perlindungan Ras dan Agama).
Paket RUU tersebut – RUU tentang Pengendalian Penduduk yang memaksakan “jarak kelahiran” antara kehamilan seorang wanita; RUU tentang Monogami yang mengatur hukuman bagi orang-orang yang memiliki lebih dari satu pasangan; RUU tentang Nikah Beda Agama bahwa perempuan Buddha mendaftarkan pernikahan mereka sebelumnya jika mereka ingin menikah seorang pria non-Buddhis; dan RUU tentang Konversi Agama.
Kelompok HAM dan pemimpin agama khawatir UU itu adalah upaya terselubung menargetkan minoritas Muslim, terutama Muslim Rohingya.
Para biksu muda belajar di biara Buddha di Mandalay pada Mei 2015.
“Kita butuh perdamaian’
Dalam pernyataannya, Kardinal Bo mengatakan UU itu merupakan langkah mundur bagi sebuah negara yang baru saja mulai bangkit dari isolasi selama beberapa dekade di tengah kekuasaan militer.
“Kita perlu ketenangan. Kita perlu rekonsiliasi. Kita perlu sebuah identitas bersama dan percaya diri sebagai warga bangsa,” kata Kardinal Bo. “Tapi, empat RUU ini tampaknya telah membunyikan lonceng kematian bagi harapan.”
Uskup mengatakan ajaran Buddha tentang belas kasih universal dan rahmat bagi semua orang sedang terancam oleh “kebencian”.
Kardinal Bo kemudian menyerukan presiden Myanmar meninjau kembali UU tersebut.
“Empat UU itu adalah hasil dari kebencian,” katanya. “Kami mendesak para penguasa dan wakil rakyat meninjau kembali UU itu, yang dapat berubah menjadi resep yang paling beracun.”
Seruan kardinal muncul ketika partai politik di Myanmar mulai berkampanye menjelang pemilu nasional pada 8 November. Banyak pengamat melihat pemilu itu sebagai ujian reformasi demokrasi di Myanmar.
Namun, pemilu itu sendiri telah tercemar oleh isu-isu ras dan agama. Sebelum kampanye dimulai, KPU negara itu mendiskualifikasi sebagian besar calon dari Rohingya. Dan seorang anggota parlemen terkemuka Rohingya yang sebelumnya memenangkan kursi bersama partai berkuasa yang didukung militer juga dilarang.
Sumber: ucanews.com