UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kelompok Gereja Menentang Kebijakan Alkohol di India

Maret 21, 2018

Kelompok Gereja Menentang Kebijakan Alkohol di India

Penjualan alkohol merupakan pendapatan besar bagi pemerintah Negara Bagian Kerala, tapi para pemimpin Gereja percaya bahwa sebuah kebijakan baru akan merusak masyarakat. (Foto: Sydney Rae/unplash.com)

Sejumlah kelompok Gereja di India memprotes kebijakan pemerintah yang dipimpin komunis di Negara Bagian Kerala terkait penjualan alkohol karena menurut mereka kebijakan ini bertujuan untuk memperoleh pendapatan tanpa memikirkan dampak negatif dalam masyarakat.

Dewan Uskup-Uskup Negara Bagian Kerala dan sejumlah lembaga Gereja lainnya berencana akan menggelar aksi protes untuk menuntut pencabutan kebijakan yang akan mulai berlaku pada 2 April setelah disetujui pada 14 Maret tersebut.

Para pemimpin Gereja khawatir bahwa kebijakan yang akan mengijinkan penjualan alkohol tanpa batas itu akan menciptakan kecanduan di kalangan masyarakat. Selain itu, ratusan pekerja miskin dan orang muda akan menjadi pecandu alkohol dan akibatnya keluarga mereka akan jatuh miskin dan berakhir dengan perpisahan.

Gereja di Negara Bagian Kerala akan “memperingati 2 April sebagai hari hitam, aksi protes akan digelar di semua paroki dan 31 pusat keuskupan di negara bagian ini karena (penjualan alkohol) ini merupakan isu moral,” kata Uskup Thamarassery Mgr Remigiose Inchananiyil, ketua komisi anti-alkohol dari dewan para uskup regional.

Pemerintah koalisi sayap kiri yang mulai berkuasa di Negara Bagian Kerala pada Mei 2016 meninggalkan kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengupayakan larangan total penjualan alkohol.

Sejak 2014, pemerintah yang dipimpin Congress mulai menutup 10 persen toko alkohol setiap tahun untuk mengakhiri penjualan alkohol pada 2023.

Namun menurut Uskup Inchananiyil, pemerintah yang dipimpin komunis itu membuka semua toko alkohol yang telah ditutup termasuk bar. Mereka juga menemukan cara untuk membuka lebih banyak bar di desa-desa.

Menyinggung keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa desa yang memiliki lebih dari 10.000 penduduk bisa dianggap sebagai kota, pemerintah berencana mengeluarkan lisensi untuk membuka bar dan warung di sebagian besar wilayah di Negara Bagian Kerala, demikian para kritisi.

Hanya 12 dari 942 desa yang memiliki kurang dari 10.000 penduduk.

“Pemerintah tengah berusaha memanjakan masa depan orang muda dan keluarga di Kerala. Protes kami tidak ditujukan untuk komunitas tertentu. Baik komunitas Muslim maupun Hindu mendukung kampanye anti-alkohol kami,” kata prelatus itu.

Sekretaris komisi anti-alkohol Pastor Jacob Vellamaruthunkal mengatakan kepada ucanews.com bahwa kampanye Gereja itu merupakan aksi sosial. “Ini demi kesejahteraan seluruh negara bagian. Konsumsi alkohol adalah dosa sosial dan harus dihentikan,” katanya.

Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan penjualan alkohol bertujuan untuk menarik banyak wisatawan. Namun para kritisi mengatakan pemerintah berniat meningkatkan pendapatan dari penjualan alkohol.

Alkohol dikenai pajak lebih dari 200 persen di Negara Bagian Kerala.

Penjualan alkohol, baik grosir maupun eceran, menjadi monopoli negara bagian yang dilakukan melalui Perusahaan Minuman Negara Bagian Kerala. Penjualan ini merupakan pendapatan terbesar bagi pemerintah negara bagian pada 2014.

Pada 2014, perusahaan itu mencatat keuntungan sejumlah 22 dolar AS dan meningkat menjadi 23 dolar AS pada 2015. Namun angka ini turun menjadi 5,7 dolar AS pada 2016.

“Keuntungan menurun karena beberapa alasan termasuk pajak dan harga,” kata V.G. Shaji, manajer keuangan perusahaan. “Tapi penjualan tidak menurun setiap tahunnya.”

Dokumen yang dipublikasikan menunjukkan bahwa penjualan alkohol meningkat setiap tahun sejak perusahaan itu didirikan pada 1984, meningkat 100 persen atau lebih setiap lima tahun. Perusahaan menjual alkohol senilai 1,84 miliar dolar AS pada 2016. Pada 2006 perusahaan menjual alkohol senilai 498 miliar dolar AS.

Menteri Bea Cukai Negara Bagian Kerala T.P. Ramakrishnan mengatakan kepada media pada 18 Maret bahwa kebijakan pemerintah itu bertujuan untuk mendorong pantang alkohol tapi tidak menerapkan larangan.

Namun ia mengatakan pemerintah siap berbicara dengan kelompok manapun termasuk Gereja untuk menenangkan kekhawatiran mereka.

“Tak satu orang pun perlu khawatir. Kebijakan kami tentang penjualan alkohol adalah untuk menindaklanjuti kebijakan pantang alkohol dan tidak mengarah pada larangan … itulah yang kami katakan dalam manifesto pemilihan kami,” katanya.

Pastor Vellamaruthunkal mengatakan Gereja tidak berencana untuk bicara dengan pemerintah terkait isu itu. “Namun pintu kami selalu terbuka untuk pembicaraan itu,” katanya kepada ucanews.com.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi